Krisis Air Bersih di Yogyakarta: Sumur Warga Kering, Hotel Menjamur Jadi Sorotan

Dipublikasikan 29 Juni 2025 oleh admin
Sosial Politik

Yogyakarta, zekriansyah.com – Yogyakarta, kota yang dikenal dengan pesona budaya dan pariwisatanya, kini menghadapi tantangan serius: krisis air bersih. Banyak warga mengeluh sumur mereka makin sulit mengeluarkan air, bahkan harus digali lebih dalam. Fenomena ini bukan lagi rahasia umum, terutama saat musim kemarau tiba. Artikel ini akan mengupas tuntas mengapa masalah air di Jogja semakin mendesak, siapa saja yang terdampak, dan langkah apa yang bisa kita ambil untuk menjaga ketersediaan air di masa depan. Mari pahami bersama agar kita bisa ikut menjaga “bumi air” Yogyakarta.

Krisis Air Bersih di Yogyakarta: Sumur Warga Kering, Hotel Menjamur Jadi Sorotan

Ilustrasi: Sumur warga kering kerontang di tengah menjamurnya hotel di Yogyakarta, memicu keprihatinan atas krisis air bersih yang melanda.

Sumur Warga Kering, Perlu Makin Dalam

Kurniawan, seorang warga di Yogyakarta, merasakan betul bagaimana air dari sumurnya makin sedikit dan keruh. Mesin pompa airnya bahkan harus menyala lebih lama dari biasanya, membuat tagihan listrik membengkak. Ia terpaksa menambah kedalaman sumurnya hingga 12 meter agar air kembali jernih dan deras.

“Padahal, di kampung saya belum pernah ada yang nyuntik (menambah kedalaman sumur) sumur dari bapak ibu dulu. Sekarang, semua kaya’ (nyuntik) gitu, kalau nggak, gak bisa dapet jernih,” kata Kurniawan, warga Sorosutan, Umbulharjo, kepada Mongabay.

Hal serupa dialami Dodok Putra Bangsa dari Kampung Miliran, Umbulharjo. Sumurnya kering sejak 2014. Ia menduga, penyebabnya tak lain adalah keberadaan hotel yang hanya berjarak 30 meter dari rumahnya. Lebih dari 50 keluarga di kampungnya mengalami nasib serupa. Dodok bahkan pernah melakukan aksi teatrikal mandi pasir di depan Hotel Fave pada 2014 untuk menyuarakan protes. Aksi ini ternyata membuahkan hasil: seminggu setelah protes, air kembali mengalir setelah sumur hotel disegel.

Situasi ini menjadi “bom waktu” yang bisa meledak kapan saja, terutama jika kemarau panjang kembali melanda. Isu “Jogja Asat” (Jogja Kering) pun sempat meredup karena curah hujan yang lebih tinggi, namun ancaman kekeringan tetap mengintai.

Hotel dan Industri Pariwisata: Penyebab Utama Krisis Air Yogyakarta?

Fenomena kekeringan sumur warga di Yogyakarta seringkali dikaitkan erat dengan pesatnya pembangunan hotel dan industri pariwisata. Yogyakarta sebagai primadona pariwisata memang menarik banyak investasi, namun sayangnya, pengendalian dan pengawasan terhadap dampak lingkungannya dinilai belum optimal.

Menurut Eko Teguh Paripurna, Ketua Pusat Studi Manajemen Bencana UPN Yogyakarta, perubahan musim, alih fungsi lahan, dan menjamurnya pembangunan hotel adalah faktor utama kekeringan sumur. Hotel dan apartemen membutuhkan banyak air, bersaing dengan kebutuhan air rumah tangga.

Banyak Sumur Hotel Tak Berizin

Data Dinas Pekerjaan Umum-Energi Mineral (PU-ESDM) Yogyakarta mencatat, hingga 2020 ada 2.046 sumur bor dan sumur gali di Yogyakarta, meningkat hampir dua kali lipat dari 1.073 sumur pada 2014. Mirisnya, tidak semua sumur ini memiliki izin resmi.

