Sebuah kisah memilukan sekaligus menggugah kesadaran publik baru-baru ini mencuat dari Bekasi, menyoroti realitas pahit yang dihadapi oleh korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Di tengah keputusasaan yang mendalam, seorang ibu rumah tangga berinisial D (26) memilih jalan yang tak lazim: mengadu kepada petugas pemadam kebakaran (Damkar) setelah merasa laporannya di kepolisian tak kunjung ditindaklanjuti. Kasus ini, yang berawal dari putus asa korban KDRT di Bekasi, ngadu ke Damkar usai laporan tak ditindaklanjuti polisi, menjadi cerminan kompleksitas sistem perlindungan korban di Indonesia dan peran tak terduga yang bisa dimainkan oleh lembaga di luar tugas pokoknya.
Kisah D bukan sekadar berita biasa; ia adalah sebuah seruan, sebuah pertanyaan tajam tentang seberapa responsif dan empati sistem hukum kita terhadap mereka yang paling rentan. Artikel ini akan menelisik lebih dalam kronologi kejadian, menganalisis respons dari berbagai pihak, serta merenungkan implikasi yang lebih luas bagi upaya pencegahan dan penanganan KDRT di masa mendatang.
Kronologi Keputusasaan: Dari KDRT hingga Panggilan Darurat Damkar
Perjalanan pahit D dimulai pada Jumat, 20 Juni 2025, ketika ia kembali menjadi korban kekerasan fisik dari suaminya, berinisial I. Kekerasan yang dialaminya tidak main-main. Menurut kesaksian D dan temuan awal, ia mengalami luka serius: memar di bagian kepala, lebam di paha kiri, telinga mengeluarkan cairan, kepala pusing, serta pengakuan diinjak, ditarik, kepalanya dibenturkan ke tembok, dan dipukul di bagian pundak. Ini bukan kali pertama D mengalami kekerasan; ia bahkan disebut telah menanggungnya selama dua tahun, namun baru memutuskan untuk melapor kali ini, diduga karena mempertimbangkan kondisi anaknya.
Dengan sisa kekuatan dan harapan, D kemudian memberanikan diri melaporkan kejadian tersebut ke Polres Metro Bekasi Kota pada hari yang sama. Laporan tersebut teregistrasi dengan nomor LP/B/1397/VI/2025/SPKT/POLRES METRO BEKASI KOTA/POLDA METRO JAYA. Proses awal pelaporan pun telah ia penuhi: diarahkan ke Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) di lantai 5, dimintai keterangan untuk Berita Acara Pemeriksaan (BAP), dan diminta menjalani visum di RSUD dr. Chasbullah Abdulmadjid Kota Bekasi. Hasil visum yang mengonfirmasi luka-luka D pun telah diserahkan kepada pihak kepolisian. Pelaku, sang suami berinisial I, dilaporkan telah melarikan diri ke rumah orang tuanya setelah kejadian.
Namun, setelah semua prosedur dilalui, yang D rasakan hanyalah kehampaan. Empat hari berlalu tanpa ada kabar atau tindak lanjut yang berarti dari kepolisian. Setiap kali D mencoba menghubungi untuk menanyakan perkembangan laporannya, ia hanya mendapatkan jawaban yang mengambang: “nanti dikabari lagi” atau “nanti di-WA”. Kondisi ini, ditambah tekanan mental akibat KDRT yang terus-menerus dan bahkan disebutkan terlilit utang, membuat D terjerembap dalam depresi yang parah. Dalam kondisi mental yang sangat terganggu, dengan tatapan kosong dan kepala yang terus terasa sakit, D mengaku sempat berniat untuk mengakhiri hidupnya sendiri.
Di titik nadir inilah, ketika pintu harapan melalui jalur hukum terasa tertutup, D melakukan sebuah tindakan yang tak terduga. Pada Selasa, 24 Juni 2025, sekitar pukul 06.30 WIB, ia menghubungi Call Center 112, layanan darurat yang umumnya diasosiasikan dengan pemadam kebakaran. Dalam laporannya, D bukan hanya mengadukan kasus KDRT-nya, tetapi juga secara eksplisit menyatakan niatnya untuk bunuh diri akibat frustrasi dan depresi.
Peran Tak Terduga Pemadam Kebakaran: Lebih dari Sekadar Memadamkan Api
Aduan D kepada Damkar Kota Bekasi melalui Call Center 112 menjadi titik balik yang krusial dalam kisahnya. Anggota Tim Rescue Damkar Kota Bekasi, Eko Budi, menjelaskan bahwa setelah menerima aduan tersebut, enam petugas Damkar dengan satu unit mobil Damkar langsung bergegas menuju kediaman D di Jakasetia, Bekasi Selatan. Respons cepat ini menunjukkan betapa seriusnya aduan tersebut ditanggapi, melampaui tugas pokok mereka yang biasanya berurusan dengan bencana fisik.
