Kapolsek Cidahu Diduga Dukung Penutupan Rumah Retret di Sukabumi: Sorotan Tajam Pelanggaran Kebebasan Beragama

Dipublikasikan 13 Juli 2025 oleh admin
Sosial Politik

Belakangan ini, sebuah video yang memperlihatkan Kapolsek Cidahu, AKP Slamet, diduga mendukung penutupan rumah retret di Desa Tangkil, Kecamatan Cidahu, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, telah memicu perdebatan sengit di masyarakat. Insiden ini tidak hanya menjadi sorotan lokal, tetapi juga menimbulkan pertanyaan besar tentang kebebasan beragama dan penegakan hukum di Indonesia.

Kapolsek Cidahu Diduga Dukung Penutupan Rumah Retret di Sukabumi: Sorotan Tajam Pelanggaran Kebebasan Beragama

Kapolsek Cidahu Diduga Dukung Penutupan Rumah Retret di Sukabumi, Picu Sorotan Pelanggaran Kebebasan Beragama.

Artikel ini akan mengupas tuntas duduk perkara di balik dugaan dukungan Kapolsek Cidahu terhadap penutupan rumah retret, bagaimana respons dari berbagai pihak, serta implikasi hukum dan hak asasi manusia yang menyertainya. Mari kita pahami bersama kronologi dan seluk-beluk kasus yang sensitif ini.

Awal Mula Insiden: Pembubaran Retret di Cidahu, Sukabumi

Semua bermula pada Jumat, 27 Juni 2025, ketika sekelompok anak dan remaja beragama Kristen tengah menjalani kegiatan retret di sebuah rumah singgah atau vila milik Maria Veronica Ninna di Desa Tangkil, Cidahu, Sukabumi. Kegiatan reflektif yang seharusnya berjalan damai ini tiba-tiba dibubarkan paksa oleh sejumlah warga.

Kegiatan Retret yang Berujung Ricuh

Para peserta retret, yang mayoritas adalah pelajar berusia 10 hingga 14 tahun dari sebuah gereja di Tangerang Selatan, sedang mengikuti program reflektif yang dikemas dengan permainan. Namun, sekitar pukul 13.15 WIB, sekelompok warga datang, menggedor dan mendobrak gerbang, lalu masuk dan merusak fasilitas rumah. Kaca jendela pecah, pot bunga hancur, gazebo rusak, bahkan simbol keagamaan seperti salib diambil paksa dan diturunkan. Satu unit motor juga didorong warga ke sungai.

Kejadian ini meninggalkan trauma mendalam bagi anak-anak dan remaja yang menjadi saksi mata. Bayangkan saja, momen liburan sekolah yang seharusnya menyenangkan berubah menjadi pengalaman menakutkan yang penuh kekerasan dan intimidasi.

Klaim Warga dan Upaya Mediasi Awal

Menurut Kepala Desa Tangkil, Ijang Sehabudin, tindakan warga ini dipicu oleh video dan informasi yang beredar bahwa rumah singgah tersebut digunakan untuk kegiatan ibadah keagamaan umat Kristen Protestan tanpa izin. Ketua RT setempat, Hendra, menambahkan bahwa rumah itu sudah tiga kali digunakan untuk “misa”, dan warga merasa terganggu serta tidak diindahkan setelah mediasi sebelumnya.

Pihak Forkopimcam (Forum Komunikasi Pimpinan Kecamatan) Cidahu, termasuk Kapolsek, Camat, dan Babinsa, sempat mendatangi lokasi untuk menanyakan izin. Namun, karena tidak ada tanggapan yang memuaskan dan waktu mepet ke Salat Jumat, warga akhirnya bergerak secara spontan, menyebabkan insiden perusakan.

Video Viral dan Pernyataan Kontroversial Kapolsek Cidahu

Kontroversi semakin memanas setelah sebuah video berdurasi 1 menit 7 detik viral di media sosial X pada Minggu, 13 Juli 2025. Dalam video tersebut, Kapolsek Cidahu, AKP Slamet, terlihat berbicara di depan ratusan warga, memberikan pernyataan yang menuai kecaman luas.

Isi Pernyataan AKP Slamet

Dalam rekaman tersebut, AKP Slamet mengatakan akan menutup rumah retret itu dengan mengatasnamakan undang-undang. “Atas nama undang-undang, saya dari kepolisian sektor Cidahu akan menutup tempat ini,” ujarnya. Ia juga menambahkan, “Rumahnya gak salah, tapi digunakan hal-hal agama di luar kita.” Pernyataan ini disetujui dengan sorakan “Mantap, setuju!” dari warga.

Pernyataan ini sangat mengejutkan, mengingat posisi beliau sebagai aparat penegak hukum yang seharusnya netral dan melindungi hak setiap warga negara.

Kecaman dari Praktisi Hukum dan Aktivis HAM

Respons keras datang dari berbagai pihak. Martin Lukas Simanjuntak, mantan pengacara Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, mengecam pernyataan Kapolsek Cidahu tersebut sebagai tidak profesional dan layak dicopot. Menurut Martin, AKP Slamet telah melakukan dua kekeliruan fatal:

  • Serampangan dalam memerintahkan penutupan: Polisi tidak memiliki wewenang untuk menutup properti, seperti yang diatur dalam Pasal 13 dan 14 UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Pasal 39 KUHAP. Polisi hanya berwenang menyita barang bukti tindak pidana.
  • Memihak pelaku perusakan: Pernyataan “rumah tidak salah, namun pergunakan untuk kegiatan ibadah di luar kita” menunjukkan sikap tidak netral dan berpihak kepada pihak yang melakukan intimidasi dan persekusi.

