Jurnalis Olahraga Prancis Dihukum 7 Tahun Penjara di Aljazair: Dituduh Dukung Terorisme

Dipublikasikan 1 Juli 2025 oleh admin
Sosial Politik

Yogyakarta, zekriansyah.com – Berita mengejutkan datang dari Aljazair. Christophe Gleizes, seorang jurnalis olahraga asal Prancis, baru-baru ini dijatuhi hukuman penjara tujuh tahun. Ia divonis bersalah atas tuduhan “mendukung terorisme” dan “memiliki publikasi untuk tujuan propaganda yang merugikan kepentingan nasional”. Tentu saja, vonis ini langsung memicu gelombang protes dari organisasi kebebasan pers dan rekan-rekan jurnalisnya.

Jurnalis Olahraga Prancis Dihukum 7 Tahun Penjara di Aljazair: Dituduh Dukung Terorisme

Ilustrasi: Sorotan dunia tertuju pada jurnalis Prancis yang dijatuhi hukuman penjara di Aljazair atas tuduhan mendukung terorisme.

Artikel ini akan membahas tuntas kasus Christophe Gleizes, mulai dari latar belakang penangkapannya, tuduhan yang dialamatkan kepadanya, hingga dampaknya terhadap hubungan Prancis dan Aljazair yang memang sedang tegang. Dengan membaca ini, Anda akan memahami lebih dalam mengapa kasus ini menjadi sorotan dunia dan apa artinya bagi kebebasan pers.

Siapa Christophe Gleizes dan Mengapa Ia Ditangkap?

Christophe Gleizes (36), adalah seorang jurnalis lepas yang berfokus pada dunia sepak bola Afrika. Ia sering menulis untuk majalah ternama seperti So Foot dan Society. Kecintaannya pada sepak bola Afrika membawanya ke Aljazair pada Mei 2024.

Tujuan utamanya saat itu adalah menulis artikel tentang klub sepak bola Jeunesse Sportive de Kabylie (JSK) yang berbasis di Tizi Ouzou. Selain itu, ia juga berencana meliput peringatan 10 tahun kematian pesepak bola Kamerun, Albert Ebossé, yang meninggal secara misterius saat bermain untuk JSK.

Beberapa hari setelah tiba, tepatnya pada 28 Mei 2024, Gleizes ditangkap di Tizi Ouzou. Ia kemudian dikenai dakwaan serius: “mendukung terorisme” dan “memiliki publikasi untuk tujuan propaganda yang merugikan kepentingan nasional.”

Menurut laporan, tuduhan ini berasal dari kontak yang dilakukan Gleizes pada tahun 2015 dan 2017 dengan seorang tokoh sepak bola di Tizi Ouzou. Sosok ini kemudian menjadi pemimpin Gerakan untuk Penentuan Nasib Sendiri Kabylia (MAK). Perlu diketahui, pada tahun 2021, pemerintah Aljazair menetapkan MAK sebagai organisasi teroris.

Namun, para pendukung Gleizes berargumen bahwa:

  • Dua dari tiga kontak Gleizes dengan tokoh tersebut terjadi sebelum MAK dinyatakan sebagai organisasi teroris.
  • Semua percakapan mereka hanya seputar sepak bola, bukan politik.

Proses Hukum yang Mengundang Pertanyaan

Setelah penangkapannya, Christophe Gleizes ditempatkan di bawah pengawasan yudisial selama 13 bulan. Ini berarti ia tidak bisa meninggalkan Aljazair dan wajib melapor secara teratur ke polisi. Selama lebih dari setahun, kasusnya nyaris tidak terendus media, atas saran diplomat Prancis yang berharap proses hukum berjalan lebih lancar.

Vonis tujuh tahun penjara dijatuhkan pada Minggu (29/6) oleh pengadilan di Tizi Ouzou. Pengacaranya, Salah Brahimi, langsung mengajukan banding pada Senin (1/7). Diperkirakan, sidang banding baru akan digelar pada Oktober mendatang.

