Ketahui Sekarang: Daftar Negara Paling Rugi Jika Selat Hormuz Ditutup Imbas Perang Iran-Israel, Akankah Indonesia Ikut Terkena Dampak?

Dipublikasikan 26 Juni 2025 oleh admin
Sosial Politik

Ketegangan geopolitik di Timur Tengah kembali memanas, menghadirkan spekulasi serius tentang kemungkinan penutupan Selat Hormuz. Jalur vital ini, yang menjadi urat nadi perdagangan energi global, kini berada di bawah bayang-bayang konflik Iran-Israel. Pertanyaan besar yang mengemuka adalah: negara mana saja yang akan paling merugi jika skenario terburuk ini terjadi, dan bagaimana posisi Indonesia dalam pusaran potensi krisis ini? Artikel ini akan mengupas tuntas daftar negara paling rugi jika Selat Hormuz ditutup imbas perang Iran-Israel, serta menganalisis apakah Indonesia turut terdampak dan bagaimana mitigasinya.

Ketahui Sekarang: Daftar Negara Paling Rugi Jika Selat Hormuz Ditutup Imbas Perang Iran-Israel, Akankah Indonesia Ikut Terkena Dampak?

Selat Hormuz: Urat Nadi Energi Dunia yang Terancam

Selat Hormuz bukanlah sekadar jalur perairan sempit biasa. Terletak strategis di antara Iran dan Oman, selat ini adalah chokepoint maritim terpenting di dunia untuk pengiriman minyak. Data dari Badan Informasi Energi Amerika Serikat (EIA) menunjukkan bahwa sekitar 20 persen dari total pasokan minyak global—rata-rata 20 juta barel per hari (bph) pada tahun 2024—melewati selat ini. Dari jumlah tersebut, sekitar 84 persen minyak mentah dan kondensat, serta 83 persen gas alam cair (LNG), ditujukan ke kawasan Asia.

Minyak yang melintasi selat ini sebagian besar berasal dari produsen utama di Teluk seperti Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Irak, Kuwait, Qatar, dan tentu saja Iran. Mereka hampir seluruhnya menggunakan Selat Hormuz sebagai rute utama ekspor. Ancaman penutupan selat ini, yang muncul di tengah eskalasi konflik antara Iran dan Israel, memicu kekhawatiran global yang mendalam.

Iran sendiri, melalui parlemennya, telah menyetujui rencana penutupan Selat Hormuz sebagai respons terhadap serangan yang disebut sebagai pelanggaran kedaulatannya. Meskipun keputusan akhir berada di tangan Dewan Keamanan Nasional Tertinggi Iran, ancaman ini cukup untuk mengirimkan gelombang kejutan ke pasar energi dan ekonomi global. Amerika Serikat, melalui Menteri Luar Negeri Marco Rubio, bahkan telah mendesak China untuk menggunakan pengaruh diplomatiknya agar mencegah Iran melakukan langkah ekstrem tersebut, mengingat ketergantungan China yang sangat tinggi pada jalur ini.

Negara-negara Asia yang Paling Rentan Jika Selat Hormuz Tertutup

Jika Selat Hormuz benar-benar ditutup atau operasionalnya terganggu secara signifikan, dampaknya akan terasa paling parah di negara-negara Asia yang menjadi importir minyak terbesar dari kawasan Teluk. Berikut adalah beberapa negara yang paling rentan:

1. China: Pembeli Minyak Terbesar dengan Ketergantungan Tinggi

China menempati posisi teratas sebagai negara yang paling terdampak. Sebagai pembeli minyak terbesar dari kawasan Teluk melalui Selat Hormuz, China mengimpor sekitar 5,4 juta barel minyak mentah per hari melalui jalur ini pada kuartal pertama tahun 2025. Ketergantungan ini diperkuat oleh fakta bahwa Arab Saudi adalah pemasok utama kedua bagi China, menyumbang sekitar 15 persen dari total impor minyaknya. Lebih dari 90 persen ekspor minyak Iran juga dibeli oleh China, menjadikannya mitra ekonomi krusial bagi Teheran.

