Yogyakarta, zekriansyah.com – Menguak Daftar Kebijakan Wali Kota Bandung Farhan yang Bertentangan dengan Gubernur Dedi Mulyadi
Walikota Bandung Farhan izinkan rapat di hotel, berbeda sikap dengan Gubernur Dedi Mulyadi yang melarang demi efisiensi anggaran.
Pemerintahan daerah di Indonesia punya prinsip otonomi yang kuat, di mana tiap kepala daerah punya keleluasaan membuat kebijakan sesuai kebutuhan wilayahnya. Nah, di Jawa Barat, khususnya Kota Bandung, kita sering melihat bagaimana Wali Kota Muhammad Farhan dan Gubernur Dedi Mulyadi punya pandangan yang berbeda dalam beberapa hal penting. Perbedaan kebijakan Wali Kota Bandung Farhan dan Gubernur Dedi Mulyadi ini menarik untuk dicermati, lho. Dari urusan rapat, fasilitas umum, sampai aturan sekolah, ada beberapa daftar kebijakan Farhan yang bertentangan dengan Dedi Mulyadi, mencerminkan gaya kepemimpinan masing-masing. Mari kita telusuri lebih jauh perbedaan-perbedaan kebijakan pemerintah daerah Bandung ini.
Rapat di Hotel: Efisiensi Versus Dukungan Ekonomi
Salah satu perbedaan mencolok antara dua pemimpin ini adalah terkait kebijakan rapat di hotel. Gubernur Dedi Mulyadi punya pandangan tegas soal ini. Beliau melarang semua Aparatur Sipil Negara di lingkungan Pemerintah Provinsi Jawa Barat untuk menggelar rapat di hotel. Alasannya sangat jelas, yaitu demi efisiensi anggaran dan keadilan fiskal, terutama untuk daerah-daerah tertinggal. Dedi menilai pengeluaran untuk rapat di hotel berbintang bisa jadi pemborosan yang tidak perlu.
Namun, Wali Kota Bandung Muhammad Farhan punya pendekatan yang berbeda. Farhan memperbolehkan Pemerintah Kota Bandung mengadakan rapat di hotel, khususnya hotel bintang dua dan tiga. Keputusan ini bukan tanpa alasan. Farhan menjelaskan bahwa kebijakan ini adalah bagian dari upaya untuk mendukung sektor perhotelan yang terpukul keras pasca-pandemi COVID-19. Menurut Farhan, jika hotel-hotel ini dibiarkan begitu saja, mereka bisa tutup dan berujung pada pemutusan hubungan kerja massal. Kebijakan ini juga sejalan dengan arahan dari Menteri Dalam Negeri. Farhan menekankan bahwa hotel yang digunakan adalah yang memang sedang kesulitan, bukan hotel-hotel kategori ‘prime’.
Polemik Teras Cihampelas: Dibongkar atau Dirawat?
Teras Cihampelas, salah satu ikon Kota Bandung, juga menjadi titik perbedaan pandangan antara Farhan dan Dedi Mulyadi. Gubernur Dedi secara terbuka menantang Farhan untuk membongkar Teras Cihampelas. Alasannya, Teras Cihampelas dianggap mengganggu lalu lintas di sekitarnya dan menimbulkan bau tak sedap.
Namun, Wali Kota Farhan menolak keras usulan pembongkaran tersebut. Farhan menjelaskan bahwa pembongkaran aset daerah dengan nilai tinggi akan berdampak besar, baik dari sisi nilai aset maupun risiko hukum. Berdasarkan kajian, nilai aset Teras Cihampelas mencapai sekitar Rp 80 miliar. Farhan menambahkan bahwa pembongkaran aset daerah yang nilainya di atas Rp 5 miliar dan masih berfungsi baik bisa melanggar aturan. Proses hukum dan politik yang diperlukan untuk pembongkaran semacam itu juga akan sangat panjang dan berisiko. Daripada membongkar, Farhan memilih untuk melakukan perawatan dan menyiapkan anggaran tahunan agar Teras Cihampelas tetap rapi, aman, bersih, dan nyaman. Ia menargetkan tempat ini menjadi rapi, bukan hanya ramai.