Organisasi Reporters Without Borders (RSF) mengkritik keras keputusan ini, menyebutnya “tidak masuk akal” dan “melanggar hak jurnalis untuk menginformasikan publik.” Mereka juga menyoroti lamanya Gleizes ditahan di bawah pengawasan yudisial sebelum vonis.

Pihak berwenang Aljazair sendiri belum memberikan komentar publik mengenai kasus ini. Namun, selama ini mereka sering dikritik oleh pegiat hak asasi karena menggunakan undang-undang anti-terorisme untuk membungkam kebebasan berpendapat.

Gelombang Protes dan Dukungan Internasional

Vonis terhadap Gleizes memicu reaksi keras dari berbagai pihak:

“Penjara bagi jurnalis karena menjalankan profesinya adalah garis merah yang tidak boleh dilewati. Christophe Gleizes harus diberikan kembali kebebasannya, keluarganya, dan pekerjaannya,” kata perwakilan dari sekitar 40 media Prancis dalam sebuah pernyataan.

Keluarga Gleizes juga mengungkapkan kesedihan mendalam:

“Tidak ada yang bisa membenarkan penderitaan yang dialami Christophe sekarang. Dalam semua tulisannya, ia menunjukkan minat yang besar terhadap kehidupan para pesepak bola Afrika. Apakah ini ganjarannya?”

Franck Annese, pendiri grup media So Press (tempat Gleizes bekerja), menggambarkan karyawannya sebagai “pria yang hebat, antusias, bersedia, dan penuh humor.”

“Dia sama sekali tidak memiliki agenda politik. Wawancara dan artikelnya membuktikannya,” ujar Annese, menambahkan bahwa keputusan pengadilan “absurd” dan “Kafkaesque.”

Kementerian Luar Negeri Prancis menyatakan “sangat menyesalkan hukuman berat” yang dijatuhkan pada Gleizes. Mereka juga menegaskan akan terus memberikan bantuan konsuler, meskipun pada awalnya tidak secara langsung menyerukan pembebasannya.

Hubungan Prancis-Aljazair yang Makin Memanas

Kasus Christophe Gleizes terjadi di tengah hubungan Prancis dan Aljazair yang sedang tegang. Ketegangan ini sudah berlangsung sejak setahun terakhir. Salah satu pemicu utamanya adalah pergeseran sikap Presiden Prancis Emmanuel Macron yang lebih mendukung Maroko dalam sengketa Sahara Barat, wilayah yang juga diklaim oleh Aljazair.

Sejak saat itu, serangkaian perselisihan diplomatik terjadi, termasuk pengusiran timbal balik dan terhentinya kerja sama dalam masalah ekstradisi dan visa.

Kasus Gleizes juga mengingatkan pada kasus penulis Prancis-Aljazair, Boualem Sansal, yang telah dipenjara sejak November tahun lalu. Sansal, yang berusia 80 tahun dan menderita kanker, dijatuhi hukuman lima tahun penjara atas tuduhan “mengancam persatuan nasional.” Meskipun Perdana Menteri Prancis Francois Bayrou berharap Sansal bisa mendapat pengampunan pada Hari Kemerdekaan Aljazair (5 Juli), kasusnya tetap menjadi simbol ketegangan kedua negara.

Para pendukung Sansal bahkan menduga ia dijadikan “sandera” oleh pemerintah Aljazair untuk menekan Paris. Sementara itu, Aljazair bersikeras bahwa Sansal dihukum melalui proses hukum yang sah.

Kesimpulan

Vonis tujuh tahun penjara terhadap Christophe Gleizes merupakan pukulan telak bagi kebebasan pers dan menunjukkan betapa rumitnya hubungan diplomatik antara Prancis dan Aljazair. Kasus ini menjadi pengingat penting bahwa jurnalis, dalam menjalankan tugasnya, seringkali menghadapi risiko besar, terutama di negara-negara dengan kontrol ketat terhadap informasi.

Kita semua berharap banding Gleizes akan membuahkan hasil yang adil dan ia bisa segera kembali berkumpul dengan keluarganya serta melanjutkan karyanya yang penuh dedikasi. Peran media dan dukungan internasional sangat penting untuk memastikan keadilan ditegakkan dan kebebasan pers tetap dijunjung tinggi.