Harti Widiyaningsih dari Balai Pengawasan dan Pengendalian Perizinan ESDM Wilayah Sleman, Yogyakarta, dan Gunung Kidul mengungkapkan, di Kota Yogyakarta, dari 696 titik sumur pengambilan air tanah, hanya 92 titik yang berizin (52 sumur bor, 40 sumur gali). Secara provinsi, hanya 272 izin sumur yang terdaftar.

“Masih banyak hotel berbintang tak berizin sumur. Ada juga penggunaan air sumur lebih besar padahal sudah ada PDAM terpasang. Ada sekitar 50% (sumur) yang belum berizin,” ujar Harti.

Padahal, peraturan seperti UU Nomor 17/2019 tentang Air dan Perda Yogyakarta Nomor 5/2012 tentang Pengelolaan Air Tanah sudah mewajibkan pelaku usaha memiliki izin sumur air tanah. Regulasi ini juga menegaskan bahwa air tanah seharusnya menjadi pilihan terakhir setelah PDAM.

Mengapa Hotel Lebih Pilih Air Tanah?

Alasannya sederhana: biaya. Tarif pajak air tanah di Yogyakarta hanya Rp 2.000 per meter kubik, jauh lebih murah dibandingkan tarif air PDAM untuk bangunan komersial yang mencapai Rp 16.500 per meter kubik. Akibatnya, hanya sekitar 3% atau 105 badan usaha di Sleman yang menggunakan PDAM.

Moratorium Hotel Tidak Efektif?

Pemerintah Kota Yogyakarta sebenarnya sudah memberlakukan moratorium pembangunan hotel sejak November 2013, dan diperpanjang hingga 2020. Namun, kebijakan ini dinilai tidak efektif karena masih ada kelonggaran untuk hotel bintang empat dan lima, serta penginapan non-bintang seperti guest house dan homestay. Tanpa evaluasi dan pengawasan ketat terhadap hotel yang sudah ada, moratorium ini tidak banyak membantu.

Penurunan Muka Air Tanah: Ancaman Nyata di Bawah Tanah

Eksploitasi air tanah yang masif ini berakibat pada penurunan muka air tanah. Riset Pusat Studi Manajemen Bencana UPN Yogyakarta pada 2018 menunjukkan, kedalaman sumur warga di sekitar hotel, kos-kos eksklusif, dan apartemen di Sleman meningkat dari 5-6 meter menjadi 9-11 meter dalam 12 tahun terakhir (2008-2019).

Semakin besar laju pengambilan air tanah, semakin curam lengkung penurunan muka tanah di sekitar sumur yang dipompa. Penurunan muka tanah di Yogyakarta diperkirakan mencapai 15-50 cm per tahun (riset UPN 2006). Data Dinas PU-ESDM Yogyakarta 2011 bahkan mencatat penurunan hingga 30 cm per tahun di Kota Yogyakarta dan 15-30 cm per tahun di Sleman.

Meskipun saat ini penurunan muka air tanah di Cekungan Air Tanah (CAT) Yogyakarta-Sleman masih terbilang aman (sekitar 13-14 meter, di bawah batas waspada 20 meter), kondisi ini bisa menjadi masalah serius jika eksploitasi terus berlanjut tanpa kendali. Pemantauan muka air tanah dilakukan di 44 sumur pantau yang tersebar di Kota Yogyakarta, Sleman, dan Bantul.

Kualitas Air Memburuk dan Dampak Kesehatan Serius

Masalah air di Yogyakarta tidak hanya soal kuantitas, tapi juga kualitas. Survei Kualitas Air (SKA) BPS 2015 menunjukkan fakta mengejutkan: 89% sumber air di DIY tercemar bakteri E.coli dan beberapa bahan kimia lain. Bahkan air siap minum pun terkontaminasi.

