“Kami Pernah Berperang Delapan Tahun”: Mengapa Pengakuan Dubes Iran untuk Indonesia Ini Mengubah Perspektif?

Dipublikasikan 25 Juni 2025 oleh admin
Sosial Politik

Di tengah gejolak Timur Tengah yang tak kunjung mereda, sebuah pernyataan dari Duta Besar Iran untuk Indonesia, Mohammad Boroujerdi, menggema dengan resonansi mendalam: “Kami pernah berperang delapan tahun.” Kalimat sederhana ini, yang diucapkan dalam konteks ketegangan terkini antara Iran dan Israel, bukan sekadar penuturan sejarah. Ia adalah kunci untuk memahami ketahanan, strategi, dan perspektif Iran di panggung geopolitik global. Artikel ini akan menyelami makna di balik pernyataan tersebut, menelusuri akar sejarah Perang Iran-Irak, menganalisis implikasinya terhadap respons Iran saat ini, serta menyoroti peran diplomasi internasional, khususnya Indonesia, dalam meredakan konflik yang berpotensi meluas. Memahami narasi ini esensial bagi siapa pun yang ingin melihat lebih jauh dari tajuk berita dan menggali kompleksitas konflik yang mempengaruhi stabilitas dunia.

Akar Ketahanan: Memori Delapan Tahun Perang yang Membentuk Iran Modern

Ketika Duta Besar Mohammad Boroujerdi menyatakan bahwa Iran “pernah berperang delapan tahun,” ia merujuk pada Perang Iran-Irak (1980-1988), sebuah konflik brutal dan berkepanjangan yang secara fundamental membentuk identitas dan strategi pertahanan Republik Islam Iran. Perang ini, yang dikenal di Iran sebagai “Pertahanan Suci,” adalah pengalaman pahit yang menelan jutaan korban dan menyebabkan kerusakan infrastruktur yang masif. Namun, dari abu konflik tersebut, lahirlah sebuah bangsa yang, menurut Boroujerdi, “terbiasa perang” dan memiliki kapasitas luar biasa untuk mengelola negara di bawah tekanan ekstrem.

Pengalaman selama delapan tahun menghadapi agresi eksternal telah mengukir mentalitas ketahanan kolektif dalam diri rakyat Iran. Mereka belajar bagaimana mempertahankan layanan publik agar tetap berjalan normal di tengah peperangan, bagaimana menjaga moral masyarakat tetap tinggi, dan yang terpenting, bagaimana membangun sistem pertahanan dan perlawanan yang tangguh. Sistem kaderisasi dan pelatihan yang matang di berbagai lembaga negara, baik militer maupun politik, memastikan kontinuitas kepemimpinan dan kesiapsiagaan nasional. Bahkan ketika para pejabat tinggi militer menjadi sasaran, seperti yang disoroti Boroujerdi mengenai teror terhadap 20 pejabat Iran, kepemimpinan pengganti dapat segera ditentukan, membuktikan bahwa “satu, sepuluh, seratus pejabat diteror secara pengecut oleh rezim Zionis, ini tidak akan menghentikan arus dan perlawanan dari negara kami.”

Lebih dari sekadar pengalaman militer, perang delapan tahun itu juga membentuk filosofi pertahanan Iran. Mereka menganggap diri sebagai korban penindasan dan agresi, namun pada saat yang sama, mereka adalah negara yang kuat dan mampu membela diri secara sah. Ini adalah dasar dari respons mereka terhadap serangan saat ini, di mana setiap aksi agresi akan dibalas dengan proporsional dan tegas.

Dinamika Konflik Terkini: Bela Diri Proporsional di Bawah Hukum Internasional

Konflik antara Iran dan Israel, yang kembali memanas sejak pertengahan Juni 2025 dengan serangkaian serangan udara terhadap fasilitas vital Iran, telah memicu kekhawatiran global. Mohammad Boroujerdi menegaskan bahwa serangan-serangan ini, yang menargetkan kilang minyak, fasilitas penelitian nuklir, hingga permukiman sipil, adalah tindakan ilegal yang melanggar hukum internasional. Klaim rezim Zionis bahwa mereka hanya menyasar target militer, menurut Dubes Iran, adalah kebohongan yang telah terbukti, mengacu pada pengalaman di Gaza di mana mayoritas korban adalah perempuan dan anak-anak.

