Yogyakarta, zekriansyah.com – Belakangan ini, jagat media dihebohkan dengan kabar penetapan tersangka mantan Menteri BUMN dan tokoh pers legendaris, Dahlan Iskan, bersama dengan Nany Wijaya, terkait dugaan pemalsuan surat dan penggelapan. Tak sedikit yang bertanya-tanya, bagaimana bisa seorang tokoh yang begitu berjasa membesarkan Jawa Pos justru kini bersengketa hukum dengan perusahaan yang ia bangun?
Direksi Jawa Pos beberkan kronologi masalah aset yang menjerat Dahlan Iskan, menjelaskan dasar hukum penanganan kasus yang bermula dari praktik lama pencatatan aset atas nama pribadi.
Untuk menjawab kebingungan publik, direksi Jawa Pos akhirnya angkat bicara. Mereka jelaskan kronologi masalah Dahlan ini, menegaskan bahwa ini adalah upaya “bersih-bersih” aset perusahaan yang sudah lama tertunda, bukan pengingkaran terhadap peran besar Dahlan. Mari kita selami lebih dalam duduk perkaranya.
Akar Masalah: Praktik ’Nominee’ di Era Orde Baru
Menurut Hidayat Jati, Direktur Jawa Pos Holding, sengketa aset ini berawal dari praktik lama di era Orde Baru yang dikenal dengan istilah nominee. Bayangkan begini, di masa itu, untuk mendapatkan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP), sebuah perusahaan media wajib mencatatkan izin tersebut atas nama pribadi, bukan atas nama perusahaan. Akibatnya, banyak aset perusahaan, termasuk saham, yang terpaksa “dititipkan” atau dicatatkan atas nama direksi atau perorangan.
Praktik ini, yang seharusnya berhenti setelah era reformasi, sayangnya masih terus berlanjut. Hidayat Jati menjelaskan, “Banyaknya persoalan aset di Jawa Pos terjadi karena di masa lalu, saat Jawa Pos di era kepemimpinan Dahlan Iskan, banyak menggunakan praktik nominee, menitipkan aset/saham pada nama direksi.”
Momen Pemicu: Program Tax Amnesty 2016
Titik balik yang mendorong Jawa Pos untuk menertibkan semua asetnya terjadi pada tahun 2016, saat pemerintah meluncurkan program tax amnesty. Program ini menjadi momentum penting bagi perusahaan untuk merapikan pembukuan dan memastikan kejelasan status kepemilikan aset yang berceceran.
“Seperti semua aksi korporasi, direksi harus merapikan pembukuan dan menjaga tata kelola perusahaan, dalam memastikan kejelasan status kepemilikan asetnya,” ujar Jati. Hasil tax amnesty ini bahkan telah masuk dalam laporan keuangan resmi yang diaudit dan disahkan melalui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Jawa Pos, di mana keputusan pemegang saham bulat untuk melakukan penertiban.
Upaya Penertiban: Ada yang Damai, Ada yang Berujung Sengketa
Menariknya, upaya Jawa Pos untuk menertibkan aset ini tidak selalu berakhir di meja hijau. Hidayat Jati mengungkapkan bahwa sebagian besar masalah aset yang beririsan dengan kepemilikan pihak lain, termasuk milik Dahlan Iskan, justru berhasil diselesaikan secara damai.
“Berkat pendekatan yang baik, upaya penertiban di aset-aset Pak Dahlan itu yang prosesnya tadinya rumit, sebagian besar bisa diselesaikan dengan damai dan baik-baik kok,” tegasnya. Salah satu contohnya adalah penyelesaian kewajiban Dahlan Iskan dari investasi pribadi di proyek PLTU Kaltim dan pengolahan nanas, yang dikompensasikan dengan saham beliau di Jawa Pos. Inilah yang membuat saham Dahlan Iskan di Jawa Pos kini menjadi 3,8 persen.
