Indonesia Gelap: Mengapa Tagar Ini Ramai dan Apa Artinya Bagi Kita?

Dipublikasikan 26 Juni 2025 oleh admin
Sosial Politik

Belakangan ini, jagat maya di Indonesia dihebohkan dengan tagar #IndonesiaGelap. Mungkin Anda bertanya-tanya, apa sebenarnya maksud di balik tagar ini? Apakah ini hanya sekadar tren di media sosial, atau ada pesan penting yang ingin disampaikan?

Indonesia Gelap: Mengapa Tagar Ini Ramai dan Apa Artinya Bagi Kita?

Artikel ini akan mengupas tuntas apa arti “Indonesia Gelap” dari berbagai sudut pandang, mengapa tagar ini begitu ramai diperbincangkan, dan apa dampaknya bagi kehidupan kita sehari-hari. Dengan membaca artikel ini, Anda akan memahami lebih dalam tentang keresahan publik yang sedang terjadi dan bagaimana kita bisa menyikapinya.

Apa Itu #IndonesiaGelap? Bukan Sekadar Tagar Biasa

Tagar #IndonesiaGelap bukan muncul begitu saja tanpa alasan. Ini adalah sebuah seruan yang menggambarkan perasaan bahwa kondisi negara kita sedang “tidak baik-baik saja”. Tagar ini seringkali punya kaitan erat dengan #KaburSajaDulu, yang sempat mengajak kaum muda untuk mencari kehidupan yang lebih baik di luar negeri karena merasa sulit hidup di tanah air sendiri.

Pada intinya, #IndonesiaGelap adalah bentuk kritik keras dari masyarakat, terutama kaum muda, terhadap berbagai kebijakan dan situasi yang terjadi di pemerintahan saat ini. Ini adalah cara warganet menyuarakan kekhawatiran, ketakutan, dan harapan mereka akan kesejahteraan.

Sinyal Keras: Represi dan Kembalinya Bayang-bayang Orde Baru?

Salah satu pemicu utama munculnya sentimen “Indonesia Gelap” adalah kekhawatiran akan kembalinya praktik-praktik represif yang mengingatkan kita pada era Orde Baru. Kejadian yang paling menonjol adalah niat Tentara Nasional Indonesia (TNI) untuk mengusut pihak-pihak yang menolak revisi Undang-Undang TNI dan demonstrasi “Indonesia Gelap”.

Mayor Jenderal Kristomei Sianturi, Kepala Pusat Penerangan TNI, menggunakan rilis Kejaksaan Agung yang menuduh pengacara Marcella Santoso menghalangi penyidikan korupsi gula, minyak sawit, dan timah. Tuduhan “obstruction of justice” ini dikaitkan dengan opini yang dibuat Marcella melalui diskusi dan konten media sosial tentang “Indonesia Gelap” serta revisi UU TNI.

Tempo.co menyoroti kejanggalan logika ini:

“Bagaimana bisa penggalangan opini dipidanakan memakai penghalangan penyidikan kasus yang tak berhubungan?”

Lebih lanjut, niat TNI untuk menyelidiki pengkritik kebijakan ini dianggap mengukuhkan kekhawatiran bahwa militerisme bisa membuka jalan bagi represi dan otoritarianisme, serta menggagalkan cita-cita reformasi untuk menghapus politik praktis tentara. Kristomei bahkan dibandingkan dengan Laksamana Sudomo yang memimpin Kopkamtib di akhir 1970-an, sebuah lembaga yang membungkam suara kritis masyarakat sipil.

‘State Capture’: Saat Kebijakan Negara Hanya untuk Elite?

Isu lain yang membuat masyarakat merasa “gelap” adalah fenomena “state capture”. Ini terjadi ketika kebijakan pemerintah tidak lagi melayani kepentingan publik, melainkan dimanipulasi oleh sekelompok kecil elite bisnis dan politik yang punya akses istimewa ke kekuasaan.

Beberapa indikasi “state capture” yang disoroti antara lain:

  • Anggota DPR Berlatar Belakang Bisnis: Data dari Indonesia Corruption Watch (ICW) menunjukkan bahwa setidaknya 61% anggota DPR RI periode 2024-2029 memiliki latar belakang bisnis, meningkatkan risiko konflik kepentingan.
  • Pemotongan Anggaran Lembaga Pengawas: Instruksi Presiden (Inpres) No. 1/2025 mengamanatkan pemotongan anggaran sebesar Rp 306,69 triliun, yang juga memangkas anggaran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebesar Rp 201 miliar dan Mahkamah Agung (Rp 2,2 triliun). Hal ini dikhawatirkan melemahkan mekanisme checks and balances dalam demokrasi.
  • Proyek Kontroversial: Adanya lembaga dana investasi baru seperti Danantara yang dipimpin tokoh-tokoh dekat kekuasaan, memicu kekhawatiran akan eksploitasi negara untuk kepentingan segelintir orang.
  • Kasus Pencaplokan Laut: Munculnya kasus sertifikasi Hak Guna Bangunan (HGB) dan pemagaran laut di beberapa wilayah, seperti Kohod Tangerang, Banten, oleh korporasi besar yang melibatkan pejabat kementerian. Masyarakat bertanya-tanya bagaimana laut bisa disertifikasi kepemilikannya.

