Kematian Juliana Marins di Rinjani: Brasil Serius Ancam Tempuh Jalur Hukum Internasional

Dipublikasikan 2 Juli 2025 oleh admin
Sosial Politik

Yogyakarta, zekriansyah.com – Tragedi tewasnya pendaki asal Brasil, Juliana Marins, di Gunung Rinjani pada 21 Juni lalu, kini memasuki babak baru yang lebih serius. Pemerintah Brasil mengancam akan membawa kasus ini ke jalur hukum internasional jika hasil autopsi kedua menunjukkan adanya kelalaian dari pihak Indonesia. Kabar ini tentu menjadi perhatian banyak pihak, terutama keluarga korban yang menuntut kejelasan dan keadilan.

Kematian Juliana Marins di Rinjani: Brasil Serius Ancam Tempuh Jalur Hukum Internasional

Ilustrasi: Keluarga Juliana Marins berduka, Brasil ancam tuntut internasional atas dugaan kelalaian dalam insiden memilukan di Gunung Rinjani.

Anda akan memahami mengapa kasus ini menjadi sorotan global, bagaimana kronologi kejadiannya, dan apa saja tantangan yang dihadapi tim penyelamat. Selain itu, artikel ini juga akan menjelaskan potensi langkah hukum yang akan diambil Brasil, termasuk peran lembaga internasional. Mari kita bedah lebih dalam agar Anda punya gambaran utuh tentang kasus yang sedang memanas ini.

Autopsi Ulang dan Kecurigaan Keluarga Jadi Pemicu

Setelah jenazah Juliana Marins (26) tiba di kampung halamannya di Rio de Janeiro, Brasil, pada Selasa (1/7/2025) malam, pihak keluarga langsung mengajukan permintaan autopsi ulang. Permintaan ini disetujui dan autopsi kedua pun dilakukan pada Rabu (2/7/2025) di Institut Medis Hukum Afrânio Peixoto (IML), Rio de Janeiro.

Mengapa autopsi ulang ini penting? Keluarga merasa ada banyak hal yang belum jelas dari hasil autopsi pertama yang dilakukan di Bali. Terutama terkait kapan dan bagaimana persisnya Juliana meninggal dunia.

“Sertifikat kematian yang dikeluarkan Kedutaan Besar Brasil di Jakarta berdasarkan autopsi yang dilakukan pihak berwenang Indonesia, tetapi tak memberi informasi konklusif soal waktu kematian yang tepat,” demikian catatan dari Kantor Pembela Umum (DPU) Brasil.

Advokat HAM dari Kantor Federal Pembela Publik Brasil (DPU), Taisa Bittencourt, menegaskan pentingnya autopsi kedua ini untuk mengklarifikasi fakta. Jika autopsi ulang ini menemukan indikasi kelalaian atau pengabaian dari otoritas Indonesia dalam penanganan Juliana, Kantor Pembela Umum Federal Brasil (DPU) dan Kantor Jaksa Agung Brasil (AGU) siap menempuh jalur hukum. Bahkan, DPU telah meminta Kepolisian Federal Brasil untuk menyelidiki dugaan pelanggaran kriminal ini.

Kronologi Tragedi Pilu di Gunung Rinjani

Juliana Marins diperkirakan jatuh saat mendaki Gunung Rinjani pada Sabtu, 21 Juni 2025, sekitar pukul 06.30 WITA. Lokasi jatuhnya berada di area Cemara Tunggal, jalur menuju puncak Rinjani via Sembalun. Ia terperosok ke jurang sedalam ratusan meter, ke arah Danau Segara Anak.

Berikut adalah ringkasan kronologinya:

  • Sabtu, 21 Juni: Juliana jatuh sekitar pukul 06.30 WITA. Proses pencarian oleh tim SAR gabungan dimulai sekitar pukul 09.50 WITA. Meski begitu, tim belum bisa menjangkau lokasi korban hingga malam hari.
  • Minggu, 22 Juni: Tim mengerahkan drone untuk pencarian, namun hasilnya tidak maksimal karena cuaca buruk dan kabut tebal.
  • Senin, 23 Juni: Korban berhasil ditemukan sekitar pukul 07.05 WITA. Tim penyelamat menyatakan Juliana dalam kondisi tidak bergerak. Rekaman drone sebelumnya sempat menunjukkan Juliana masih hidup dan bergerak setelah jatuh.
  • Rabu, 25 Juni: Setelah berbagai kendala cuaca ekstrem dan medan yang sulit, korban akhirnya berhasil dievakuasi pada pukul 06.00 WITA dengan metode lifting secara manual oleh petugas SAR.