Namun, Iran bukan Gaza. Iran adalah negara berdaulat dengan kemampuan militer yang signifikan. Respons Iran terhadap serangan ini selalu ditekankan sebagai “aksi bela diri” yang proporsional. Dubes Boroujerdi menjelaskan bahwa:

  • Iran akan terus melanjutkan aksi bela diri selama agresi militer terhadap negaranya belum dihentikan.
  • Aksi balasan Iran senantiasa memperhitungkan dengan matang agar perang tidak meluas dan selalu menargetkan fasilitas militer, bukan pemukiman warga, rumah sakit, atau sekolah. Hal ini sangat kontras dengan apa yang dilakukan Israel, termasuk serangan terhadap rumah sakit.
  • Landasan hukum Iran untuk membalas serangan adalah Pasal 51 Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), yang menjamin hak sah setiap negara untuk mempertahankan diri dari serangan bersenjata.

Pemerintah Iran juga menyoroti upaya infiltrasi internal oleh agen-agen yang berafiliasi dengan organisasi teroris Mojahedin-e-Khalq Organization (MKO). Kelompok ini, yang karakternya diakui sebagai teroris oleh banyak negara, telah berulang kali melakukan tindakan bersenjata dan pengeboman yang menewaskan pejabat dan warga sipil di Iran. Ini menunjukkan bahwa ancaman yang dihadapi Iran tidak hanya datang dari luar, melainkan juga dari dalam negeri, semakin memperumit situasi keamanan nasional mereka.

Peran Diplomasi dan Solidaritas Internasional: Suara Indonesia di Tengah Badai

Meredanya eskalasi konflik antara Iran dan Israel setelah 12 hari pertempuran, yang diumumkan oleh Presiden Iran Masoud Pezeshkian, disambut baik oleh komunitas internasional. Wakil Ketua Komisi I DPR RI, Dave Laksono, menyoroti bahwa berhentinya konfrontasi militer ini adalah perkembangan positif tidak hanya bagi Timur Tengah, tetapi juga bagi stabilitas politik dan keamanan global. Dave menekankan pentingnya memanfaatkan momentum ini untuk mendorong diplomasi yang lebih berkelanjutan, demi memastikan peristiwa serupa tidak terulang di masa depan.

Indonesia, sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia dan menjunjung tinggi prinsip perdamaian dan non-intervensi, memiliki potensi besar untuk berkontribusi dalam mengembalikan perdamaian dan stabilitas di kawasan Asia Barat. Dubes Boroujerdi secara khusus menyampaikan apresiasi atas sikap tepat yang diambil oleh pemerintah, Presiden, Menteri Luar Negeri, organisasi-organisasi Islam, dan masyarakat Indonesia yang menunjukkan dukungan kepada Republik Islam Iran. Indonesia, dengan kapasitasnya di berbagai forum multilateral seperti Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Badan Energi Atom Internasional (IAEA), D-8, dan ASEAN, diharapkan dapat menggunakan pengaruhnya untuk menciptakan perdamaian dan stabilitas.

Eks-Duta Besar RI untuk Iran periode 2012-2016, Dian Wirengjurit, juga menegaskan pentingnya jalur diplomasi. Dalam pandangannya, negara-negara di Timur Tengah, yang banyak di antaranya telah berkembang menjadi negara modern dan maju, tidak akan mau menanggung risiko kehancuran akibat perang yang bukan perang mereka. Ia berharap konflik tidak berlarut-larut hingga memicu kepanikan global dan keterlibatan negara-negara kuat seperti Amerika Serikat, yang berpotensi menyebabkan Perang Dunia III. Kunjungan Perdana Menteri India Narendra Modi ke Rusia untuk bertemu Presiden Vladimir Putin, yang juga mengedepankan dialog dan diplomasi, menjadi contoh bahwa saluran komunikasi harus tetap terbuka bahkan di masa perang.

Dalam konteks evakuasi Warga Negara Indonesia (WNI) dari Iran, kerja sama antara pemerintah Republik Islam Iran, Kedutaan Besar Iran di Jakarta, dan Kedutaan Besar Indonesia di Teheran berjalan efektif. Sekitar 97 WNI berhasil dievakuasi, menunjukkan komitmen kedua negara dalam melindungi warga sipil di tengah konflik.

