Kisah Tumini: Belasan Tahun Tinggali Ponten Umum Surabaya, Kini Berjuang Cari Nafkah Baru

Dipublikasikan 5 Juli 2025 oleh admin
Sosial Politik

Yogyakarta, zekriansyah.com – Sebuah kisah humanis mengemuka dari Surabaya, tentang Tumini, seorang perempuan berusia 47 tahun. Selama belasan tahun, ia mengelola bahkan menjadikan ponten umum atau toilet publik di Taman Lumumba sebagai tempatnya mencari nafkah sekaligus beraktivitas. Video viral tentang ponten ini memicu perhatian publik dan berujung pada penertiban oleh pemerintah setempat. Artikel ini akan mengupas tuntas perjalanan hidup Tumini, dari awal mula ia menempati fasilitas umum tersebut hingga harapan barunya untuk bisa terus bertahan.

Kisah Tumini: Belasan Tahun Tinggali Ponten Umum Surabaya, Kini Berjuang Cari Nafkah Baru

Ilustrasi: Wajah haru Tumini terpancar saat ia meninggalkan tempat tinggalnya selama belasan tahun di sebuah ponten umum, siap berjuang mencari kehidupan baru.

Awal Mula Tumini Tinggali Ponten Umum di Surabaya

Tumini, warga Ngagel, Wonokromo, Surabaya, telah mengelola ponten umum berukuran sekitar 4×3 meter ini sejak 2010. Pekerjaan ini ia teruskan dari suaminya, Manan, yang meninggal pada 2013. Awalnya, Manan dipercaya oleh Perum Jasa Tirta untuk menjaga ponten tersebut.

“Jasa Tirta yang nyuruh ngelola tempat ini ke suami. Karena sudah almarhum tahun 2013, saya yang meneruskan,” kata Tumini.

Ponten ini dibangun Jasa Tirta di atas lahan Taman Lumumba agar warga tidak lagi buang air sembarangan ke Sungai Jagir, yang airnya akan diolah menjadi air bersih. Tumini juga memiliki perjanjian dengan Jasa Tirta, di mana ia membayar biaya sewa tahunan. Angka ini bervariasi dalam beberapa sumber, dari Rp 1 juta hingga Rp 2 juta per tahun, semacam “uang rokok” atau pengamanan lahan agar tidak diakui dan dibuat bangunan lain.

Ponten: Antara Sumber Kehidupan dan ‘Rumah’ Sementara

Bagi Tumini, ponten ini adalah satu-satunya sumber penghasilan. Ia mengandalkan Rp 2.000 dari setiap pengguna ponten. Namun, penghasilannya tak menentu.

“Kadang nggak target. Kadang ada orang baik hati mengasih lima ribu. Kalau anak kecil-kecil itu ’nggak punya uang bu’, nggak apa-apa nggak bayar,” cerita Tumini.

Pendapatan yang biasanya bisa mencapai Rp 100 ribu per hari, kini seringkali hanya Rp 50 ribu. Uang itu harus diputar untuk makan sehari-hari, serta membayar tagihan listrik dan pompa air yang ia pasang secara mandiri.

Untuk menambah pemasukan, Tumini mulai membuka warung kopi sederhana di pelataran ponten. Ia menjual kopi, teh, dan rokok eceran. Perabotan seperti kompor, lemari, hingga kulkas pun mulai memenuhi ponten.

Tumini membantah sepenuhnya tinggal di sana, ia mengaku ponten ditutup pukul 22.00 WIB dan ia pulang ke rumahnya. Namun, ia juga menjelaskan mengapa ponten itu seringkali tampak seperti tempat tinggal.

“Dulu beberapa tahun itu, ditinggal pulang ke Lumumba (rumah). Di sini diganggu orang, buang kotoran di sini, berak sembarangan dan kencing (berserakan),” ujar Tumini.

Untuk mencegah vandalisme dan pencurian pompa air, ibunya, Taspiyah (72), seringkali ikut berjaga dan kadang tidur di sana. Lemari pakaian dan kulkas disebut untuk memudahkan ibunya yang lansia selama berjaga.

Kisah Viral Berujung Penertiban oleh Pemkot Surabaya

Kisah Tumini dan ponten yang dipenuhi perabotan ini menjadi viral di media sosial. Banyak warganet yang menyoroti kondisi ini, mengingat ponten adalah fasilitas umum.

Pemerintah Kota Surabaya, melalui pihak kelurahan dan kecamatan, segera bertindak tegas. Fasilitas umum, seperti ponten, tidak boleh dialihfungsikan menjadi tempat tinggal atau usaha pribadi.

Pada Rabu (2/7/2025), petugas Satpol PP dan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Surabaya menertibkan ponten tersebut. Seluruh perabotan milik Tumini, mulai dari kulkas, kompor, tikar, hingga panci, diangkut dan dikembalikan ke rumah Tumini di Jalan Lumumba Dalam.

“Pagi ini kita kembalikan ke fungsi awal ponten umum. Kita tertibkan ponten umum seperti rumah singgah dikembalikan seperti awal. Barang-barangnya kita bantu ke rumah bersangkutan,” kata Kasitrantib Kecamatan Wonokromo, Andi Arvianto.

Tumini mengaku pasrah dan legawa menerima keputusan ini. Ia menyadari bahwa fasum memang tidak diperuntukkan pribadi, meskipun selama ini ia telah mengeluarkan biaya untuk listrik dan perawatan ponten.

Harapan Baru Tumini: Gerobak Gorengan dan Masa Depan

Setelah kehilangan sumber penghasilannya dari ponten, Tumini kini menghadapi tantangan baru. Namun, ia tidak menyerah. Pihak Kecamatan Wonokromo dan Kelurahan Ngagel telah menjanjikan bantuan berupa gerobak dan modal usaha.

“Bu Camat ngasih solusi, ‘mau nggak tak kasih bantuan rombong dan modal’. Ya saya mau kan buat makan,” jelas Tumini.

Tumini berangan-angan untuk berjualan gorengan di depan rumahnya dengan mengandalkan pembeli dari tetangga sekitar. Ia merasa lebih aman berjualan di sana karena takut digusur Satpol PP jika berjualan di pinggir jalan. Ia juga sempat ditawari lokasi di Taman Asreboyo oleh Lurah Ngagel, Junaedi, namun Tumini menolak.

“Saya sempat ke sana (Taman Asreboyo) tapi sepi. Dan kalau mau ke sana itu agak jauh, misal jalan kaki, karena kan dagangannya harus dibawa pulang tiap hari,” ungkapnya.

Tumini juga mengungkapkan kesulitan mencari pekerjaan lain di usianya yang sudah tidak muda, apalagi beberapa anaknya juga sempat mengalami PHK. Ia berharap bantuan gerobak dan modal segera terealisasi agar bisa melanjutkan hidup.

“Semoga saja ada bantuan dan gerobaknya jadi,” ucap Tumini.

Penutup Kisah Tumini

Kisah Tumini adalah potret nyata perjuangan hidup di tengah keterbatasan. Dari ponten umum yang menjadi tumpuan hidupnya selama belasan tahun, kini ia harus kembali beradaptasi. Meskipun dihadapkan pada ketidakpastian dan sulitnya mencari pekerjaan di usia paruh baya, semangat Tumini untuk terus berjuang mencari nafkah patut diapresiasi. Bantuan dari pemerintah setempat diharapkan bisa menjadi titik terang bagi Tumini untuk memulai babak baru dalam hidupnya, melanjutkan asa untuk tetap mandiri.