Iran Ultimatum Israel: Waspada Aksi Culas di Tengah Gencatan Senjata

Dipublikasikan 26 Juni 2025 oleh admin
Sosial Politik

Konflik yang memanas antara Iran dan Israel memang sempat meredakan ketegangan global setelah keduanya sepakat untuk gencatan senjata. Namun, di balik kesepakatan damai yang baru seumur jagung itu, muncul lagi riak-riak kecurigaan. Iran, melalui Kementerian Intelijennya, baru-baru ini mengeluarkan peringatan keras, bahkan bisa disebut ultimatum, kepada Israel.

Mereka menduga ada ‘aksi culas’ yang dilakukan agen-agen Israel di tengah gencatan senjata ini. Apa sebenarnya yang membuat Iran begitu khawatir? Dan bagaimana respons dari kedua belah pihak serta pandangan publik? Mari kita telusuri lebih dalam agar Anda bisa memahami situasi rumit di Timur Tengah ini dengan lebih jelas dan tidak salah paham.

Latar Belakang: Perang 12 Hari yang Mencekam

Sebelum gencatan senjata disepakati, Timur Tengah sempat membara dalam konflik 12 hari yang intens antara Iran dan Israel. Segalanya bermula pada 13 Juni 2025, ketika Israel melancarkan serangan terhadap Iran, menyasar petinggi militer dan ahli nuklir. Iran tak tinggal diam, kurang dari 12 jam kemudian, mereka membalas dengan meluncurkan ratusan rudal jarak jauh ke Israel, termasuk ke Tel Aviv.

Situasi makin panas saat Amerika Serikat (AS) ikut campur, membantu Israel dengan mengebom situs-situs nuklir Iran. Teheran kemudian membalas dengan menyerang pangkalan AS di Qatar. Di tengah ketegangan ini, Presiden AS Donald Trump menyatakan bahwa Iran dan Israel akan gencatan senjata. Meskipun awalnya Iran membantah, Presiden Masoud Pezeshkian akhirnya mengonfirmasi kesepakatan tersebut pada 24 Juni 2025.

Simak ulasan lengkapnya dalam artikel: Situs Nuklir Iran Rusak Parah Akibat Serangan Israel dan AS, Ini Pengakuan Teheran

“Hari ini, setelah perlawanan heroik bangsa kita yang hebat, yang tekadnya menciptakan sejarah, kita menyaksikan gencatan senjata tercipta dan perang 12 hari berakhir,” ujar Pezeshkian.

Ultimatum Iran: Waspada Spionase dan Berita Palsu

Meski gencatan senjata telah berlaku, Iran tetap terlihat sangat waspada. Kementerian Intelijen Iran bahkan terang-terangan mewanti-wanti tindakan jahat Israel di dalam negeri mereka. Mereka menuding agen Israel berada di balik kampanye “panggilan telepon massal” ke warga Iran.

Tujuannya jelas: untuk spionase telepon dan mendapatkan informasi nasional yang sensitif. Tak hanya itu, Kementerian juga memperingatkan penyebaran berita palsu yang bertujuan menghasut warga Iran agar bertindak melawan persatuan dan kohesi nasional.

Sebagai bukti kewaspadaan ini, pihak berwenang Iran telah menangkap banyak mata-mata yang diduga bekerja untuk Israel. Ini menunjukkan betapa seriusnya Iran menanggapi potensi ancaman di tengah masa gencatan senjata yang seharusnya menjadi momen meredanya ketegangan.

Saling Tuduh Pelanggaran Gencatan Senjata: Siapa yang Benar?

Gencatan senjata yang baru dimulai ternyata langsung diwarnai saling tuduh. Menteri Pertahanan Israel, Katz, mengatakan telah menginstruksikan pasukannya untuk menyerang Teheran. Alasannya? Dia menuding Iran melanggar gencatan senjata. Sebelumnya, militer Israel mengumumkan sirene serangan udara berbunyi di Israel utara setelah mendeteksi serangan rudal baru dari Iran.