Setibanya di lokasi, petugas Damkar tidak hanya mengonfirmasi kondisi fisik D yang mengalami luka memar di berbagai bagian tubuh, tetapi yang lebih penting, mereka juga memberikan pendampingan psikologis dan konseling. Dalam sesi curhat yang diselingi konseling tersebut, D dapat meluapkan segala beban dan keputusasaan yang ia rasakan. Eko Budi mengamati bagaimana kondisi mental D perlahan membaik setelah sesi tersebut; dari tatapan kosong, D mulai bisa tertawa dan berbicara lebih terbuka, bahkan niat bunuh diri yang sempat terlintas berhasil dicegah.
Lebih dari sekadar mendengarkan, Damkar juga menunjukkan empati dan tindakan nyata. Mereka berkoordinasi dengan Dinas Kesehatan untuk memastikan D mendapatkan penanganan medis yang diperlukan, mengingat kekhawatiran adanya pendarahan di kepala. Selain itu, petugas Damkar juga menyatakan kesiapan mereka untuk membantu D kembali ke kampung halamannya di Lampung, jika laporannya telah ditindaklanjuti kepolisian, mengingat D terkendala biaya. Kepala Dinas Pemadam Kebakaran dan Penyelamatan (Disdamkarmat) Kota Bekasi, Abi Hurairah, menegaskan komitmen ini, menunjukkan bahwa Damkar bukan hanya penyelamat fisik, tetapi juga penopang mental dan sosial bagi mereka yang membutuhkan.
Kisah ini menyoroti sebuah fenomena yang menarik: ketika lembaga yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam penanganan KDRT (kepolisian) dianggap kurang responsif oleh korban, justru Damkar, yang tugas utamanya adalah penanggulangan bencana, tampil sebagai penyelamat. Ini memperlihatkan bahwa masyarakat mencari pertolongan ke mana pun mereka merasa ada empati dan kecepatan respons, bahkan jika itu di luar jalur formal yang seharusnya.
Tanggapan Pihak Kepolisian: Antara Prosedur dan Persepsi Korban
Kasus putus asa korban KDRT di Bekasi, ngadu ke Damkar usai laporan tak ditindaklanjuti polisi ini tentu saja menimbulkan pertanyaan besar mengenai kinerja dan responsivitas kepolisian. Menanggapi tudingan bahwa laporan korban tidak ditindaklanjuti, pihak Polres Metro Bekasi Kota memberikan klarifikasi.
AKP Suparyono, Kepala Seksi Humas Polres Metro Bekasi Kota, membantah tudingan kelambanan tersebut. Ia menegaskan bahwa kepolisian telah menangani kasus ini sejak awal, bahkan laporan polisi telah dibuatkan dan korban langsung diantar untuk visum. “Sebetulnya kami sudah menangani dari awal, itu dibuatkan laporan polisi. Jadi kita sudah menangani,” jelas Suparyono. Ia menambahkan bahwa proses hukum memang harus sesuai prosedur dan tidak bisa dilakukan secara terburu-buru.
Kapolres Metro Bekasi Kota, Kombes Pol Kusumo Wahyu Bintoro, juga menegaskan bahwa laporan D sedang ditindaklanjuti oleh Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Satreskrim Polres Metro Bekasi Kota. “Sudah ditangani Reskrim unit PPA Polres ya,” ujar Kusumo singkat. Hingga saat ini, polisi telah memintai keterangan dari korban dan masih mendalami informasi terkait keberadaan suami korban, I, yang menjadi terlapor dalam kasus ini. Luka memar di kepala korban juga menjadi fokus pemeriksaan medis dan hukum, berdasarkan hasil visum.
Ada kesenjangan yang jelas antara persepsi korban dan penjelasan pihak berwenang. Bagi D, empat hari tanpa kabar atau “nanti dikabari lagi” sudah cukup untuk memicu keputusasaan dan niat bunuh diri. Bagi kepolisian, ini mungkin adalah bagian dari prosedur standar penyelidikan yang membutuhkan waktu. Kesenjangan komunikasi dan ekspektasi inilah yang menjadi inti permasalahan, yang pada akhirnya mendorong korban mencari bantuan ke pihak lain.
Sorotan Terhadap Sistem Perlindungan Korban KDRT
Kisah D adalah sebuah case study yang penting untuk mengkaji efektivitas sistem perlindungan korban KDRT di Indonesia. Beberapa poin krusial yang dapat disoroti adalah:
- Responsivitas dan Komunikasi: Meskipun polisi mengklaim telah menangani kasus sesuai prosedur, minimnya komunikasi dan pembaruan informasi kepada korban dapat menimbulkan rasa diabaikan dan keputusasaan. Korban KDRT seringkali berada dalam kondisi mental yang sangat rentan, sehingga membutuhkan kepastian dan dukungan psikologis yang berkelanjutan.
- Peran Lembaga Non-Penegak Hukum: Munculnya Damkar sebagai pihak yang memberikan pertolongan pertama dan konseling psikologis mengindikasikan adanya celah dalam sistem rujukan dan penanganan holistik bagi korban. Ini menunjukkan bahwa masyarakat mungkin belum sepenuhnya memahami ke mana harus melapor atau bahwa saluran formal belum sepenuhnya memenuhi kebutuhan mendesak korban.
