Fatwa Haram Sound Horeg: Polemik Kesenian Lokal yang Menggetarkan Telinga dan Nurani

Dipublikasikan 11 Juli 2025 oleh admin
Sosial Politik

Di tengah hiruk pikuk kehidupan masyarakat, sebuah fenomena yang dikenal sebagai “sound horeg” telah menjadi sorotan utama, memicu perdebatan sengit dan bahkan fatwa dari kalangan ulama. Apa sebenarnya musik horeg ini, dan mengapa sebuah kesenian lokal yang awalnya bertujuan menghibur kini justru dianggap haram dan menimbulkan keresahan? Mari kita selami lebih dalam polemik yang menggetarkan ini.

Fatwa Haram Sound Horeg: Polemik Kesenian Lokal yang Menggetarkan Telinga dan Nurani

Suara “horeg” yang memekakkan telinga: Seni lokal atau polusi suara yang mengganggu?

Fenomena sound horeg—dentuman musik dengan suara menggelegar dari puluhan sound system berukuran jumbo yang diangkut truk—kini tak hanya sekadar hiburan, melainkan juga pemicu masalah serius. Mulai dari keluhan warga yang terganggu hingga fatwa haram dari puluhan pondok pesantren, isu ini menjadi cerminan kompleksitas antara ekspresi budaya, ketertiban umum, dan nilai-nilai moral. Artikel ini akan mengupas tuntas alasan di balik fatwa tersebut, berbagai pandangan yang muncul, hingga solusi yang diharapkan.

Apa Itu Sound Horeg yang Bikin Geger?

Istilah “horeg” sendiri berasal dari bahasa Jawa yang berarti “bergerak” atau “bergetar”. Sesuai namanya, sound horeg merujuk pada sajian musik dengan suara bas yang sangat keras, mampu membuat tanah dan bangunan di sekitarnya bergetar. Biasanya, pertunjukan ini digelar dalam acara-acara besar seperti karnaval, hajatan warga, perayaan kelulusan, atau hari-hari besar keagamaan di pedesaan, khususnya di wilayah Jawa Timur.

Musik yang diputar umumnya adalah dangdut atau lagu pop yang diaransemen ulang menjadi ala disk jokey (DJ). Para pemilik sound horeg berlomba-lomba adu kencang volume, menciptakan euforia yang, sayangnya, tidak selalu disambut baik oleh semua pihak.

Alasan di Balik Fatwa Haram: Gangguan Fisik hingga Moral

Fatwa haram sound horeg yang dikeluarkan oleh setidaknya 50 pondok pesantren di Forum Satu Muharram 1447 Hijriah Pondok Pesantren Besuk, Pasuruan, Jawa Timur, bukan tanpa alasan. Pengasuh Pondok Pesantren Besuk, Muhibbul Aman Aly, menjelaskan ada tiga aspek utama yang menjadi pertimbangan:

Kebisingan Berlebihan dan Kerusakan Lingkungan

Suara sound horeg yang sangat nyaring, terutama suara bas yang berlebihan, menjadi keluhan utama masyarakat. Banyak warga, seperti Ahmad Zainudin dari Sumenep dan Annur Rofiek Alamthani, mengaku sangat terganggu. Zainudin bahkan menyebut suara bas yang terlalu mendominasi menghilangkan unsur seni musik itu sendiri.

  • Gangguan Fisik: Suara ekstrem ini bisa membuat rumah bergetar, genting pecah, atau kaca rusak. Sebuah video viral menunjukkan seorang lansia di Kediri yang tampak mengelus dada saking terganggunya.
  • Dampak Kesehatan: Menurut antropolog Puji Karyanto dari Universitas Airlangga, volume suara sound horeg seringkali melebihi batas toleransi telinga manusia (85 desibel), bahkan bisa mencapai 120-135 desibel. Paparan terus-menerus bisa menyebabkan gangguan pendengaran permanen, tekanan darah tinggi, hingga stres.
  • Kerusakan Fasilitas Umum: Beberapa kali, truk sound horeg dilaporkan sampai harus membongkar fasilitas umum agar bisa lewat, menambah kerugian dan gangguan bagi warga.
  • Pembebanan Warga: Di Tuban, warga bahkan dimintai iuran yang memberatkan untuk menyewa belasan unit sound horeg untuk karnaval.