Namun, Iran membantah tuduhan ini. Mereka justru mengklaim Israel yang melanggar gencatan senjata terlebih dahulu. Presiden AS Donald Trump, yang menjadi mediator, juga sempat menyebut Iran agak melanggar gencatan senjata, namun kemudian menarik kembali pernyataannya setelah Israel menarik pesawat tempurnya. Ketegangan ini menunjukkan betapa rapuhnya kesepakatan yang ada, dengan kedua belah pihak masih saling curiga dan siap membalas.

Klaim Kemenangan di Balik Ketegangan yang Belum Usai

Meskipun gencatan senjata telah disepakati, baik Iran maupun Israel sama-sama mengklaim kemenangan.

  • Klaim Israel: Perdana Menteri Benjamin Netanyahu sesumbar bahwa Israel meraih kemenangan bersejarah. Menurutnya, serangan Israel berhasil menghancurkan dua ancaman sekaligus: program nuklir Iran dan proyek rudal balistik yang sedang dibangun Teheran. “Kami telah menghancurkan program nuklir Iran,” kata Netanyahu.
  • Klaim Iran: Presiden Iran Masoud Pezeshkian menyebut konflik ini sebagai “perang yang dipaksakan oleh kecerobohan rezim Zionis,” dan bahwa gencatan senjata terjadi atas keputusan Iran setelah Israel mengalami banyak kerugian. Pemimpin tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei, bahkan menyatakan bahwa Iran hampir “membinasakan” Israel dan rezim Zionis itu akan runtuh jika AS tidak campur tangan.

Namun, laporan intelijen awal Amerika Serikat yang bocor justru menyimpulkan bahwa serangan terhadap Iran hanya menghambat program nuklirnya beberapa bulan, tidak menghancurkannya. Ini menunjukkan adanya perbedaan narasi yang signifikan dari berbagai pihak.

Bagaimana Warga Iran Menyikapi Gencatan Senjata Ini?

Di tengah klaim kemenangan dan saling tuduh, warga sipil Iran justru merasakan kebingungan dan kekhawatiran. Suasana Teheran memang lebih tenang, tetapi ketenangan itu dibayangi keraguan terhadap keberlangsungan gencatan senjata.

“Saya tidak berpikir akan bertahan lama,” ujar Ahmad Barqi (75), seorang pedagang elektronik, dikutip dari AFP. “Kami menginginkan gencatan senjata… Tetapi mereka tidak melaksanakannya, mereka tidak menepati janji mereka,” lanjutnya, merujuk pada kecurigaannya terhadap Israel.

Nada serupa disampaikan Alireza Jahangiri, pedagang lain yang mendengar laporan media pemerintah soal dugaan pelanggaran gencatan senjata oleh Israel. “Tampaknya Israel yang melanggar gencatan senjata,” ujarnya.

Dampak perang juga terasa pada perekonomian. Banyak kantor publik dan bisnis swasta terpaksa menghentikan operasional, membuat banyak warga menderita secara ekonomi. “Ketika terjadi perang, semua orang menderita secara ekonomi,” kata Jahangiri.

Amir (28), yang mengungsi ke utara Iran, mengaku belum yakin untuk kembali ke Teheran. “Kita lihat saja nanti. Saya pikir kami akan tinggal seminggu lagi di utara untuk melihat bagaimana keadaannya,” katanya.

Pemerintah Iran sendiri, meski menyambut gencatan senjata sebagai kemenangan, tetap menegaskan bahwa mereka sama sekali tidak memercayai musuhnya dan tetap siap memberikan tanggapan tegas jika terjadi agresi baru.


Gencatan senjata antara Iran dan Israel, yang dimediasi oleh AS, memang membawa sedikit kelegaan dari panasnya konflik. Namun, peringatan keras dari Iran mengenai “aksi culas” Israel, diiringi saling tuduh pelanggaran, menunjukkan bahwa perdamaian yang tercipta masih sangat rapuh. Baik klaim kemenangan dari kedua belah pihak maupun kekhawatiran warga sipil, semuanya menggambarkan betapa kompleksnya situasi ini. Kita hanya bisa berharap diplomasi akan terus diupayakan demi stabilitas yang lebih nyata di kawasan Timur Tengah.