Baru-baru ini, isu senjata nuklir di Timur Tengah kembali menghangat. Iran, salah satu negara kunci di kawasan tersebut, secara tegas menyatakan dukungannya agar Timur Tengah bebas dari senjata nuklir. Namun, ada satu syarat utama yang diajukan Iran: Israel juga harus melakukan hal yang sama.
Artikel ini akan membahas secara tuntas mengapa Iran begitu vokal menyuarakan hal ini, apa saja syarat yang diajukan, serta bagaimana posisi ini muncul di tengah ketegangan dan gencatan senjata yang baru saja terjadi di Timur Tengah. Dengan memahami konteks ini, Anda akan mendapatkan gambaran yang lebih jelas mengenai dinamika geopolitik di kawasan yang sering kali bergejolak ini.
Komitmen Iran untuk Timur Tengah Bebas Nuklir
Presiden Iran, Masoud Pezeshkian, baru-baru ini menegaskan kembali posisi negaranya dalam sebuah percakapan telepon dengan Presiden Mesir Abdel Fattah Sisi pada Rabu (25/6). Pezeshkian menyatakan bahwa Iran sangat mendukung upaya menciptakan kawasan Timur Tengah yang bebas dari segala jenis senjata pemusnah massal, termasuk nuklir.
Namun, dukungan ini bukan tanpa syarat. Pezeshkian menekankan bahwa inisiatif ini harus mencakup seluruh negara di kawasan, termasuk Israel.
“Kami setuju untuk menciptakan kawasan yang bebas dari senjata nuklir dan senjata pemusnah massal, tentu saja, dengan syarat bahwa kawasan itu juga mencakup Israel, karena tindakan negara ini baru-baru ini tidak memberikan ruang bagi kepercayaan apa pun padanya,” tegas Pezeshkian.
Iran juga menyatakan kesiapannya untuk bekerja sama dalam meningkatkan keamanan, stabilitas, dan perdamaian di kawasan tersebut. Ini menunjukkan bahwa Iran melihat isu nuklir sebagai bagian integral dari upaya mencapai stabilitas jangka panjang di Timur Tengah.
Posisi Israel dalam Isu Nuklir Regional
Mengapa Israel menjadi fokus utama dalam pernyataan Iran ini? Israel adalah satu-satunya negara di Timur Tengah yang secara luas diyakini memiliki senjata nuklir, meskipun mereka tidak pernah secara resmi mengakui atau menyangkalnya. Berbeda dengan Iran yang merupakan anggota Perjanjian Non-Proliferasi Nuklir (NPT) dan diawasi oleh Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA), Israel tidak menjadi pihak dalam perjanjian ini.
Iran melihat kondisi ini sebagai bentuk standar ganda yang merusak kredibilitas upaya global untuk menciptakan perdamaian. Duta Besar Iran untuk PBB, Amir Saeid Iravani, dalam forum Majelis Umum PBB, juga menyampaikan pandangan serupa.
“Iran menyambut baik semua upaya yang bertujuan membentuk kawasan bebas senjata nuklir di Timur Tengah. Namun, pendekatan ini tidak akan efektif tanpa partisipasi Israel,” ujar Iravani.
Iravani dan pejabat Iran lainnya secara konsisten mendesak agar fasilitas nuklir Israel ditempatkan di bawah pengawasan IAEA. Mereka berpendapat bahwa Dewan Keamanan PBB harus bertindak tegas berdasarkan Bab 7 Piagam PBB untuk memperbaiki ketidakadilan ini dan memastikan semua pihak tunduk pada aturan yang sama.
Rangkaian Konflik dan Gencatan Senjata yang Melatarbelakangi
Pernyataan Iran ini muncul di tengah situasi yang masih rentan setelah serangkaian konflik singkat namun intens di Timur Tengah. Berikut adalah garis waktu singkat kejadian yang melatarbelakangi:
- 13 Juni: Israel melancarkan serangan besar-besaran terhadap Iran, menuduh Teheran memiliki program nuklir militer rahasia.
- Balasan Iran: Teheran merespons dengan menyerang target militer di dalam wilayah Israel.
- 22 Juni: Amerika Serikat (AS) ikut campur dengan menyerang tiga fasilitas nuklir utama Iran: Natanz, Fordow, dan Isfahan.
- 23 Juni: Iran membalas serangan AS dengan meluncurkan rudal ke Pangkalan Udara Al Udeid milik AS di Qatar.
- 23 Juni malam: Presiden AS Donald Trump mengumumkan bahwa Israel dan Iran telah menyepakati gencatan senjata yang akan mengakhiri “perang 12 hari” tersebut.
- 24 Juni: Trump menegaskan bahwa gencatan senjata antara Iran dan Israel telah berlaku, mendesak kedua belah pihak untuk tidak melanggarnya.
Konflik yang baru saja mereda ini menjadi bukti betapa rapuhnya stabilitas di Timur Tengah. Oleh karena itu, seruan Iran untuk kawasan bebas nuklir ini juga bisa diartikan sebagai langkah untuk mencegah eskalasi konflik di masa depan.
Tanggapan Iran Terhadap IAEA: Mengapa Kerja Sama Ditangguhkan?
Menariknya, di tengah seruan untuk pengawasan nuklir ini, Parlemen Iran juga mengambil langkah signifikan. Pada Rabu (25/6), Parlemen Iran menyetujui Rancangan Undang-Undang (RUU) untuk menangguhkan kerja sama dengan Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA).
Keputusan ini diambil karena anggota parlemen Iran merasa IAEA gagal mengutuk serangan yang dilancarkan oleh Israel dan AS terhadap situs nuklir utama Iran.
“IAEA bahkan tidak mengeluarkan kecaman simbolis,” tegas Ketua Parlemen Iran Mohammad Bagher Ghalibaf.
Ghalibaf menyatakan bahwa Teheran tidak akan lagi bekerja sama dengan IAEA sampai fasilitas nuklirnya diamankan sepenuhnya. Langkah ini menunjukkan frustrasi Iran terhadap apa yang mereka anggap sebagai sikap bias atau pasif dari badan pengawas nuklir internasional tersebut.
Kesimpulan
Iran secara konsisten menyuarakan dukungannya terhadap Timur Tengah yang bebas dari senjata nuklir, tetapi dengan syarat yang jelas: Israel juga harus berkomitmen untuk melucuti persenjataan nuklirnya dan tunduk pada pengawasan internasional. Pernyataan ini muncul sebagai respons langsung terhadap ketegangan dan konflik yang baru-baru ini terjadi di kawasan, serta kekecewaan Iran terhadap standar ganda dalam perlakuan program nuklir.
Mewujudkan Timur Tengah yang bebas senjata nuklir adalah tantangan besar yang memerlukan komitmen tulus dari semua pihak, serta peran aktif dari komunitas internasional untuk memastikan keadilan dan kesetaraan dalam penerapan aturan. Tanpa itu, perdamaian dan stabilitas abadi di kawasan tersebut akan sulit tercapai.