Hasan Nasbi Bela Fadli Zon: Pengkritik Sejarah Harus ‘Tahu Diri’ Punya Kompetensi

Dipublikasikan 30 Juni 2025 oleh admin
Sosial Politik

Yogyakarta, zekriansyah.com – Jakarta – Proyek penulisan ulang sejarah Indonesia yang digagas pemerintah, di bawah Kementerian Kebudayaan yang dipimpin Fadli Zon, belakangan ini jadi sorotan. Berbagai kritik bermunculan, terutama setelah pernyataan Fadli Zon soal peristiwa kelam Kerusuhan Mei 1998. Menanggapi riuhnya kritik ini, Kepala Komunikasi Kepresidenan (PCO) Hasan Nasbi pasang badan membela Fadli Zon.

Hasan Nasbi Bela Fadli Zon: Pengkritik Sejarah Harus 'Tahu Diri' Punya Kompetensi

Ilustrasi: Sang pembela sejarah menuntut kritik yang berlandaskan kompetensi dan kesadaran diri.

Ia bahkan menyebut, pihak yang mengkritik proyek penulisan sejarah ini harus “tahu diri” dan punya kompetensi yang cukup. Nah, sebenarnya apa sih inti pembelaan Hasan Nasbi ini? Dan kenapa kritik terhadap sejarah harus “tahu diri”? Yuk, kita bedah tuntas agar Anda tidak salah paham dan bisa melihat persoalan ini dari berbagai sisi.

Polemik Proyek Tulis Ulang Sejarah dan Pernyataan Fadli Zon

Pemerintah tengah menggarap proyek besar: menulis ulang sejarah Indonesia. Tujuannya, disebut-sebut, untuk mengklarifikasi berbagai “rumor” yang selama ini dianggap fakta sejarah. Salah satu pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon yang paling memicu kontroversi adalah terkait peristiwa pemerkosaan massal dalam Kerusuhan Mei 1998.

Dalam sebuah wawancara, Fadli Zon sempat mengatakan:

“Pemerkosaan massal kata siapa itu? Enggak pernah ada proof-nya. Itu adalah cerita. Kalau ada tunjukkan, ada enggak di dalam buku sejarah itu?”

Pernyataan ini sontak menuai kecaman dari berbagai pihak, termasuk Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Impunitas dan organisasi sayap PKB, Perempuan Bangsa. Mereka menilai pernyataan tersebut manipulatif dan meremehkan kekerasan terhadap perempuan, mengingat Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) dan Komnas HAM sudah memiliki banyak dokumentasi dan hasil penyelidikan terkait kekerasan seksual pada Mei 1998.

Hasan Nasbi Pasang Badan: Pengkritik Harus Punya Kompetensi

Di tengah gelombang kritik ini, Hasan Nasbi muncul membela Fadli Zon dan proyek penulisan ulang sejarah. Menurut Hasan, ada puluhan sejarawan profesor dan doktor dari berbagai universitas yang terlibat dalam proses ini. Ia meyakini, para sejarawan tersebut tidak akan “menggadaikan integritas akademik mereka, profesionalitas mereka untuk hal-hal yang tidak diperlukan.”

Hasan pun meminta publik untuk bersabar dan memberi waktu kepada para sejarawan untuk menyelesaikan pekerjaannya. Ia khawatir, tekanan dari opini media sosial yang terburu-buru justru akan mengganggu proses penulisan sejarah yang membutuhkan ketelitian dan kompetensi tinggi.

Poin penting dari pembelaan Hasan Nasbi adalah kritiknya terhadap pihak-pihak yang melontarkan kritik.

“Kita yang mengkritik ini juga harus tahu diri nih, kita punya kompetensi dan literatur profesionalitas dalam menilai sebuah tulisan sejarah apa tidak,” tegas Hasan.

Maksudnya, kritik itu sah-sah saja, tapi harus didasari pemahaman dan kompetensi yang memadai di bidang sejarah. Jangan sampai kritik dilontarkan hanya karena emosi atau belum memahami duduk perkaranya.

Tidak Semua Kejadian Bisa Masuk Buku Sejarah?

Selain itu, Hasan Nasbi juga menyoroti bahwa tidak semua kejadian sejarah bisa atau perlu dituliskan dalam buku sejarah resmi. Ia memberi contoh yang cukup mengejutkan:

“Ada enggak dalam tulisan sejarah Indonesia yang pernah ditulis bahwa kita dulu di masa Jepang, pimpinan putra menyediakan PSK terhadap tentara Jepang… Kejadian, PSK dibawa dari Karawang kok. Tapi dalam sejarah kita ditulis nggak itu?”

Menurut Hasan, para sejarawan tentu memiliki pertimbangan khusus dalam menyusun ulang sejarah Indonesia. Penulisan sejarah, katanya, harus memiliki tujuan untuk memetik pelajaran di masa lalu dan membesarkan bangsa di masa depan.

Pentingnya Menanti Hasil dan Berpikir Jernih

Polemik ini menunjukkan betapa sensitifnya topik sejarah di tengah masyarakat. Pernyataan Fadli Zon, meskipun kemudian ia klarifikasi bahwa ia mengutuk kekerasan seksual dan tidak menihilkan penderitaan korban 1998, tetap menyisakan tanda tanya.

Di sisi lain, pembelaan Hasan Nasbi mengingatkan kita bahwa proses penulisan sejarah adalah pekerjaan serius yang melibatkan banyak ahli. Ia mengajak masyarakat untuk menahan diri dari “sumbu kesabaran yang diperpendek” oleh media sosial, dan menunggu hasil kerja para sejarawan.

Pada akhirnya, memahami sejarah bukan hanya tentang tahu apa yang terjadi, tapi juga tahu bagaimana sebuah narasi sejarah itu dibentuk dan untuk tujuan apa. Jadi, mari kita beri ruang bagi para ahli untuk bekerja, sambil tetap kritis namun dengan dasar yang kuat.