Ironi Pariwisata Jogja: Gemerlap Wisatawan, Angka Kemiskinan Tetap Tertinggi di Jawa

Dipublikasikan 1 Juli 2025 oleh admin
Sosial Politik

Yogyakarta, zekriansyah.com – Yogyakarta, siapa yang tak kenal kota ini? Dari Sabang sampai Merauke, atau bahkan wisatawan mancanegara, Yogyakarta selalu punya tempat spesial di hati. Dikenal sebagai Kota Budaya, Kota Pelajar, dan tentu saja, destinasi wisata yang romantis. Jalanannya selalu ramai, hotel penuh, dan berbagai festival budaya tak pernah sehenti.

Ironi Pariwisata Jogja: Gemerlap Wisatawan, Angka Kemiskinan Tetap Tertinggi di Jawa

Ilustrasi: Di tengah keramaian wisatawan, senyum terkembang di wajah pengunjung, namun bayangan angka kemiskinan yang membelit sebagian warga Yogyakarta tetap menjadi tanya.

Namun, di balik semua gemerlap dan romantisme itu, tersimpan sebuah ironi yang jarang disadari banyak orang: Yogyakarta adalah provinsi dengan angka kemiskinan tertinggi di Pulau Jawa. Bagaimana bisa kota yang begitu maju pariwisatanya, justru warganya masih banyak yang hidup dalam kemiskinan? Artikel ini akan mengupas tuntas fakta di balik paradoks ini, agar kita semua bisa memahami lebih dalam kondisi “Kota Gudeg” yang kita cintai ini.

Pesona Jogja Menarik Jutaan Wisatawan, Tapi…

Daya tarik Yogyakarta memang luar biasa. Data menunjukkan lonjakan jumlah wisatawan yang berkunjung ke DIY sangat drastis. Dalam satu dekade terakhir, jumlah wisatawan naik 10 kali lipat! Pada 2013, ada sekitar 3,8 juta wisatawan, dan di tahun 2024, angkanya mencapai 38 juta wisatawan dalam setahun. Angka ini bahkan membuat Jogja mendapat predikat “Bali Kedua”.

Saat musim liburan panjang, seperti Isra Miraj atau Imlek, hotel-hotel di Jogja dipenuhi wisatawan. Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) DIY mencatat okupansi hotel bisa mencapai 98 persen. Jalanan padat, kemacetan tak terhindarkan, terutama di area wisata populer seperti Malioboro.

Namun, di balik hiruk pikuk wisatawan ini, Badan Pusat Statistik (BPS) DIY mencatat bahwa pada September 2024, persentase penduduk miskin di DIY mencapai 10,40 persen. Angka ini memang turun dari Maret 2024 (10,83 persen), tapi tetap saja, persentase ini masih jauh di atas rata-rata nasional (8,57 persen) dan menjadikan Yogyakarta provinsi termiskin di Pulau Jawa. Predikat ini bahkan sudah disandang Jogja sejak tahun 2012.

Tidak hanya itu, upah minimum provinsi (UMP) di Yogyakarta juga termasuk yang terendah di Indonesia. Pada 2023, UMP Yogyakarta hanya Rp1.981.782, menempati posisi kedua terendah setelah Jawa Tengah. Kondisi upah yang rendah ini tentu berkontribusi pada tingginya angka kemiskinan.

Mengapa Pariwisata Tak Mampu Angkat Warga Lokal dari Kemiskinan?

Ada beberapa alasan mengapa pertumbuhan pariwisata di Yogyakarta tidak berbanding lurus dengan kesejahteraan masyarakat lokal. Para pengamat dan aktivis lingkungan menyoroti beberapa hal:

  • Keuntungan Hanya Dinikmati Pemodal Besar (Kebocoran Pariwisata)
    Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Yogyakarta menyebut, pertumbuhan ekonomi dari sektor wisata ini tidak dinikmati masyarakat lokal, melainkan hanya para pemodal besar. Muhammad Nasihudin, penulis laporan WALHI, menjelaskan:

    “Ini menjadi ketimpangan sosial-ekologis yang melibatkan eksploitasi lahan, tekanan lingkungan, dan pengabaian kebutuhan masyarakat lokal.”
    Keuntungan dari pariwisata, seperti dari pajak hotel dan restoran, sebagian besar mengalir ke luar Jogja karena banyak pemilik bisnis bukan warga lokal. Masyarakat asli Jogja seringkali hanya menjadi “penonton di rumah sendiri” atau penyedia jasa murah, bukan pelaku utama yang merasakan manfaat ekonomi signifikan.

