Yogyakarta, zekriansyah.com – Pernahkah Anda bertanya-tanya, “Kok banyak ya yang kuliah tinggi-tinggi tapi masih susah cari kerja?” Pertanyaan ini mungkin sering terlintas di benak kita. Ternyata, data terbaru dari Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) menunjukkan fakta yang cukup mencengangkan: lebih dari 1 juta sarjana di Indonesia saat ini berstatus pengangguran.
Ilustrasi: Jutaan gelar sarjana tak berdaya di tengah lautan pengangguran, menyoroti jurang antara pendidikan tinggi dan kebutuhan pasar kerja.
Angka ini tentu bikin kita mikir, ada apa sebenarnya? Artikel ini akan membantu Anda memahami lebih dalam potret pengangguran di Indonesia, khususnya di kalangan sarjana, serta langkah-langkah yang sedang diupayakan pemerintah untuk mengatasi masalah ini. Yuk, simak sampai tuntas agar kita bisa melihat gambaran utuh dan mungkin menemukan solusi bersama!
Potret Lengkap Angka Pengangguran di Indonesia
Data terbaru yang disampaikan Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Yassierli dalam Kajian Tengah Tahun INDEF 2025 pada Rabu (2/7), menunjukkan total pengangguran di Indonesia menyentuh angka 7,28 juta orang. Angka ini sejalan dengan data Badan Pusat Statistik (BPS) per Mei 2025, yang mencatat Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) sebesar 4,76 persen, terendah sejak krisis 1998.
Namun, di balik angka TPT yang rendah, ada fakta menarik tentang profil pendidikan para pengangguran ini. Ternyata, pengangguran tidak hanya didominasi oleh lulusan SD atau SMP saja, tapi juga oleh mereka yang punya gelar sarjana.
Berikut rincian jumlah pengangguran di Indonesia berdasarkan jenjang pendidikan:
Jenjang Pendidikan | Jumlah Pengangguran |
---|---|
SD dan SMP | 2,42 juta orang |
SMA | 2,03 juta orang |
SMK | 1,62 juta orang |
Universitas (S1) | 1,01 juta orang |
Diploma | 177 ribu orang |
Total | 7,28 juta orang |
Dari data di atas, terlihat jelas bahwa lulusan SD dan SMP memang mendominasi jumlah pengangguran, namun angka 1,01 juta sarjana yang menganggur ini tidak bisa dianggap remeh.
Mengapa Sarjana Sulit Cari Kerja?
Menaker Yassierli menyoroti salah satu masalah utama yang menjadi tantangan besar bagi Indonesia, yaitu kualitas tenaga kerja.
“Unfortunately, kualitas tenaga kerja kita ini juga problem, 85 persen itu adalah lulusan SMA-SMK maksimum. Ini menjadi tantangan kita,” tegas Yassierli.
Pernyataan ini menunjukkan bahwa mayoritas angkatan kerja kita masih memiliki pendidikan maksimal SMA/SMK. Ini menjadi PR besar karena persaingan di dunia kerja semakin ketat, apalagi untuk posisi yang membutuhkan keahlian khusus.
Selain itu, Menaker juga menyebutkan bahwa solusi pengangguran harus dilihat dari dua sisi:
- Supply (pasokan tenaga kerja): Jumlah lulusan yang terus bertambah setiap tahun.
- Demand (ketersediaan lapangan kerja): Apakah lapangan kerja yang tersedia sesuai dengan kualifikasi dan jumlah lulusan yang ada?
Faktor lain yang turut memengaruhi adalah dominasi sektor informal dalam angkatan kerja. Saat ini, sekitar 60 persen tenaga kerja kita berada di sektor informal. Pekerjaan di sektor informal seringkali kurang terjamin dari segi perlindungan sosial dan jenjang karier.
Rektor Universitas Diponegoro (UNDIP), Prof. Dr. Suharnomo, juga menambahkan pandangannya terkait angka pengangguran sarjana.
“Saat ini, angka pengangguran lulusan sarjana masih sangat tinggi, mencapai 635 ribu orang. Padahal, jumlah lulusan sarjana juga terus bertambah setiap tahunnya. Gagasan yang dibawa oleh Menteri KP2MI sangat luar biasa, baik untuk UNDIP maupun untuk Indonesia. Ini membuka peluang yang sangat luas, karena dunia kerja tidak hanya terbatas di dalam negeri, tapi juga terbuka di luar negeri. Tidak hanya pekerjaan domestik, tapi juga profesional di tingkat global,” ujarnya.
Pernyataan ini menggarisbawahi bahwa jumlah sarjana terus meningkat, namun lapangan kerja di dalam negeri mungkin belum cukup menyerap semuanya, sehingga peluang kerja di luar negeri perlu dioptimalkan.
Terobosan Pemerintah Atasi Pengangguran Lulusan
Pemerintah tidak tinggal diam menghadapi tantangan pengangguran ini. Berbagai program dan kebijakan sedang digulirkan untuk menciptakan lebih banyak lapangan kerja dan meningkatkan kualitas SDM.
Salah satu program prioritas yang disorot Menaker Yassierli adalah Koperasi Desa/Kelurahan (Kopdes) Merah Putih. Program ini menargetkan pembentukan 80.000 koperasi hingga akhir 2025.
“Kalau seandainya pengelola, karena koperasi itu nanti ada pengelola, ada pekerja, 25 orang saja dikali 80 ribu itu sudah 2,5 juta, 2 juta sekian (lapangan kerja terbentuk). Itu gambaran. Apalagi kemudian ketika koperasi itu diberikan insentif modal, dan dia bisa berkembang dan seterusnya,” jelas Yassierli.
Program ini diharapkan bisa membuka jutaan lapangan kerja baru dan mengubah pandangan masyarakat bahwa bekerja tidak harus selalu di perusahaan besar di kota metropolitan.
Selain itu, ada juga inisiatif dari perguruan tinggi seperti UNDIP Migrant Center. Pusat ini didirikan untuk mempersiapkan calon pekerja migran Indonesia yang terampil. Layanan yang disediakan mencakup:
- Informasi peluang kerja dan pemetaan minat kerja luar negeri.
- Pelatihan keterampilan, bahasa asing, soft skill, dan edukasi keuangan.
- Sertifikasi kompetensi.
- Job matching dan penempatan kerja.
Inisiatif seperti ini sangat penting untuk membuka wawasan bahwa peluang kerja tidak hanya di dalam negeri, tapi juga di pasar global, terutama untuk posisi profesional yang membutuhkan keahlian.
Kesimpulan
Angka 1,01 juta sarjana yang menganggur di Indonesia memang menjadi pekerjaan rumah besar bagi kita semua. Ini bukan hanya soal ketersediaan lapangan kerja, tetapi juga tantangan dalam menyesuaikan kualitas dan keahlian lulusan dengan kebutuhan industri.
Pemerintah melalui berbagai program seperti Kopdes Merah Putih dan inisiatif seperti Migrant Center terus berupaya menciptakan lebih banyak peluang. Namun, sebagai individu, kita juga perlu terus mengasah diri, tidak terpaku pada satu jenis pekerjaan, dan berani melihat peluang di sektor lain, bahkan di luar negeri. Dengan kolaborasi antara pemerintah, dunia pendidikan, dan kesiapan individu, semoga angka pengangguran, khususnya di kalangan sarjana, bisa terus ditekan di masa mendatang.