**KLB Campak di Sumenep: Mengungkap Krisis Kepercayaan Vaksin yang Merenggut Nyawa Anak-Anak**

Dipublikasikan 28 Agustus 2025 oleh admin
Sosial Politik

Yogyakarta, zekriansyah.com – Kabupaten Sumenep, Madura, tengah dilanda duka mendalam. Kejadian Luar Biasa (KLB) campak telah ditetapkan setelah mencatat lebih dari 2.000 kasus suspek dan sayangnya, 17 anak meninggal dunia. Tragedi ini bukan hanya sekadar wabah penyakit, melainkan cermin dari masalah yang lebih besar: krisis kepercayaan vaksin di tengah masyarakat. Artikel ini akan mengajak Anda memahami mengapa penyakit yang seharusnya bisa dicegah ini masih merenggut nyawa, apa akar masalahnya, dan bagaimana upaya pemerintah serta masyarakat bisa bahu membahu mengatasinya. Mari kita selami lebih dalam agar kita semua bisa melindungi buah hati dari ancaman campak.

**KLB Campak di Sumenep: Mengungkap Krisis Kepercayaan Vaksin yang Merenggut Nyawa Anak-Anak**

KLB Campak di Sumenep: 17 Anak Meninggal Akibat Krisis Kepercayaan Vaksin, Ratusan Lainnya Terancam.

Sumenep Berduka: Wabah Campak yang Seharusnya Bisa Dicegah

Campak, penyakit yang disebabkan oleh virus morbillivirus, seharusnya sudah tidak menjadi momok menakutkan bagi kesehatan masyarakat. Vaksinnya sudah tersedia, aman, dan efektif selama puluhan tahun. Namun, di Sumenep, kenyataannya berbeda. Hingga Agustus 2025, tercatat 2.139 kasus suspek campak dan yang paling memilukan, 17 anak, mayoritas balita, kehilangan nyawa mereka.

Penyakit ini bukan sekadar demam dan ruam merah biasa. Campak adalah salah satu penyakit paling menular di dunia, dengan angka reproduksi dasar 12-18. Artinya, satu orang yang terinfeksi bisa menularkan ke belasan orang lainnya dalam satu ruangan. Yang lebih berbahaya lagi, virus campak merusak sistem kekebalan tubuh, menimbulkan fenomena yang disebut immune amnesia. Kekebalan yang sudah terbentuk terhadap penyakit lain bisa hilang, membuat anak sangat rentan terhadap komplikasi serius seperti pneumonia, diare berat, dan infeksi telinga. Komplikasi inilah yang seringkali berujung pada kematian. Bahkan, dalam beberapa kasus, campak dapat memicu radang otak (ensefalitis) atau penyakit saraf fatal yang muncul bertahun-tahun kemudian, yaitu Subacute Sclerosing Panencephalitis (SSPE), yang belum ada obatnya.

Data global dari WHO menunjukkan lebih dari 100.000 kematian akibat campak setiap tahun, sebagian besar menimpa anak-anak yang tidak divaksinasi. Ini menjadi pengingat yang menyakitkan bahwa perlindungan vaksin tidak boleh diabaikan.

Akar Masalah: Mengapa Vaksin Ditolak di Sumenep?

Pertanyaan besar yang muncul adalah, mengapa anak-anak di Sumenep belum terlindungi, padahal vaksin tersedia? Jawabannya mengarah pada masalah penerimaan masyarakat terhadap imunisasi. Madura dikenal sebagai daerah dengan tradisi keagamaan yang kuat, di mana pesantren dan kiai memiliki pengaruh besar sebagai otoritas moral.

Sejak polemik vaksin MR pada tahun 2018 terkait status halal-haram, keraguan terhadap imunisasi telah mengakar di ruang sosial. Meskipun Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan fatwa yang memperbolehkan vaksinasi dengan alasan darurat, stigma negatif telanjur terbentuk. Akibatnya, banyak orang tua yang takut atau menolak anaknya divaksinasi karena termakan hoaks “vaksin haram” atau informasi keliru lainnya.

  • Data Kemenkes dan Dinkes Sumenep menunjukkan bahwa mayoritas anak yang meninggal dunia belum pernah divaksinasi campak sama sekali.
  • Cakupan imunisasi rutin lengkap di Indonesia sempat mencapai 92% pada 2018, namun turun menjadi 87,8% pada 2023, dan cakupan vaksin campak-rubella dosis kedua (MR2) hanya 82,3% pada 2024, jauh dari target kekebalan kelompok (herd immunity) 95%. Di Sumenep sendiri, beberapa wilayah bahkan memiliki cakupan di bawah 80%.
  • Pandemi COVID-19 juga turut memperparah kondisi, menyebabkan banyak anak melewatkan jadwal imunisasi rutin.
  • Beberapa warga menganggap campak sebagai penyakit biasa atau “tampek” yang tidak berbahaya, sehingga enggan memeriksakan anak ke fasilitas kesehatan.

Kisah seperti Benzema dari Bekasi, yang menolak semua vaksin untuk kedelapan anaknya karena keyakinan pribadi dan hoaks yang dibaca, atau Setiawan dari Citayam yang berujar “Orang zaman dulu tidak divaksin tapi tetap bisa hidup lama,” menggambarkan betapa kuatnya pengaruh disinformasi ini. Hal ini bukan hanya masalah logistik atau teknis medis, tetapi kendala serius dalam membangun kepercayaan.