Penutupan Selat Hormuz akan secara langsung mengancam pasokan energi raksasa ekonomi ini, berpotensi melumpuhkan industri dan memicu krisis energi domestik yang serius. Inilah mengapa Amerika Serikat mendesak Beijing untuk turun tangan, karena gangguan pasokan akan merugikan kepentingan ekonomi China sendiri.

2. India: Diversifikasi Pasokan, Namun Tetap Tergantung

India juga sangat bergantung pada Selat Hormuz, dengan impor sekitar 2,1 juta barel minyak mentah per hari melalui jalur ini pada kuartal pertama 2025. Sekitar 53 persen kebutuhan minyak India masih disuplai dari Timur Tengah, terutama dari Irak dan Arab Saudi.

Meskipun demikian, India telah menunjukkan langkah proaktif dalam beberapa tahun terakhir dengan mendiversifikasi pasokan minyaknya, termasuk dengan meningkatkan impor dari Rusia. Menteri Perminyakan dan Gas Alam India, Hardeep Singh Puri, menegaskan bahwa sebagian besar pasokan mereka kini tidak lagi datang melalui Selat Hormuz. Namun, meskipun ada upaya diversifikasi, volume impor yang masih signifikan dari Timur Tengah menjadikan India tetap berada dalam daftar negara yang akan merasakan dampak serius.

3. Korea Selatan: Siaga Darurat dengan Cadangan Strategis

Ketergantungan Korea Selatan pada Selat Hormuz juga sangat tinggi. Sekitar 68 persen, atau 1,7 juta barel per hari, dari impor minyak mentah Korea Selatan melewati selat ini. Arab Saudi menjadi pemasok utama, menyumbang sekitar sepertiga dari total impor minyak negeri ginseng pada tahun lalu.

Pemerintah Korea Selatan, melalui Kementerian Perdagangan dan Energi, menyatakan telah menyiapkan langkah antisipasi. Mereka memiliki cadangan minyak strategis yang setara dengan sekitar 200 hari pasokan, sebuah langkah mitigasi yang krusial untuk menghadapi potensi gangguan pasokan. Namun, cadangan ini tetap memiliki batas waktu dan penutupan jangka panjang akan sangat membebani.

4. Jepang: Jauh Secara Geografis, Dekat Secara Ekonomi

Jepang, meskipun secara geografis jauh dari Timur Tengah dan tidak terlibat langsung dalam konflik, sangat rentan terhadap gejolak di Selat Hormuz. EIA mencatat Jepang mengimpor 1,6 juta barel minyak mentah per hari melalui selat ini, dengan 95 persen impor minyak mentah tahun lalu berasal dari Timur Tengah.

Analis Yuki Togano dari Japan Research Institute menyatakan bahwa gangguan apa pun di Selat Hormuz akan menghambat pengadaan energi dan menyebabkan lonjakan harga yang tajam. Ekonomi Jepang, yang sangat bergantung pada impor energi, akan terpukul keras oleh kenaikan harga minyak global yang tak terhindarkan.

5. Negara-negara Arab Teluk: Penghasil Minyak yang Terisolasi

Ironisnya, negara-negara penghasil minyak di Teluk seperti Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Kuwait, dan Qatar juga akan menderita kerugian besar jika Selat Hormuz ditutup. Sekitar 80-90 persen ekspor minyak dan gas mereka melewati selat ini. Penutupan akan menyebabkan pendapatan negara anjlok drastis, mengancam stabilitas ekonomi dan politik internal yang sangat bergantung pada penjualan hidrokarbon.