Secara hukum, kebisingan ekstrem ini berpotensi melanggar UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Pasal 69 ayat 1 huruf e) yang melarang pencemaran suara di atas baku mutu. Selain itu, Permen LH No. 48 Tahun 1996 menetapkan batas aman kebisingan di permukiman hanya 55-70 dB.

Pelanggaran Syariat dan Dampak Moral

Selain masalah kebisingan, aspek moral menjadi pertimbangan kuat dalam fatwa haram ini. Kegiatan sound horeg dinilai seringkali melanggar syariat Islam karena:

  • Aksi Joget Tak Senonoh: Banyaknya aksi joget laki-laki dan perempuan yang berpakaian seksi, bahkan ada “goyangan tak pantas” yang disaksikan anak-anak. Hal ini dikhawatirkan merusak moral generasi muda.
  • Pergaulan Bebas dan Miras: Acara sound horeg ditengarai menjadi ajang peredaran minuman keras dan mabuk-mabukan.
  • Pencampuran Lawan Jenis: Adanya percampuran (ikhtilat) antara laki-laki dan perempuan yang tidak dapat dihindari, bahkan sampai tubuh mereka saling bersentuhan.

Kiai Muhib Aman Aly menjelaskan, “Tentu yang sangat kami prihatinkan adalah akibat kerusakan moral. Bayangkan anak-anak kecil bisa melihat seperti itu, ada penari kayak gitu ditonton anak kecil. Belum lagi ditengarai dalam acara horeg itu banyak sekali minuman keras, mabuk-mabukan.”

Reaksi Beragam: Pro dan Kontra Fatwa

Fatwa haram ini sontak memicu beragam reaksi di masyarakat.

Dukungan dari Ulama dan Masyarakat

Keputusan fatwa ini didukung oleh berbagai pihak, termasuk Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur dan Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Situbondo. Ketua Komisi Fatwa MUI Jawa Timur, KH Ma’ruf Khozin, menyebut sound horeg telah menciptakan keresahan, mengganggu santri mengaji, pasien, guru, hingga warga sakit. “Sound horeg hanya dinikmati segelintir, tapi merugikan banyak orang,” tegasnya. Dukungan juga datang dari warga yang merasa terganggu dan berharap adanya ketertiban.

Keberatan dari Pelaku Usaha Sound Horeg

Namun, fatwa ini tak diterima begitu saja oleh para pelaku bisnis sound horeg. Hermanto, pemilik Horeg Mega Audio di Pamekasan, dengan tegas menolak. Ia berargumen bahwa jika sound horeg diharamkan, maka tempat hiburan lain seperti karaoke atau bahkan “main kentungan” yang ada joget-jogetnya juga harus dilarang. “Tergantung yang melihat,” ujarnya.

Bagi para pengusaha, sound horeg adalah sumber penghidupan. Mereka bisa meraup Rp10 juta hingga Rp20 juta sekali tampil, atau sekitar Rp1,5 juta hingga Rp2,5 juta per acara untuk skala kecil. Bisnis ini juga menyerap tenaga kerja lokal, dari teknisi hingga operator. Mereka berpendapat, tanggung jawab atas isi acara sepenuhnya ada pada penyelenggara, bukan penyedia alat. Selain itu, sound system mereka juga kerap digunakan untuk kegiatan positif seperti pengajian atau acara resmi desa.

Fatwa Saja Tidak Cukup: Peran Pemerintah dan Regulasi

Meskipun fatwa telah dikeluarkan, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat melalui Sekretaris Komisi Fatwa, KH Miftahul Huda, menyatakan bahwa fatwa saja tidak cukup untuk menyelesaikan masalah sound horeg. Fatwa pada dasarnya bersifat etik dan tidak mengikat secara hukum.