- Dampak Psikologis KDRT: Kasus D dengan jelas menunjukkan betapa KDRT tidak hanya meninggalkan luka fisik, tetapi juga trauma psikologis mendalam yang bisa berujung pada depresi dan ide bunuh diri. Pentingnya penanganan psikologis sejak dini dan ketersediaan layanan konseling yang mudah diakses menjadi krusial.
- Koordinasi Lintas Sektor: Kejadian ini menyoroti pentingnya koordinasi yang lebih baik antara berbagai instansi, mulai dari kepolisian, dinas sosial, dinas kesehatan, hingga lembaga non-pemerintah yang fokus pada perlindungan perempuan dan anak. Sebuah sistem yang terintegrasi dan responsif akan memastikan korban mendapatkan bantuan yang komprehensif, mulai dari perlindungan hukum, medis, hingga psikologis dan sosial.
Fakta bahwa D telah mengalami KDRT selama dua tahun sebelum akhirnya melapor, dan baru melapor karena kekerasan terakhir yang sangat parah, menunjukkan betapa sulitnya bagi korban untuk keluar dari lingkaran kekerasan. Ketika keberanian untuk melapor akhirnya terkumpul, respon dari sistem menjadi penentu apakah korban akan merasa didukung atau justru semakin terpuruk.
Implikasi dan Harapan ke Depan
Kisah putus asa korban KDRT di Bekasi, ngadu ke Damkar usai laporan tak ditindaklanjuti polisi harus menjadi momentum bagi semua pihak untuk mengevaluasi dan meningkatkan kualitas layanan perlindungan korban KDRT. Beberapa implikasi dan harapan yang bisa ditarik dari kasus ini antara lain:
- Peningkatan Kapasitas dan Sensitivitas Aparat: Aparat penegak hukum, khususnya unit PPA, perlu terus dilatih tidak hanya dalam aspek hukum dan investigasi, tetapi juga dalam hal penanganan trauma, komunikasi empatik, dan pemahaman mendalam tentang psikologi korban KDRT. Setiap kontak dengan korban harus dilakukan dengan kepekaan tinggi.
- Mekanisme Komunikasi yang Transparan: Penting untuk membangun mekanisme komunikasi yang transparan dan proaktif antara kepolisian dan korban. Pembaruan status laporan secara berkala, penjelasan mengenai tahapan proses hukum, dan estimasi waktu yang realistis dapat membantu mengurangi kecemasan korban dan membangun kepercayaan.
- Penguatan Pusat Krisis Terpadu: Pemerintah daerah perlu menguatkan atau membentuk pusat krisis terpadu yang dapat menyediakan layanan one-stop service bagi korban KDRT, mencakup pelaporan, visum, konseling psikologis, pendampingan hukum, hingga penampungan sementara jika diperlukan. Ini akan mengurangi kebingungan korban dan memastikan mereka mendapatkan bantuan yang komprehensif tanpa harus mencari ke banyak tempat.
- Edukasi Masyarakat: Masyarakat juga perlu terus diedukasi mengenai KDRT, dampaknya, serta saluran-saluran bantuan yang tersedia. Kisah D menunjukkan bahwa masyarakat mungkin belum sepenuhnya memahami peran setiap lembaga, sehingga edukasi dapat membantu mengarahkan korban ke saluran yang paling tepat.
- Apresiasi Terhadap Pahlawan Tak Terduga: Peran Damkar dalam kasus ini patut diacungi jempol. Ini adalah pengingat bahwa empati dan kesediaan untuk membantu sesama dapat datang dari mana saja, bahkan dari institusi yang tidak secara langsung terkait dengan penanganan KDRT. Namun, ini juga menjadi sinyal bahwa beban penanganan KDRT tidak bisa hanya disandarkan pada satu atau dua lembaga saja.
Kesimpulan: Suara Keputusasaan, Panggilan untuk Aksi Nyata
Kisah D di Bekasi adalah pengingat yang menyakitkan tentang kerentanan korban KDRT dan pentingnya sistem perlindungan yang tidak hanya prosedural, tetapi juga manusiawi dan responsif. Ketika seorang korban KDRT merasa putus asa hingga mengadu ke Damkar usai laporan tak ditindaklanjuti polisi, itu adalah tanda bahaya yang tidak bisa diabaikan. Ini bukan hanya tentang satu kasus, tetapi tentang refleksi kritis terhadap bagaimana kita sebagai masyarakat dan negara melindungi warganya yang paling rentan.
Semoga kasus D ini menjadi cermin bagi semua pihak terkait untuk berbenah. Bukan hanya tentang mengejar pelaku KDRT, tetapi juga tentang memastikan bahwa setiap korban, dengan segala luka fisik dan batinnya, merasa didengar, dilindungi, dan diberikan harapan. Hanya dengan sistem yang kuat, terkoordinasi, dan penuh empati, kita dapat mencegah lebih banyak lagi kisah keputusasaan yang berujung pada tindakan ekstrem, dan memastikan bahwa setiap individu memiliki hak untuk hidup bebas dari kekerasan dan ketakutan. Mari jadikan kisah D ini sebagai pengingat bahwa setiap suara keputusasaan adalah panggilan untuk aksi nyata dan perubahan.