Meskipun Arab Saudi memiliki jalur pipa Petroline (East-West Pipeline) menuju Laut Merah dengan kapasitas sekitar 5 juta barel per hari, dan UEA memiliki pipa Habshan-Fujairah, kapasitas alternatif ini masih jauh di bawah total ekspor normal. Ini berarti dampak signifikan tetap tidak dapat dihindari bagi mereka.

6. Amerika Serikat: Net-Eksportir yang Tetap Terdampak

Meski Amerika Serikat kini menjadi net-exporter energi sejak 2019 dan memiliki Cadangan Minyak Strategis (SPR) lebih dari 370 juta barel, penutupan Selat Hormuz tetap akan berdampak. Pasar energi global saling terhubung; kenaikan harga minyak global otomatis akan menaikkan harga BBM di AS, memicu inflasi domestik dan membebani konsumen. Meskipun tidak se-kritis negara-negara Asia, AS tidak kebal terhadap gejolak pasar energi global.

Dampak pada Indonesia: Antara Ketergantungan dan Mitigasi

Lantas, bagaimana dengan Indonesia? Apakah negara kita termasuk dalam daftar negara paling rugi jika Selat Hormuz ditutup imbas perang Iran-Israel? Jawabannya adalah ya, Indonesia dipastikan ikut terdampak, meskipun dengan mekanisme dan skala yang berbeda.

Ketergantungan Impor Minyak

Indonesia, sebagai negara importir minyak, sangat bergantung pada pasokan dari Timur Tengah. Data PT Pertamina (Persero) menunjukkan bahwa impor minyak mentah Indonesia yang melewati Selat Hormuz mencapai 22,8 juta barel. Sebanyak 19 persen dari total impor crude Pertamina sepanjang 2024 berasal dari Arab Saudi, yang sebagian besar melalui jalur Selat Hormuz. Ini berarti, gangguan di jalur tersebut akan langsung memengaruhi ketersediaan dan harga minyak mentah yang masuk ke Indonesia.

Konsekuensi Ekonomi yang Menghantui

Dampak paling nyata dari ancaman blokade Selat Hormuz adalah ketidakpastian pasokan minyak yang berujung pada kenaikan harga minyak mentah dunia. Para pengamat memprediksi harga minyak Brent bisa melonjak tajam, dari sekitar US$77 per barel saat konflik dimulai, menjadi US$80-83, bahkan berpotensi mencapai US$100 atau bahkan US$140-145 per barel jika blokade berlangsung lama.

Kenaikan harga minyak internasional ini akan membawa serangkaian konsekuensi ekonomi bagi Indonesia:

  1. Pembengkakan Subsidi BBM: Saat harga minyak dunia naik, biaya produksi dan impor Bahan Bakar Minyak (BBM) juga akan membengkak. Pemerintah dituntut untuk menjaga harga jual Pertalite dan Solar demi stabilitas sosial dan politik. Selisih antara harga pokok yang naik dan harga jual BBM yang tetap akan ditanggung sebagai subsidi melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Situasi ini akan semakin memburuk jika nilai tukar Rupiah terhadap Dolar AS melemah, karena transaksi minyak dilakukan dalam dolar. Ini berarti APBN akan terkuras signifikan untuk menanggung beban subsidi.
  2. Kenaikan Inflasi dan Daya Beli Lesu: Lonjakan biaya impor BBM akan menyebabkan inflasi harga yang diatur pemerintah melonjak. Kenaikan harga BBM akan diteruskan ke pelaku usaha dan konsumen, membuat pertumbuhan konsumsi rumah tangga melambat. Ini bukan inflasi yang baik, karena terjadi di saat daya beli masyarakat sedang lesu, mengancam stabilitas ekonomi makro.
  3. Ancaman Resesi Global: Ketika harga minyak global meningkat, inflasi global biasanya akan mengiringi, yang berpotensi memicu resesi ekonomi global. Dampaknya, perdagangan global akan semakin terbatas, permintaan produk dari satu negara ke negara lain akan berkurang, termasuk Indonesia. Bank sentral di seluruh dunia mungkin akan mengerek suku bunga untuk mengendalikan inflasi, yang akan membuat biaya investasi semakin mahal dan perputaran ekonomi global melambat.
  4. Dampak pada Sektor Logistik dan Industri: Wakil Menteri Perindustrian, Faisol Riza, mengingatkan bahwa penutupan Selat Hormuz akan berdampak besar pada sektor logistik. Banyak bahan baku impor maupun ekspor yang melalui jalur tersebut akan terpengaruh, mengganggu rantai pasok dan aktivitas produksi di Indonesia.
  5. Risiko Pemutusan Hubungan Kerja (PHK): Meskipun tidak ada korelasi langsung yang disebutkan dalam sumber, gejolak ekonomi global, inflasi yang tinggi, dan melambatnya pertumbuhan ekonomi akibat krisis energi dapat secara tidak langsung berkontribusi pada ketidakpastian bisnis, yang pada gilirannya dapat memicu gelombang PHK di berbagai sektor, seperti yang pernah terjadi pada beberapa startup di tengah ketidakstabilan ekonomi global sebelumnya.