Praktisi hukum lain, Endang R, SH, juga menilai ungkapan Kapolsek itu sebagai “ngawur” dan bentuk ketidakprofesionalan. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan Gerakan Angkatan Muda Kristen Indonesia (GAMKI) juga mengecam insiden ini sebagai pelanggaran serius terhadap hak kebebasan beragama yang dijamin konstitusi.

Proses Hukum dan Dilema Keadilan Restoratif

Meskipun ada upaya mediasi awal, insiden perusakan rumah retret ini akhirnya berlanjut ke jalur hukum.

Penetapan Tersangka dan Jeratan Pasal

Yohanes Wedy, adik dari pemilik rumah, melaporkan kejadian ini pada 28 Juni 2025. Kasus kemudian diambil alih oleh Polres Sukabumi. Dalam waktu singkat, tujuh orang warga dari Desa Tangkil ditetapkan sebagai tersangka pada 30 Juni 2025, dan satu tersangka tambahan berinisial YY ditangkap pada 4 Juli 2025, menjadikan total delapan tersangka.

Para tersangka dijerat dengan Pasal 170 KUHP tentang perusakan secara bersama-sama dan Pasal 406 KUHP tentang perusakan barang. Kapolres Sukabumi, AKBP Samian, menegaskan bahwa kasus ini adalah “murni tindak pidana” dan akan ditindak tegas.

Intervensi Kemenham dan Respon Pegiat HAM

Di tengah proses hukum, Kementerian HAM (Kemenham) mengusulkan penangguhan penahanan terhadap ketujuh tersangka, bahkan bersedia menjadi penjamin. Staf Khusus Menteri HAM, Thomas Harming Suwarta, menyatakan bahwa upaya pencarian keadilan bisa dilakukan melalui mediasi atau keadilan restoratif (restorative justice), dengan alasan para tersangka “tidak tahu menahu” dan hanya “diajak untuk melakukan perusakan,” serta banyak yang merupakan tulang punggung keluarga.

Namun, usulan ini justru menuai kecaman dari Forum Aktivis Hak Asasi Manusia (FAHAM). Teo Hanpalam dari FAHAM menilai usulan Kemenham “kerdil” dan “mencederai hak umat beragama”, karena ini adalah tindakan pidana perusakan dan mengganggu ketertiban umum, bukan sekadar ujaran kebencian. FAHAM menegaskan bahwa para pelaku harus ditindak tegas sesuai hukum yang berlaku demi menjaga keharmonisan dan keutuhan NKRI.

Dampak dan Harapan akan Toleransi Beragama

Kasus ini menyisakan luka yang dalam, tidak hanya bagi korban dan peserta retret, tetapi juga bagi tatanan toleransi beragama di Indonesia.

Trauma Bagi Anak-anak Peserta Retret

Dampak paling menyedihkan adalah trauma psikologis yang dialami anak-anak dan remaja peserta retret. Mereka menyaksikan langsung kekerasan dan perusakan, yang bisa meninggalkan bekas mendalam seumur hidup. Pihak gereja memilih menghormati proses hukum, namun GAMKI dan FAHAM mendesak agar anak-anak ini mendapatkan pendampingan psikologis untuk memulihkan diri.

Pentingnya Menjaga Harmoni dan Penegakan Hukum

Insiden di Cidahu, Sukabumi ini menjadi pengingat pentingnya menjaga harmoni sosial dan memastikan penegakan hukum yang profesional, netral, dan berkeadilan. Kebebasan beragama dan berkeyakinan adalah hak dasar yang dijamin oleh konstitusi, dan setiap tindakan intoleransi harus ditindak tegas.

Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, telah menunjukkan komitmennya dengan menanggung kerusakan dan memberikan pendampingan psikologis. Namun, yang terpenting adalah memastikan bahwa kejadian serupa tidak terulang, dan setiap warga negara merasa aman serta dilindungi dalam menjalankan keyakinannya.

Kesimpulan

Kasus dugaan dukungan Kapolsek Cidahu terhadap penutupan rumah retret di Sukabumi ini adalah cerminan kompleksitas isu kebebasan beragama dan tantangan penegakan hukum di Indonesia. Pernyataan kontroversial dari seorang pejabat kepolisian dan upaya intervensi yang menuai pro-kontra menunjukkan bahwa masih banyak pekerjaan rumah untuk memastikan prinsip toleransi dan keadilan benar-benar terwujud.

Diharapkan, proses hukum yang sedang berjalan dapat berjalan transparan, profesional, dan berkeadilan, tanpa intervensi yang mengesankan keberpihakan. Hanya dengan penegakan hukum yang tegas dan komitmen bersama untuk menghormati perbedaan, masyarakat bisa kembali membangun kepercayaan dan harmoni yang kokoh. Mari kita terus mendukung terciptanya lingkungan yang aman dan damai bagi semua.