Aturan Ponsel di Sekolah: Larangan Total atau Pengaturan Ketat?
Kebijakan terkait penggunaan ponsel di lingkungan sekolah juga memperlihatkan perbedaan gaya kepemimpinan antara Dedi dan Farhan. Gubernur Dedi Mulyadi melarang keras murid SD dan SMP membawa ponsel ke sekolah. Tujuannya adalah untuk melindungi anak-anak dari penyalahgunaan teknologi yang bisa berdampak negatif pada proses belajar mengajar dan perkembangan mereka.
Di sisi lain, Wali Kota Farhan tidak sependapat dengan larangan total tersebut. Farhan memilih untuk tidak melarang, melainkan mengatur penggunaan ponsel di sekolah secara ketat. Ia menekankan bahwa ponsel siswa harus dikumpulkan saat jam pelajaran berlangsung dan baru dikembalikan ketika siswa pulang sekolah. Menurut Farhan, tujuannya bukan untuk melarang, tetapi untuk memastikan penggunaan ponsel tidak sampai mengganggu konsentrasi belajar mengajar. Setiap sekolah di Bandung diwajibkan memiliki aturan teknis yang jelas mengenai hal ini.
Jam Masuk Sekolah: Seragam atau Terpecah?
Perbedaan lain yang penting adalah mengenai jam masuk sekolah. Gubernur Dedi Mulyadi sempat mengeluarkan surat edaran yang menginstruksikan jam masuk sekolah pukul 06.30 WIB untuk jenjang SMA/SMK di Jawa Barat. Untuk SD dan SMP, beliau menyerahkan penyesuaian kepada pemerintah kabupaten/kota masing-masing. Dedi berpendapat bahwa belajar di pagi hari penting untuk membangun karakter dan konsentrasi siswa lebih baik saat pagi.
Meskipun demikian, Wali Kota Bandung Muhammad Farhan memutuskan untuk menerapkan skema jam masuk sekolah yang berbeda di Kota Bandung. Kebijakan ini dikeluarkan untuk meminimalisir kemacetan lalu lintas yang kerap terjadi di pagi hari di Kota Bandung. Jadi, untuk SMA/SMK tetap masuk pukul 06.30 WIB mengikuti kebijakan provinsi. Namun, untuk SMP, Farhan menetapkan jam masuk pukul 07.00 WIB, dan untuk SD, pukul 07.30 WIB. Farhan beralasan bahwa jenjang SD dan SMP merupakan kewenangan walikota atau bupati. Dengan memecah waktu masuk sekolah ini, ia yakin kepadatan lalu lintas bisa terurai dan mobilitas warga tetap lancar.
Pelajaran dari Perbedaan Kebijakan
Dari daftar kebijakan Wali Kota Bandung Farhan yang bertentangan dengan Gubernur Dedi Mulyadi ini, kita bisa melihat bahwa keduanya memiliki prioritas dan pendekatan yang berbeda dalam memimpin. Ini adalah cerminan dari prinsip otonomi daerah yang memberikan ruang bagi kepala daerah untuk berinovasi sesuai kondisi wilayahnya. Muhammad Farhan sebagai Wali Kota Bandung memiliki kewenangan untuk menyesuaikan kebijakan dengan kondisi spesifik kotanya, sementara Dedi Mulyadi sebagai Gubernur Jawa Barat memiliki pandangan yang lebih luas untuk tingkat provinsi.
Meskipun ada perbedaan, tujuan akhirnya tentu sama, yaitu memberikan yang terbaik bagi masyarakat Jawa Barat dan khususnya Kota Bandung. Perdebatan kebijakan seperti ini justru bisa memperkaya khazanah tata kelola pemerintahan kita, menunjukkan bahwa ada beragam cara untuk mencapai tujuan pembangunan yang sama.