Namun, tidak semua berjalan mulus. Kasus yang kini menjadi sorotan adalah sengketa aset PT Dharma Nyata Press (penerbit majalah Nyata) yang melibatkan Nany Wijaya dan Dahlan Iskan.
Fokus Sengketa: PT Dharma Nyata Press dan Dividen yang Berhenti
Menurut direksi Jawa Pos, PT Dharma Nyata Press (DNP) adalah anak perusahaan Jawa Pos yang sahamnya tercatat atas nama Nany Wijaya (45%) dan Dahlan Iskan (55%) sejak akuisisi tahun 1999. Meskipun demikian, baik Dahlan maupun Nany telah menegaskan dalam berbagai dokumen hukum dan notulen rapat bahwa DNP adalah milik mutlak PT Jawa Pos.
“Nany Wijaya dalam berbagai rapat dan dokumen hukum ada yang berupa akta otentik. Dirinya sendiri menyatakan dan menjamin bahwa saham di PT DNP tersebut adalah mutlak milik PT Jawa Pos,” jelas Daniel, salah satu kuasa hukum Jawa Pos. Logo Jawa Pos Group juga disertakan pada kop surat DNP, dan direksi Jawa Pos ditempatkan sebagai komisaris di sana.
Persoalan mulai muncul ketika Nany Wijaya diberhentikan dari posisinya pada 21 Juni 2017. Sejak saat itu, DNP diakui sebagai milik pribadi Nany, dan yang lebih krusial, dividen DNP dari tahun 2014-2016 yang sebelumnya rutin diserahkan ke Jawa Pos, tiba-tiba dilaporkan tidak diserahkan.
“Kemudian diduga kuat terdapat dividen sejumlah Rp 89 miliar yang ditarik dan tidak diserahkan ke PT Jawa Pos seperti sebelum-sebelumnya,” pungkas Daniel. Inilah yang menjadi pemicu utama Jawa Pos menempuh jalur hukum untuk menyelamatkan aset yang mereka yakini adalah hak mereka.
Gugatan PKPU Dahlan Iskan: Bantahan Jawa Pos
Di sisi lain, Dahlan Iskan juga mengajukan permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) terhadap Jawa Pos di Pengadilan Niaga Surabaya, menagih kekurangan dividen sebesar Rp 54,5 miliar. Namun, pihak Jawa Pos melalui kuasa hukumnya, Leslie Sajogo, membantah klaim tersebut.
Mereka menyatakan bahwa tidak ada utang yang jatuh tempo dan dapat ditagih seperti yang dimaksud dalam permohonan PKPU. Menurut Jawa Pos, dividen bukan utang dagang atau komersial, melainkan hak yang timbul berdasarkan keputusan RUPS. Jika tidak ada keputusan RUPS yang mengikat tentang pembagian dividen, maka klaim tersebut belum memiliki kekuatan hukum sebagai utang yang nyata.
Jalan ke Depan: Hormati Proses Hukum dan Pintu Dialog Tetap Terbuka
Pihak Jawa Pos meminta semua pihak untuk menghormati proses hukum yang sedang berjalan dan mendukung upaya untuk meluruskan kebenaran. Mereka menegaskan bahwa keputusan menempuh jalur hukum ini adalah langkah berat yang dipertimbangkan matang demi menyelamatkan aset perusahaan dan mematuhi hukum.
Meskipun demikian, Jawa Pos menyatakan pintu negosiasi sebenarnya masih terbuka lebar. “Kami selalu terbuka untuk itu, karena kami sadar, jika tidak paham betul atas duduk perkara hukum yang ada, akan mudah muncul salah persepsi,” tutup Hidayat Jati.
Drama sengketa aset antara Jawa Pos dan Dahlan Iskan ini memang rumit, melibatkan sejarah panjang praktik bisnis di Indonesia dan upaya modernisasi tata kelola perusahaan. Kita tunggu saja bagaimana proses hukum ini akan berakhir, semoga kebenaran segera terungkap.