Langkah Mitigasi dan Sikap Pemerintah Indonesia

Menyadari potensi dampak yang serius, pemerintah Indonesia dan berbagai pihak telah mengambil langkah antisipasi:

  • Diplomasi Perdamaian: Ketua DPR RI, Puan Maharani, meminta pemerintah mengajak negara-negara sahabat mendorong perdamaian antara Iran dan Israel, serta mengimbau gencatan senjata segera. Indonesia, dengan prinsip politik bebas aktifnya, didorong untuk mengambil peran kepemimpinan moral dan politik di forum global seperti OKI dan PBB.
  • Simulasi dan Mitigasi Ekonomi: Presiden telah meminta simulasi untuk mengantisipasi dampak pada bahan baku impor dan ekspor. DPR RI dan pemerintah akan segera membahas dampak perang Iran-Israel terhadap Rancangan APBN 2026, memitigasi perkembangan situasi global terkait kurs Rupiah, subsidi BBM, dan dampak ekonomi lainnya.
  • Kesiapan Pertahanan dan Kerjasama: Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto menekankan pentingnya memperkuat pertahanan dan kedaulatan negara, serta membangun kerja sama militer dengan negara sahabat untuk mengantisipasi dampak konflik global.

Kesimpulan: Interkoneksi Global dan Urgensi Stabilitas

Ancaman penutupan Selat Hormuz adalah pengingat tajam akan betapa rapuhnya rantai pasok energi global dan betapa saling terhubungnya ekonomi dunia. Konflik di Timur Tengah, meskipun jauh secara geografis, memiliki potensi untuk memicu efek domino yang terasa hingga ke setiap sudut planet.

Negara-negara Asia, dengan ketergantungan masif pada impor minyak dari Teluk, berada di garis depan risiko kerugian ekonomi jika jalur vital ini terganggu. China, India, Korea Selatan, dan Jepang adalah contoh nyata bagaimana stabilitas energi menjadi fondasi utama pertumbuhan ekonomi mereka. Sementara itu, Indonesia, sebagai importir minyak yang signifikan, tidak dapat mengelak dari dampak berupa pembengkakan subsidi, inflasi, dan potensi perlambatan ekonomi.

Di tengah ketidakpastian ini, urgensi untuk menjaga perdamaian dan stabilitas di Timur Tengah menjadi semakin krusial. Upaya diplomatik, diversifikasi pasokan energi, dan kesiapan mitigasi ekonomi adalah kunci untuk meminimalkan kerugian. Bagi Indonesia, ini adalah momen untuk memperkuat ketahanan ekonomi nasional, sembari terus menyuarakan pentingnya dialog dan solusi damai di panggung internasional, demi masa depan ekonomi yang lebih stabil dan berkelanjutan bagi semua.