Autopsi pertama di Bali menyebut Juliana meninggal 20 menit setelah jatuh karena benturan keras di dada dan patah tulang, bukan hipotermia. Namun, keluarga mempertanyakan kenapa proses evakuasi memakan waktu berhari-hari jika korban meninggal begitu cepat.

Tantangan Evakuasi dan Pembelaan Otoritas Indonesia

Kematian Juliana memicu reaksi keras dari warganet Brasil. Banyak yang mengkritik proses evakuasi yang dinilai lambat, pertanyaan mengapa helikopter tidak segera dikerahkan, hingga tuduhan bahwa Juliana meninggal karena “dibiarkan terlalu lama”.

Namun, pihak Balai Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR) dan Basarnas membantah anggapan tersebut. Mereka menjelaskan bahwa proses evakuasi telah dilakukan sesuai prosedur, namun terkendala oleh beberapa faktor:

  • Medan Ekstrem: Gunung Rinjani memiliki topografi yang sangat curam dan berbahaya, terutama di lokasi jatuhnya korban.
  • Cuaca Buruk: Kondisi cuaca di Rinjani sangat tidak menentu, sering berkabut tebal, dan suhu sangat dingin, menghambat pergerakan tim.
  • Keterbatasan Alat: Menurut beberapa pendaki senior, ketersediaan alat penyelamatan darurat di titik rawan masih terbatas, sehingga tim harus mengambil alat dari bawah yang memakan waktu.
  • Keterbatasan Helikopter: Pengamat penerbangan menjelaskan bahwa helikopter Basarnas memiliki batas ketinggian terbang (Hover Out of Ground Effect – OGE) yang lebih rendah dari lokasi jatuhnya korban (9.400 kaki). Artinya, helikopter tidak bisa melayang stabil untuk melakukan evakuasi di ketinggian tersebut, bahkan dalam cuaca bagus sekalipun.

Kepala Basarnas, Marsekal Madya TNI Mohammad Syafii, menegaskan bahwa tim telah berupaya maksimal. “Rinjani ini merupakan lokasi yang ekstrem, topografi yang ekstrem, dan cuaca di sini sangat berubah setiap saat. Ini yang menghambat tim evakuasi tidak maksimal,” jelas Yarman Wasur, Kepala Balai TNGR.

Potensi Jalur Hukum Internasional: Apa Itu IACHR?

Jika hasil autopsi kedua dan penyelidikan Kepolisian Federal Brasil menemukan bukti kelalaian, Brasil tidak ragu akan membawa kasus ini ke badan hukum internasional, salah satunya adalah Komisi Antar-Amerika untuk Hak Asasi Manusia (IACHR).

Apa itu IACHR?
IACHR (Inter-American Commission on Human Rights) adalah lembaga otonom di bawah Organisasi Negara-Negara Amerika (OAS) yang didirikan pada tahun 1959. Misinya adalah melindungi dan mempromosikan hak asasi manusia di negara-negara anggota OAS, termasuk Brasil.

Bagaimana IACHR bekerja?

  • Bukan Pengadilan: IACHR tidak memiliki wewenang eksekusi seperti pengadilan, artinya tidak bisa menangkap atau menjatuhkan sanksi langsung.
  • Kekuatan Moral & Politik: Namun, keputusan dan rekomendasinya memiliki bobot politik dan moral yang sangat besar. Jika IACHR mengakui adanya pelanggaran HAM, mereka dapat mengeluarkan rekomendasi kepada negara yang bersangkutan untuk memperbaiki kebijakan, mengubah undang-undang, atau memberikan kompensasi kepada korban.
  • Tekanan Internasional: Meskipun tidak mengikat secara hukum, keputusan IACHR kerap memberikan tekanan diplomatik dan opini publik yang besar, memaksa negara untuk bertindak.

Saat ini, Brasil masih menunggu laporan resmi dari otoritas Indonesia. “Kami menunggu laporan [dari pihak berwenang Indonesia], dan begitu laporan itu tiba, kami akan menentukan langkah selanjutnya,” ujar Taisa Bittencourt.

Kesimpulan

Kasus kematian Juliana Marins di Gunung Rinjani telah berkembang menjadi isu serius yang berpotensi melibatkan jalur hukum internasional. Permintaan autopsi ulang oleh keluarga Juliana, didukung oleh pemerintah Brasil, menunjukkan adanya kecurigaan kuat terhadap dugaan kelalaian dalam proses penyelamatan.

Meski pihak Indonesia telah memberikan penjelasan mengenai tantangan medan dan cuaca ekstrem, hasil autopsi kedua di Brasil akan menjadi kunci penentu langkah selanjutnya. Kita semua berharap kasus ini dapat segera menemukan titik terang dan keadilan bagi keluarga Juliana Marins. Perkembangan selanjutnya tentu akan terus menjadi perhatian global.