Dinamika geopolitik Timur Tengah tak pernah sepi dari gejolak, dan baru-baru ini, perhatian dunia kembali tertuju pada Jalur Gaza. Pasca gencatan senjata yang disepakati antara Israel dan Iran, sebuah “perang” yang sempat memanas selama dua belas hari, Tel Aviv mengumumkan pengalihan fokus militernya. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah: mengapa israel balik serang gaza usai perang iran gencatan senjata, dan apa implikasi dari pergeseran prioritas ini bagi stabilitas regional serta penderitaan kemanusiaan di Gaza? Artikel ini akan mengupas tuntas latar belakang, alasan, dampak, dan proyeksi ke depan dari keputusan strategis Israel ini.
Gencatan Senjata Israel-Iran: Sebuah Interlud dalam Konflik Regional
Ketegangan antara Israel dan Iran mencapai puncaknya dalam konflik berskala terbatas selama dua belas hari pada Juni 2025. Perang udara ini, yang melibatkan serangan rudal dan balasan, berakhir dengan gencatan senjata yang berlaku sejak Selasa, 24 Juni 2025. Gencatan senjata ini terwujud berkat mediasi dan tekanan kuat dari Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, yang bahkan sempat mengecam kedua belah pihak atas pelanggaran awal kesepakatan.
Kronologi dan Peran Mediator
Konflik langsung Israel-Iran dipicu oleh serangkaian peristiwa yang berakar pada permusuhan puluhan tahun. Israel melancarkan serangan udara ke Iran sebagai balasan atas peluncuran lebih dari 180 rudal Iran ke wilayah Israel pada 1 Oktober 2024. Iran, di sisi lain, mengklaim serangannya adalah respons atas pembunuhan para pemimpin Hizbullah dan Hamas, serta komandan senior Iran, yang mereka tuding dilakukan oleh Israel. Insiden serangan Israel terhadap kompleks konsulat Iran di Damaskus pada April 2025 juga menjadi pemicu signifikan.
Dalam eskalasi terbaru ini, AS dan Qatar memainkan peran kunci sebagai mediator. Presiden Trump secara mengejutkan mengumumkan gencatan senjata melalui media sosialnya, Truth Social
, dan mendesak kedua negara untuk mematuhinya. Sumber-sumber menyebutkan bahwa negosiasi yang difasilitasi Qatar ini berujung pada kesepakatan dengan beberapa syarat, antara lain Iran tidak akan menyerang lebih dulu (namun berhak membalas jika diserang), Israel wajib menghentikan agresi, dan jalur diplomasi akan dibuka kembali.
Saling Klaim Kemenangan dan Pelanggaran Awal
Meski gencatan senjata telah disepakati, narasi kemenangan menjadi medan pertempuran berikutnya. Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, mengklaim “kemenangan bersejarah” dengan mengatakan bahwa serangan Israel berhasil menghambat program nuklir Iran dan proyek rudal balistik Teheran selama beberapa tahun. Ia bahkan berterima kasih kepada Presiden Trump atas dukungan dalam serangan terhadap fasilitas nuklir Iran.
Sebaliknya, Presiden Iran, Masoud Pezeshkian, juga mengklaim kemenangan. Ia menyebut konflik itu sebagai “perang yang dipaksakan oleh kecerobohan rezim Zionis” dan menegaskan bahwa gencatan senjata adalah keputusan Iran setelah musuh mengalami “kerugian tak terbayangkan”. Dewan Keamanan Nasional Tertinggi Iran bahkan menyoroti keberhasilan mereka dalam “meruntuhkan mitos ketangguhan Iron Dome” Israel.
Namun, gencatan senjata ini tidak langsung berjalan mulus. Hanya beberapa jam setelah diumumkan, Israel menuding Iran meluncurkan dua rudal balistik. Iran dengan tegas membantah tuduhan tersebut dan balik menuding Israel yang melanjutkan serangan selama 1,5 jam setelah gencatan senjata berlaku. Donald Trump sendiri menyatakan frustrasinya, mengkritik Israel karena tidak menahan diri dan meminta mereka untuk “menenangkan diri”. Insiden ini menunjukkan betapa rapuhnya kesepakatan damai di tengah ketegangan yang mendalam.
Mengapa Gaza Kembali Menjadi Pusat Perhatian Israel?
Setelah gencatan senjata dengan Iran, militer Israel secara resmi mengumumkan pengalihan fokus operasionalnya kembali ke Jalur Gaza. Kepala Staf Militer Israel, Letnan Jenderal Eyal Zamir, menegaskan bahwa kampanye melawan Iran belum sepenuhnya usai, namun prioritas telah bergeser.
Misi Utama: Sandera dan Pembubaran Hamas
Pernyataan Letjen Eyal Zamir sangat jelas: “Sekarang fokusnya beralih kembali ke Gaza – untuk memulangkan para sandera dan membubarkan rezim Hamas.” Ini adalah dua tujuan utama Israel dalam konflik berkepanjangan di Gaza yang dimulai sejak serangan mengejutkan Hamas pada Oktober 2023. Israel mengklaim serangan brutalnya terhadap Jalur Gaza adalah balasan atas invasi Hamas dan upaya untuk memulangkan sekitar 49 sandera yang masih ditahan, termasuk 27 di antaranya yang diyakini telah tewas.