Berikut rincian kontaminasi E.coli pada berbagai sumber air siap minum di DIY (BPS 2015):

Jenis Sumber Air Siap Minum Persentase Terkontaminasi E.coli
Air Pipa 73%
Air Kemasan Bermerek 52%
Air Tanah 68,9%
Air Isi Ulang 47,2%

Pencemaran ini bukan temuan baru dan terus terjadi akibat aktivitas domestik, pertanian, hingga limbah industri. Penurunan Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH) Yogyakarta yang berada di bawah nilai nasional (59,43-59,92 vs 70,27 pada 2022) menjadi indikator jelas.

Walhi Yogyakarta dan Forum Pengurangan Risiko Bencana (FPRB) Yogyakarta menyebut kondisi ini sebagai “darurat air bersih”. Krisis air dan kualitas air yang buruk berkontribusi pada persoalan kemiskinan dan kesehatan, khususnya kasus stunting, yang masih menjadi tantangan besar di DIY.

Solusi Nyata: Dari Panen Air Hujan Hingga Pengawasan Ketat

Untuk mengatasi krisis air di Yogyakarta, diperlukan upaya terpadu dari pemerintah dan masyarakat.

Peran Pemerintah:

  • Pengelolaan Terpadu: Pemerintah daerah tidak bisa hanya mengandalkan distribusi air bersih (dropping) saat kemarau. Semestinya, sarana sumur bor dan pipanisasi memadai dibangun untuk menjangkau seluruh pemukiman warga.
  • Penegakan Aturan: Penertiban izin sumur air tanah bagi pelaku usaha harus diperketat. Air tanah harus menjadi pilihan terakhir, dengan prioritas penggunaan air PDAM.
  • Identifikasi dan Distribusi: Mengidentifikasi daerah-daerah yang belum memiliki akses air bersih dan mendistribusikannya hingga ke kelompok rentan.
  • Revisi RTRW: Memasukkan pertimbangan air dalam Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW), serta menghapus wilayah pertambangan yang bersinggungan langsung dengan mata air, seperti kasus di Sungai Boyong.

Peran Masyarakat:

  • Panen Air Hujan: Sri Wahyungsih, Ketua Komunitas Sekolah Air Hujan Banyu Bening Yogyakarta, menekankan pentingnya edukasi masyarakat tentang memanen air hujan.
    > “Hingga, ketika terjadi permasalahan air, atau biasa mereka dapat pasokan air dan tiba-tiba terhenti, masyarakat sudah tahu solusinya,” ujar Yu Ning, pendiri sekolah air hujan pertama di Indonesia ini.
    Memanen air hujan memiliki banyak keuntungan: gratis, mudah diakses, meningkatkan kesadaran kebencanaan, dan mendorong kemandirian pengelolaan air.
  • Penggunaan Air Efisien: Mengubah pola konsumsi air dan memilih tanaman yang tidak banyak membutuhkan air untuk pertanian.
  • Pembentukan Komunitas: Seperti Paguyuban Pelestari Air Hulu Sungai Boyong, masyarakat bisa bersatu menjaga sumber air dari kerusakan akibat pertambangan atau eksploitasi berlebihan.

Krisis air bersih di Yogyakarta adalah masalah kompleks yang membutuhkan perhatian serius dari semua pihak. Mulai dari menjamurnya pembangunan hotel yang boros air, sumur warga yang makin kering, hingga penurunan kualitas air yang mengancam kesehatan. Namun, bukan berarti tidak ada harapan. Dengan pengelolaan air yang terpadu, penegakan aturan yang tegas, serta partisipasi aktif masyarakat dalam praktik cerdas seperti panen air hujan, kita bisa menjaga kelestarian air di Bumi Yogyakarta. Mari bersama-sama menjadi bagian dari solusi untuk memastikan ketersediaan air bersih bagi generasi mendatang.