Bukti Nyata Indonesia Darurat Pekerjaan Layak: Mayoritas Pekerja Terjebak Gaji Pas-pasan

Dipublikasikan 14 Juli 2025 oleh admin
Sosial Politik

Yogyakarta, zekriansyah.com – Pernahkah Anda merasa bahwa meskipun banyak orang bekerja, kehidupan layak masih terasa jauh? Angka pengangguran mungkin terlihat menurun, tapi di balik statistik yang membaik ini, ada realitas yang sering luput dari perhatian: banyak pekerja di Indonesia ternyata masih berjuang keras untuk sekadar memenuhi kebutuhan dasar. Fenomena ini bukan lagi sekadar tantangan, melainkan sebuah bukti darurat pekerjaan layak di negeri kita. Mayoritas pekerja, bahkan yang sudah memiliki pekerjaan, masih terjebak dalam lingkaran gaji yang pas-pasan, bahkan di bawah standar kelayakan.

Bukti Nyata Indonesia Darurat Pekerjaan Layak: Mayoritas Pekerja Terjebak Gaji Pas-pasan

Ilustrasi di atas menggambarkan realitas kelam pekerja Indonesia yang mayoritas terperangkap dalam gaji pas-pasan, mengindikasikan darurat pekerjaan layak di tengah penurunan angka pengangguran.

Artikel ini akan mengupas tuntas mengapa situasi ini bisa terjadi dan apa dampaknya bagi kita semua. Mari kita selami lebih dalam fakta-fakta yang ada, agar kita bisa memahami gambaran utuh tentang kondisi ketenagakerjaan dan kebutuhan akan pekerjaan layak di Indonesia.

Di Balik Angka Pengangguran yang Menurun: Ada Apa?

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, tingkat pengangguran terbuka (TPT) Indonesia pada Agustus 2024 memang menunjukkan angka yang menggembirakan, yaitu 4,91 persen. Angka ini bahkan lebih rendah dari kondisi sebelum pandemi COVID-19. Sekilas, ini seperti kabar baik yang menandakan ekonomi kita pulih dan lapangan kerja tercipta.

Namun, statistik ini tidak menceritakan seluruh kisahnya. Di saat yang sama, proporsi pekerja informal di Indonesia masih sangat mendominasi, mencapai 57,95 persen. Bayangkan, lebih dari separuh angkatan kerja kita berada dalam kondisi kerja yang tidak stabil. Mereka seringkali tanpa jaminan sosial, kepastian pendapatan, apalagi perlindungan saat terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK). Ini seperti berlari di tempat; Anda punya pekerjaan, tapi tidak ada jaring pengaman yang melindungi.

Gaji Rendah dan Ancaman Kemiskinan

Ironisnya, bukan hanya pekerja informal yang menghadapi tantangan berat. Pada tahun 2023, BPS juga melaporkan bahwa sekitar 27,57 persen buruh/karyawan/pegawai menerima upah yang rendah, alias kurang dari dua pertiga median upah nasional (dikenal sebagai low pay rate atau LPR). Ini berarti, hampir sepertiga pekerja formal kita digaji di bawah standar yang seharusnya.

Meskipun pemerintah telah menaikkan rata-rata Upah Minimum Provinsi (UMP) sebesar 6,5 persen untuk tahun 2025, angka ini seringkali masih lebih rendah dibandingkan garis kemiskinan per rumah tangga yang dirilis BPS pada Maret 2024. Artinya, banyak pekerja yang, meski sudah digaji sesuai regulasi, tetap berisiko terperosok dalam kemiskinan. Bagi mereka di sektor informal, situasinya bahkan lebih sulit karena pendapatan mereka tidak menentu dan tidak dilindungi oleh kebijakan upah minimum. Konsep pekerjaan yang seharusnya menjadi tangga menuju kesejahteraan, justru berubah menjadi sekadar upaya bertahan hidup dari hari ke hari.

Kelas Menengah Tergerus, PHK Meningkat

Tekanan ekonomi ini tidak hanya dirasakan oleh pekerja berpenghasilan rendah. Kelas menengah, yang selama ini menjadi tulang punggung konsumsi domestik, juga ikut merasakan dampaknya. Menurut data BPS, proporsi kelas menengah di Indonesia menurun dari 21,45 persen pada 2019 menjadi 17,13 persen pada 2024. Ini mengindikasikan bahwa banyak dari mereka yang sebelumnya stabil, kini “turun kelas” akibat kondisi ekonomi yang tidak menentu dan kenaikan harga kebutuhan pokok yang tidak sebanding dengan peningkatan pendapatan.