Hamas, kelompok militan yang menguasai Gaza, diketahui mendapat dukungan signifikan dari Iran. Hubungan ini menjadi salah satu alasan mengapa Israel melihat Gaza sebagai medan pertempuran integral dalam strateginya melawan pengaruh Teheran di kawasan. Bagi Israel, membubarkan Hamas bukan hanya soal keamanan internal, tetapi juga melemahkan salah satu “proksi” utama Iran.
Latar Belakang Konflik Israel-Hamas
Konflik antara Israel dan Hamas bukanlah hal baru; akarnya sangat dalam dan kompleks. Sejak Hamas mengambil alih kekuasaan di Gaza pada tahun 2007, wilayah tersebut telah menjadi titik nyala kekerasan berulang kali. Blokade Israel dan Mesir terhadap Gaza, yang bertujuan mengisolasi Hamas, telah memperparah kondisi kemanusiaan di sana.
Serangan Hamas pada Oktober 2023, yang menewaskan banyak warga Israel dan menculik sandera, memicu respons militer Israel yang sangat besar. Operasi militer ini, yang telah berlangsung selama 21 bulan, telah menyebabkan kehancuran masif di Gaza dan menewaskan puluhan ribu orang. Data Kementerian Kesehatan Gaza per Juni 2025 menunjukkan sedikitnya 56.077 orang tewas, sebagian besar warga sipil. Jumlah tentara Israel yang tewas dalam perang ini juga terus bertambah, dengan lebih dari 430 kematian dilaporkan sejauh ini.
Upaya gencatan senjata antara Israel dan Hamas sendiri telah berulang kali menemui kebuntuan. Pembicaraan yang dimediasi oleh Mesir dan Qatar seringkali gagal karena kedua belah pihak bersikeras pada tuntutan masing-masing. Ini menunjukkan bahwa konflik di Gaza memiliki dinamikanya sendiri, yang terpisah namun terkadang bersinggungan dengan ketegangan regional yang lebih luas seperti perang Israel-Iran.
Realitas Tragis di Jalur Gaza: Krisis Kemanusiaan dan Korban Sipil
Sementara dunia sibuk mengamati perang Israel-Iran dan gencatan senjata yang goyah, kondisi di Jalur Gaza terus memburuk, jauh dari sorotan utama. Wilayah padat penduduk ini, yang telah menjadi sasaran serangan intensif selama berbulan-bulan, menghadapi krisis kemanusiaan yang parah, dengan jutaan orang berada di ambang kelaparan.
Dilema Warga: Kelaparan atau Terbunuh
Kantor Hak Asasi Manusia PBB melaporkan situasi yang mengerikan di Gaza: sejak akhir Mei, lebih dari 410 orang tewas akibat tembakan militer Israel saat mereka berusaha mendapatkan makanan di lokasi distribusi bantuan. Juru bicara HAM PBB, Thameen Al-Kheetan, menyatakan bahwa warga Gaza dihadapkan pada “pilihan tidak manusiawi, yakni mati kelaparan atau risiko terbunuh saat mencoba mendapatkan makanan.” Insiden ini, di mana pasukan Israel dituding bertanggung jawab atas kematian warga sipil yang putus asa mencari bantuan, telah memicu tuduhan penggunaan bantuan makanan “sebagai senjata”, yang merupakan kejahatan perang.
PBB dan banyak organisasi kemanusiaan menolak bekerja sama dengan Gaza Humanitarian Foundation (GHF), kontraktor AS yang ditunjuk Israel untuk mendistribusikan makanan, karena kekhawatiran bahwa dana tersebut dirancang untuk memenuhi tujuan militer Israel. Kekacauan dan kekerasan mematikan di lokasi distribusi bantuan telah menjadi pemandangan umum, memperburuk penderitaan penduduk.
Kontroversi Bantuan Kemanusiaan dan Tuduhan Kejahatan Perang
Blokade Israel terhadap pasokan ke Gaza sejak awal Maret, yang baru dilonggarkan pada akhir Mei, telah menyebabkan krisis pangan yang masif. Kondisi ini diperparah dengan tuduhan dari Hamas bahwa Israel gagal memenuhi komitmennya dalam tahap pertama gencatan senjata sebelumnya, termasuk penahanan barang-barang penampungan dan penutupan titik penyeberangan bantuan.
Lebih lanjut, Israel menghadapi tuntutan hukum internasional terkait perang di Gaza. Pada November tahun lalu, Mahkamah Pidana Internasional (ICC) mengeluarkan surat perintah penangkapan untuk Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dan mantan Menteri Pertahanan Yoav Gallant atas dugaan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Israel juga menghadapi kasus genosida di Mahkamah Internasional (ICJ). Meskipun Israel menolak tuduhan kejahatan perang dan menyalahkan Hamas karena beroperasi di antara warga sipil, jumlah korban sipil yang tinggi dan kondisi kemanusiaan yang memprihatinkan terus menjadi perhatian global.