Implikasi Geopolitik: Selat Hormuz dan Kekuatan Besar di Balik Layar

Salah satu kekhawatiran terbesar dalam konflik Iran-Israel adalah potensi penutupan Selat Hormuz. Selat ini, yang merupakan jalur perairan sempit antara Iran dan Oman, adalah arteri vital bagi pasokan minyak global. Sekitar seperlima dari minyak mentah dunia, atau sekitar 20 juta barel per hari, melintasi selat ini. Gangguan sekecil apa pun dapat memicu lonjakan drastis harga minyak global, yang pada gilirannya akan mempengaruhi perekonomian seluruh dunia, termasuk Indonesia.

Amerika Serikat telah mendesak Tiongkok, sebagai pembeli minyak Iran terbesar, untuk mencegah Iran menutup Selat Hormuz. Bagi Iran, kemampuan untuk menutup Selat Hormuz adalah bentuk “daya cegah” yang strategis, mirip dengan kepemilikan senjata nuklir. Ini membuat pihak luar berpikir dua kali untuk bertikai dengan Iran karena Teheran memiliki kartu truf yang dapat mengganggu perekonomian global. Meskipun para analis sepakat bahwa penutupan total akan sangat merugikan Iran sendiri dan sekutunya, potensi tindakan bertahap seperti menyatakan larangan navigasi, pemeriksaan kapal, atau peletakan ranjau laut, tetap menjadi ancaman serius. Pengalaman Perang Iran-Irak menunjukkan bahwa meskipun Iran gagal menutup total selat, mereka berhasil menaikkan premi asuransi pengiriman dan menciptakan kemacetan maritim yang mahal.

Di balik konflik regional ini, ada catur geopolitik yang lebih besar melibatkan kekuatan-kekuatan dunia. Tiongkok dan Rusia memiliki kemitraan strategis dengan Iran, yang tidak hanya terbatas pada ekonomi. Dukungan ini menjadi penyeimbang bagi bantuan Amerika Serikat kepada Israel. Duta Besar Rusia untuk Indonesia, Lyudmilla Vorobieva, dalam konteks perang Rusia-Ukraina, menegaskan bahwa Rusia “tidak pernah memulai, justru mengakhiri perang,” dan bahwa mereka berjuang melawan dominasi Barat yang mendikte cara hidup negara lain. Perspektif ini mencerminkan kompleksitas aliansi dan kepentingan yang saling terkait dalam konflik global, di mana setiap langkah memiliki konsekuensi berantai.

Kesimpulan: Belajar dari Masa Lalu untuk Menatap Masa Depan yang Lebih Damai

Pernyataan Duta Besar Iran untuk Indonesia, “Kami pernah berperang delapan tahun,” jauh dari sekadar pengulangan sejarah. Ini adalah cerminan dari ketahanan yang ditempa oleh api konflik, sebuah pengingat akan kapasitas suatu bangsa untuk bangkit dari kehancuran dan mempertahankan kedaulatannya. Pengalaman Perang Iran-Irak telah memberikan Iran kapasitas unik dalam menghadapi tekanan eksternal, mengelola negara di masa sulit, dan merumuskan strategi pertahanan diri yang tegas namun proporsional.

Di tengah ketegangan global yang terus meningkat, pemahaman akan narasi historis dan filosofi pertahanan suatu negara menjadi krusial. Iran, dengan pengalamannya yang pahit, menegaskan bahwa mereka akan terus membela diri selama agresi berlanjut, namun selalu berlandaskan pada hukum internasional dan prinsip proporsionalitas.

Peran diplomasi dan solidaritas internasional, termasuk dari Indonesia, menjadi semakin vital. Dengan kapasitasnya di berbagai forum global, Indonesia dapat menjadi jembatan perdamaian, mendorong dialog, dan menekan semua pihak untuk menahan diri dari tindakan yang dapat menyeret kawasan dan dunia ke dalam konflik yang lebih besar. Mempelajari pelajaran dari masa lalu, seperti yang disampaikan oleh Dubes Boroujerdi, adalah langkah awal untuk menavigasi kompleksitas masa kini dan membangun masa depan yang lebih stabil dan damai bagi semua.

Bagaimana menurut Anda, seberapa besar dampak pengalaman historis sebuah negara dalam membentuk responsnya terhadap konflik di masa kini? Bagikan pandangan Anda di kolom komentar!