Situasi ini diperparah dengan gelombang PHK masif yang terjadi, terutama di sektor padat karya. Hingga pertengahan 2025, lebih dari 70.000 pekerja formal tercatat mengalami PHK, angka tertinggi dalam lima tahun terakhir. Di sisi lain, Indonesia sedang berada dalam masa bonus demografi, dengan 3 hingga 4 juta angkatan kerja baru memasuki pasar setiap tahun. Jika lapangan kerja yang tercipta tidak memadai atau tidak berkualitas, bonus demografi ini bisa berubah menjadi bencana.

Contoh Nyata: Dosen Pun Merasakan Gaji Tak Layak

Siapa sangka, masalah gaji tak layak juga merambah ke profesi yang dianggap bergengsi seperti dosen? Riset tim dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Universitas Indonesia (UI), dan Universitas Mataram (Unram) pada Mei 2023 menunjukkan fakta mengejutkan: 42,9 persen dosen belum sejahtera. Bahkan, ada akademisi yang digaji di bawah Rp 3 juta per bulan. Kondisi ini yang kemudian melahirkan Serikat Pekerja Kampus pada Agustus 2023, sebagai wadah untuk memperjuangkan hak-hak pekerja di lingkungan perguruan tinggi, termasuk tenaga kependidikan, keamanan, hingga pekerja kebersihan. Ini membuktikan bahwa isu kesejahteraan pekerja adalah masalah lintas sektor.

Solusi di Tengah Badai: Fokus pada Kualitas Pekerjaan

Melihat kondisi ini, jelas bahwa kita tidak bisa hanya fokus pada pengurangan angka pengangguran saja. Tantangan ke depan adalah bagaimana memastikan setiap pekerjaan yang ada memenuhi standar pekerjaan layak. Ini berarti pekerjaan yang memberikan penghasilan cukup, jaminan sosial, kepastian kerja, serta kesempatan untuk meningkatkan kualitas hidup.

Salah satu solusi yang terbukti efektif dalam situasi darurat adalah program Cash for Work (CFW) atau yang dikenal di Indonesia sebagai Padat Karya Tunai (PKT). Program ini tidak hanya menyediakan pekerjaan sementara dengan upah harian bagi masyarakat terdampak, tetapi juga membangun atau memperbaiki infrastruktur publik yang dibutuhkan. Artinya, masyarakat mendapatkan penghasilan langsung, sekaligus ikut membangun lingkungannya. Ini adalah bentuk stimulus ekonomi yang padat karya, padat manfaat, dan menjaga martabat manusia.

Pemerintah juga perlu memberikan insentif lebih besar bagi perusahaan yang tidak hanya menyerap banyak tenaga kerja, tetapi juga menjamin kualitas pekerjaan yang diciptakan. Sistem pendidikan dan pelatihan harus lebih adaptif agar tenaga kerja memiliki keterampilan yang relevan dengan kebutuhan industri masa kini dan masa depan, sehingga mereka tidak lagi terjebak dalam pekerjaan berupah rendah. Pengawasan ketat terhadap pelanggaran hak-hak pekerja juga mutlak diperlukan.

Kesimpulan

Realitas darurat pekerjaan layak di Indonesia adalah panggilan bagi kita semua untuk bertindak. Angka pengangguran yang rendah tidak boleh menipu kita dari fakta bahwa banyak saudara sebangsa kita masih berjuang keras dengan gaji yang pas-pasan, bahkan di bawah standar kelayakan hidup. Pekerjaan layak bukan hanya tentang penghasilan, melainkan juga tentang martabat, kepastian hidup, dan kesempatan untuk berkembang.

Mewujudkan pekerjaan layak di Indonesia adalah tujuan bersama yang tertuang dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Ini membutuhkan komitmen kuat dari pemerintah, dunia usaha, dan partisipasi aktif masyarakat. Mari kita dorong kebijakan yang lebih berpihak pada pekerja, memastikan setiap individu memiliki kesempatan untuk bekerja secara produktif dan mendapatkan penghasilan yang mencukupi, demi masa depan ekonomi yang lebih inklusif dan berkelanjutan bagi Indonesia.