Dinamika Permusuhan Israel-Iran: Akar dan Dampak Jangka Panjang
Meskipun perhatian telah bergeser ke Gaza, konflik Israel-Iran adalah bagian integral dari lanskap geopolitik Timur Tengah yang lebih luas. Permusuhan antara kedua negara ini bukan fenomena baru, melainkan telah berkembang selama beberapa dekade.
Transformasi Hubungan: Dari Sekutu Menjadi Musuh Bebuyutan
Ironisnya, Israel dan Iran dulunya adalah sekutu dekat. Namun, Revolusi Islam Iran pada tahun 1979 mengubah segalanya. Rezim baru di Teheran menolak hak Israel untuk eksis dan bersumpah untuk membasminya. Pemimpin tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei, bahkan menyebut Israel sebagai “tumor kanker” yang harus dihancurkan.
Di sisi lain, Israel memandang Iran sebagai ancaman eksistensial. Ancaman ini terlihat dalam retorika Teheran, pembangunan pasukan proksi di kawasan (seperti Hizbullah di Lebanon dan dukungan terhadap Hamas di Palestina), serta tuduhan Israel bahwa Iran diam-diam mencoba mengembangkan senjata nuklir. Selama bertahun-tahun, kedua negara terlibat dalam “perang bayangan”, saling menyerang aset tanpa mengaku bertanggung jawab, namun intensitasnya meningkat pesat selama perang di Gaza.
Kekuatan Militer dan Isu Nuklir
Secara geografis dan populasi, Iran jauh lebih besar dari Israel. Namun, kekuatan militer tidak selalu berbanding lurus. Iran telah berinvestasi besar dalam rudal dan pesawat nirawak, serta meningkatkan sistem pertahanan udaranya dengan dukungan Rusia. Israel, di sisi lain, memiliki salah satu angkatan udara tercanggih di dunia, termasuk jet tempur F-35, dan memiliki pengalaman dalam melakukan serangan menyusup.
Isu program nuklir Iran adalah inti dari kekhawatiran Israel dan Barat. Meskipun Iran membantah berusaha membangun bom nuklir dan telah menandatangani Perjanjian Non-Proliferasi Nuklir (NPT), Israel dan negara-negara Barat mencurigainya secara diam-diam mengembangkan kemampuan nuklir militer. Pada Mei, kepala pengawas nuklir global menyatakan Iran “hanya tinggal beberapa minggu, bukan bulan” lagi untuk memiliki material yang cukup dalam membuat bom nuklir, meski belum memiliki hulu ledak. Israel sendiri diyakini memiliki senjata nuklir, meskipun kebijakan resminya ambigu.
Proyeksi ke Depan: Stabilitas Regional di Ujung Tanduk
Pengalihan fokus Israel kembali ke Gaza setelah gencatan senjata dengan Iran menunjukkan kompleksitas dan saling keterkaitan konflik di Timur Tengah. Ini bukan hanya tentang dua entitas yang saling berperang, melainkan jaring laba-laba kepentingan, ideologi, dan kekuatan regional serta global.
Kepala Staf Militer Israel, Eyal Zamir, menyatakan bahwa kampanye Israel terhadap Iran “belum berakhir dan memasuki fase baru.” Pernyataan ini mengisyaratkan bahwa gencatan senjata mungkin hanya jeda sementara, dan potensi eskalasi antara Israel dan Iran tetap ada, terutama jika salah satu pihak merasa kepentingannya terancam atau ada pelanggaran kesepakatan.
Di sisi lain, situasi di Gaza tetap menjadi luka terbuka yang terus menganga. Dengan Israel yang bertekad untuk membebaskan sandera dan membubarkan Hamas, operasi militer kemungkinan besar akan terus berlanjut dengan intensitas tinggi. Ini berarti penderitaan warga sipil di Gaza akan terus bertambah, dengan krisis kemanusiaan yang semakin parah dan potensi pelanggaran hak asasi manusia yang berlanjut.
Peran mediator seperti AS, Qatar, dan Mesir akan tetap krusial dalam menahan eskalasi dan mencari solusi diplomatik, meskipun tantangannya sangat besar. Konflik di Timur Tengah tidak hanya terjadi di medan perang fisik, tetapi juga dalam narasi dan opini publik, di mana setiap pihak berusaha mengklaim kemenangan dan memenangkan hati serta pikiran masyarakat.
Israel kembali serang Gaza usai perang Iran gencatan senjata adalah penanda bahwa siklus kekerasan di kawasan ini belum akan berakhir dalam waktu dekat. Sebaliknya, ini adalah pengingat bahwa akar masalah yang mendalam—dari isu kedaulatan, keamanan, hingga hak asasi manusia—masih belum tersentuh. Stabilitas regional akan terus berada di ujung tanduk selama solusi komprehensif dan berkelanjutan belum ditemukan untuk konflik-konflik yang saling terkait ini.
Semoga artikel ini memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang dinamika terkini di Timur Tengah. Bagikan pandangan Anda di kolom komentar atau diskusikan lebih lanjut untuk memperkaya perspektif kita bersama.