“Solusi dari fenomena sound horeg tidak cukup dengan fatwa, tetapi memerlukan ditindaklanjut dari pemerintah dan kepolisian,” kata Kiai Miftah. Jika sudah masuk ranah perusakan lingkungan dan mengganggu ketertiban, maka itu adalah tugas pihak keamanan seperti polisi dan Satpol PP.

Para ahli juga menyuarakan perlunya regulasi. Sosiolog I Wayan Suyadnya menyarankan pemerintah daerah membuat regulasi terkait sound horeg, misalnya soal batasan desibel. Antropolog Puji Karyanto menambahkan, seni itu sejatinya harmoni, dan jika terlalu keras akan menjadi noise pollution. Bahkan paguyuban sound system di Malang mendukung adanya regulasi yang adil, bukan pelarangan total, mengingat kontribusi sound horeg terhadap ekonomi lokal.

Menjaga Kesenian Lokal Tanpa Mengorbankan Ketentraman

Polemik fatwa haram sound horeg ini menunjukkan dilema besar antara mempertahankan kesenian lokal sebagai bagian dari ekspresi budaya rakyat dan menjaga ketentraman serta nilai-nilai moral masyarakat. Sound horeg memang telah menjadi bagian tak terpisahkan dari hiburan di beberapa daerah, namun dampaknya yang negatif tidak bisa diabaikan.

Pemerintah daerah diharapkan tidak absen dalam menata ruang publik. Dengan adanya aturan yang jelas dan penegakan hukum yang tegas, sound horeg bisa tetap dinikmati sebagai hiburan tanpa merusak fasilitas umum, mengganggu ketentraman warga, dan melanggar norma sosial-agama.

Kesimpulan

Fenomena sound horeg adalah contoh nyata bagaimana sebuah ekspresi budaya dapat berbenturan dengan kepentingan umum dan nilai-nilai agama. Fatwa haram yang dikeluarkan pesantren di Pasuruan adalah cerminan keresahan masyarakat yang sudah memuncak. Namun, solusi tidak hanya berhenti pada fatwa. Perlu ada dialog yang konstruktif antara ulama, masyarakat, pelaku usaha, dan pemerintah untuk menemukan titik temu.

Mencari keseimbangan antara kebebasan berekspresi, perlindungan lingkungan, dan penegakan moral adalah kunci. Dengan regulasi yang adil dan penegakan yang konsisten, diharapkan kesenian lokal seperti sound horeg dapat terus berkembang namun tetap dalam koridor yang menghargai ketentraman dan nilai-nilai luhur masyarakat. Mari bersama mencari jalan terbaik demi harmoni dan ketertiban bersama.

FAQ

Tentu, ini dia bagian FAQ dengan gaya redaksi media online populer, fokus pada pertanyaan yang relevan dan SEO-friendly:

Tanya: Apa itu sound horeg dan mengapa jadi kontroversi?
Jawab: Sound horeg adalah sajian musik dangdut atau pop dengan suara bas sangat keras dari puluhan sound system besar, sering digelar di acara pedesaan. Kontroversinya muncul karena suara menggelegar yang dianggap mengganggu ketertiban dan menimbulkan keresahan.

Tanya: Kenapa sound horeg bisa dianggap haram oleh ulama?
Jawab: Fatwa haram sound horeg dikeluarkan karena dianggap menimbulkan mudharat (kerusakan) seperti gangguan ketertiban umum, potensi kemaksiatan, dan mengabaikan nilai-nilai kesopanan dalam pertunjukannya.

Tanya: Apa saja dampak negatif dari fenomena musik sound horeg?
Jawab: Dampak negatif sound horeg meliputi keluhan warga akibat kebisingan berlebihan, gangguan istirahat, serta potensi pelanggaran ketertiban dan norma kesusilaan.

Tanya: Bagaimana solusi untuk polemik kesenian sound horeg di masyarakat?
Jawab: Solusi yang diharapkan adalah penyesuaian volume dan jadwal pertunjukan agar tidak mengganggu, serta dialog antara penyelenggara, masyarakat, dan pihak berwenang untuk mencari titik temu.