Gelombang Protes dari Berbagai Arah: Suara Rakyat yang Resah

Sentimen “Indonesia Gelap” memuncak dalam serangkaian unjuk rasa besar di berbagai kota di Indonesia, terutama Jakarta. Demonstrasi ini dijuluki sebagai #IndonesiaGelap dan dipimpin oleh mahasiswa serta berbagai organisasi masyarakat sipil.

Ada dua gelombang utama protes:

  1. Fase Pertama (Februari 2025): Protes ini muncul sebagai respons atas kebijakan kontroversial Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, termasuk:
    • Program Makan Bergizi Gratis yang melibatkan TNI dan Polri, menimbulkan kekhawatiran akan kembalinya Dwifungsi ABRI.
    • Pemberlakuan Inpres No. 1 Tahun 2025 yang menyebabkan pemotongan anggaran di berbagai sektor vital, termasuk pendidikan.
    • Usulan revisi UU Mineral dan Batu Bara yang mengizinkan universitas terlibat dalam pertambangan (meskipun usulan ini kemudian dibatalkan).
  2. Fase Kedua (Maret 2025): Gelombang protes kembali terjadi setelah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengesahkan revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI). Revisi ini kontroversial karena:
    • Meningkatkan jumlah jabatan sipil yang dapat diisi oleh anggota TNI dari 10 menjadi 15 posisi.
    • Mengatur usia pensiun prajurit berdasarkan pangkat, dengan kemungkinan perpanjangan.

Selain itu, unjuk rasa juga menyuarakan keresahan masyarakat terkait:

  • Kesulitan Ekonomi: Makin susahnya mencari pekerjaan, persyaratan yang memberatkan, sistem kontrak pendek, dan kenaikan pajak yang memberatkan rakyat.
  • Layanan Publik: Pendidikan, kesehatan, dan kebutuhan primer (sandang, pangan, papan) yang belum sepenuhnya bisa dinikmati masyarakat dengan mudah.
  • Ketidakadilan Hukum: Berbagai kasus ketidakadilan sosial yang mencuat, seperti kasus Harvey Moeis dan semrawutnya distribusi tabung elpiji bersubsidi yang sampai menelan korban jiwa.

Mengapa Ulama Ikut Jadi Sorotan?

Dalam konteks “Indonesia Gelap”, peran ulama atau pemuka agama juga menjadi sorotan. Menurut pandangan Islam, kerusakan sebuah negara yang bercirikan kesewenang-wenangan penguasa kepada rakyat berasal dari rusaknya para ulama di negara tersebut.

Imam Ghazali menjelaskan:

“Tidaklah terjadi kerusakan terhadap rakyat kecuali dengan kerusakan penguasa, dan tidaklah rusak para penguasa kecuali dengan kerusakan para ulama.”

Yang menjadi keprihatinan adalah munculnya “ulama su’” (ulama jahat) yang cenderung mencari keuntungan duniawi atau kedudukan dengan mendekat kepada penguasa, alih-alih melakukan amar makruf nahi munkar (menyerukan kebaikan dan mencegah kemungkaran). Contoh konkretnya adalah saat kasus pencaplokan laut di Banten, di mana ada oknum ulama yang justru mendukung korporasi besar dengan dalih “menghidupkan tanah mati” dan proyek nasional, meskipun bertentangan dengan kepentingan rakyat dan fatwa organisasi keagamaan besar seperti NU yang menyatakan kepemilikan laut oleh individu atau korporasi adalah haram.

Fenomena ini menunjukkan bahwa sebagian masyarakat merasa bahwa pilar-pilar moral dan keadilan juga sedang terancam, menambah daftar panjang alasan mengapa mereka merasa “Indonesia Gelap”.

Menjelajahi “Kegelapan” dan Mencari “Terang”

Tagar #IndonesiaGelap adalah cerminan kompleks dari kecemasan dan kekecewaan publik terhadap berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Mulai dari ancaman represi militer, praktik “state capture” oleh elite, hingga ketidakadilan sosial dan ekonomi yang dirasakan masyarakat luas, semua berkontribusi pada sentimen ini.

Memahami “Indonesia Gelap” berarti menyadari bahwa ada suara-suara yang ingin didengar, ada harapan yang ingin diwujudkan, dan ada kebutuhan mendasar untuk kembali pada prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat. Ini adalah ajakan bagi kita semua untuk lebih peduli, kritis, dan berpartisipasi aktif dalam mengawasi jalannya pemerintahan, agar “kegelapan” ini tidak semakin pekat dan kita bisa bersama-sama menemukan jalan menuju “terang” yang diharapkan.