Langkah Cepat Pemerintah: ORI dan Kolaborasi Lintas Sektor

Menanggapi situasi genting ini, pemerintah daerah dan pusat bergerak cepat. Kabupaten Sumenep telah menetapkan status KLB campak, dan berbagai upaya penanggulangan segera dilakukan.

Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa, turun langsung ke Sumenep. Beliau tidak hanya memimpin rapat teknis, tetapi juga menjenguk pasien anak di rumah sakit, menyaksikan proses vaksinasi, dan memastikan distribusi vaksin MR berjalan lancar. Kehadiran pemimpin di lapangan ini menjadi pesan komunikasi yang kuat bahwa pemerintah hadir dan bertanggung jawab.

Untuk informasi lebih lanjut mengenai gubernur dan jatim, kunjungi: gubernur dan jatim.

Salah satu langkah krusial adalah pelaksanaan Outbreak Response Immunization (ORI) atau imunisasi massal campak-rubella. Program ini dimulai serentak pada 25 Agustus hingga 14 September 2025, menargetkan sekitar 73.000 hingga 78.569 anak usia 9 bulan sampai 7 tahun di seluruh 26 kecamatan di Sumenep.

Kolaborasi lintas sektor juga menjadi kunci. Kemenkes, Pemprov Jatim, Dinas Kesehatan Kabupaten Sumenep, WHO, dan UNICEF bekerja sama secara vertikal. Secara horizontal, pemerintah daerah melibatkan TNI/Polri, tokoh masyarakat, dan tokoh agama seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI), Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, PKK, Muslimat NU, Aisyiyah, Fatayat, Nasyiatul Aisyiyah, Himpaudi, IGTKI, serta IGRA. Mereka diharapkan menjadi opinion leader yang dipercaya masyarakat untuk menyampaikan pesan pentingnya imunisasi.

Edukasi tidak hanya dilakukan di Posyandu atau Puskesmas, tetapi juga melalui pendekatan door-to-door dan lembaga pendidikan untuk memastikan informasi akurat sampai ke masyarakat paling bawah. Kemenkes juga telah menyiapkan surat edaran kewaspadaan dini untuk dinas kesehatan di seluruh daerah agar dapat merespons peningkatan kasus campak.

Membangun Kembali Kepercayaan: Kunci Melawan Wabah

Untuk mengatasi krisis kepercayaan vaksin dan mencegah KLB serupa terulang, membangun kembali kepercayaan publik adalah hal yang esensial. Ini memerlukan edukasi yang berkelanjutan, akurat, dan menyentuh hati masyarakat.

  • Libatkan Tokoh Agama dan Masyarakat: Pesan kesehatan akan lebih efektif jika disampaikan oleh figur yang dipercaya. Tokoh agama dapat menegaskan fatwa MUI tentang kehalalan dan pentingnya vaksin.
  • Komunikasi Empati dan Lokal: Gunakan bahasa dan budaya lokal. Sampaikan pesan yang menekankan empati dan perlindungan anak. Tunjukkan data lokal dan kisah nyata anak-anak yang selamat berkat imunisasi.
  • Luruskan Hoaks: Pemerintah dan media harus secara proaktif meluruskan informasi yang salah atau hoaks tentang vaksin.
  • Fokus pada Manfaat: Edukasi harus menjelaskan secara sederhana dan jelas tentang manfaat imunisasi campak, bukan hanya mencegah penyakit, tetapi juga komplikasi fatal dan bahkan stunting akibat infeksi berulang.
  • Imunisasi Hak Dasar Anak: Ingatkan bahwa imunisasi adalah hak dasar setiap anak untuk tumbuh sehat dan terlindungi.

Kementerian Kesehatan mengimbau masyarakat, khususnya orang tua, untuk tidak menunda dan tidak takut imunisasi. Vaksin campak terbukti aman, bermutu, dan diberikan secara gratis oleh pemerintah. Jika ada anak atau anggota keluarga yang mengalami gejala campak (demam, bercak merah, batuk, pilek, mata merah), segera periksakan ke fasilitas kesehatan terdekat untuk mendapatkan penanganan.

Kesimpulan

KLB campak di Sumenep adalah pengingat pahit tentang bahaya penyakit yang dapat dicegah dan dampak serius dari krisis kepercayaan vaksin. Kehilangan 17 nyawa anak adalah harga yang terlalu mahal untuk dibayar karena hoaks dan keraguan.

Melalui Outbreak Response Immunization (ORI) massal dan kolaborasi lintas sektor yang kuat, pemerintah sedang berupaya keras memutus rantai penularan. Namun, upaya ini tidak akan berhasil tanpa partisipasi aktif dan kepercayaan masyarakat. Mari bersama-sama menjadi agen informasi yang benar, melindungi anak-anak kita dari ancaman campak, dan memastikan tidak ada lagi anak yang kehilangan masa depannya karena penyakit yang seharusnya bisa dihindari. Kesehatan anak adalah tanggung jawab kita bersama.