  • Alih Fungsi Lahan dan Dampak Lingkungan
    Ambisi pengembangan pariwisata juga menyebabkan alih fungsi lahan besar-besaran. Pembangunan resort dan infrastruktur pariwisata mengakibatkan penggusuran warga dan rusaknya lingkungan. Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan (DPKP) mencatat, lahan pertanian di DIY menurun rata-rata 150-200 hektar per tahun. Di Gunungkidul, alih fungsi lahan bahkan mencapai 10.000 hektar pada 2023. Contohnya, di Pantai Sanglen, yang masuk Kawasan Bentang Alam Karst (KBAK) Gunung Sewu, kini berdiri megah Resort Obelix Beach seluas 6 hektar, sementara warga sekitar harus kehilangan lahan dan mata pencaharian.

  • Fokus Kebijakan yang Keliru
    Menurut Kepala Pusat Studi Pariwisata (Puspar) UGM, Mohamad Yusuf, salah satu masalahnya adalah orientasi pemerintah daerah yang hanya memandang pariwisata sekadar untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Padahal, PAD tidak berhubungan langsung dengan pengentasan kemiskinan. Alokasi dana dari PAD pariwisata belum sepenuhnya sampai ke masyarakat paling bawah.

  • Masalah Sampah dan Konflik Satwa
    Ledakan wisatawan juga menimbulkan masalah baru yang membebani warga lokal. Saat musim liburan, timbunan sampah bisa mencapai ribuan ton. Dinas Lingkungan Hidup mencatat, selama Desember 2024 hingga Januari 2025, industri wisata Jogja menghasilkan 3.400 ton sampah. Selain itu, pembangunan infrastruktur seperti Jalan Jaringan Lintas Selatan (JJLS) juga merusak habitat satwa liar, seperti monyet ekor panjang, yang kemudian mencari makan di lahan pertanian warga.

“Nrimo Ing Pandum” dan Tantangan Kritis Masyarakat

Filosofi hidup “nrimo ing pandum” (menerima segala pemberian Tuhan) sering disebut-sebut sebagai salah satu kunci kebahagiaan masyarakat Jogja, bahkan membuat DIY menjadi provinsi paling bahagia se-Indonesia menurut BPS 2021. Konsep ini mengajarkan keikhlasan dan kesederhanaan, serta mengutamakan kebersamaan dan keharmonisan daripada materi.

Namun, beberapa pengamat dan warga lokal menilai jargon “nrimo ing pandum” ini bisa disalahartikan dan membuat masyarakat kurang kritis terhadap ketimpangan, bahkan terbius oleh ilusi biaya hidup murah di Jogja. Padahal, kenyataannya biaya hidup di Jogja tidak jauh berbeda dengan kota besar lainnya. Ketika ada kritik mengenai upah rendah, seringkali muncul pertanyaan “KTP-nya darimana?”, seolah kritik itu hanya datang dari pendatang dan mengganggu “kedamaian” Jogja. Ini menunjukkan adanya tantangan dalam membangun daya kritis di tengah budaya yang sangat menghargai harmoni.

Apa Kata Pemerintah dan Pengamat?

Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Salahuddin Uno, menilai pariwisata adalah solusi terbaik untuk mengatasi kemiskinan di Yogyakarta. Ia mengklaim sektor ini mampu menciptakan lapangan kerja hingga enam kali lipat, yang pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan menurunkan angka kemiskinan.

Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X, juga menyadari bahwa masalah kemiskinan di DIY adalah isu strategis yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJM) DIY. Sultan juga mendorong pengembangan community based tourism (CBT) atau pariwisata berbasis masyarakat, yang diyakini dapat memberdayakan masyarakat lokal dan menekan kemiskinan, seperti yang telah diterapkan di Gunung Api Purba Nglanggeran atau Hutan Pinus Mangunan.

Namun, Mohamad Yusuf dari Puspar UGM menekankan, agar pariwisata benar-benar berdampak positif, perlu perubahan manajemen. Ia menyarankan pemerintah tidak hanya fokus pada PAD, tetapi juga:

  • Melindungi dan menguatkan modal bagi warga lokal agar mampu bersaing.
  • Melibatkan masyarakat secara ekstensif dalam pengelolaan pariwisata, diiringi peningkatan sumber daya manusia (SDM) mereka.

Romantisme yang Harus Adil

Yogyakarta memang kota yang romantis, penuh pesona budaya, dan selalu dirindukan. Namun, romantisme ini akan jauh lebih indah jika diiringi dengan keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh warganya, terutama bagi mereka yang selama ini hanya menjadi penonton di balik gemerlap pariwisata.

Pariwisata seharusnya menjadi berkah bagi semua, bukan hanya segelintir pemodal besar. Sudah saatnya kebijakan pariwisata di Yogyakarta lebih berpihak pada masyarakat lokal dan lingkungan, agar predikat “kota termiskin di Jawa” bisa segera terlepas, dan romantisme Jogja benar-benar dirasakan oleh semua penduduknya.