Belakangan ini, perhatian publik tertuju pada persidangan kasus dugaan perundungan dan pemerasan di Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesi Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro (Undip). Kasus ini menjadi sorotan tajam, terutama setelah terungkapnya berbagai praktik tak lazim yang dialami para dokter junior, termasuk almarhumah dr. Aulia Risma Lestari.
Jika Anda penasaran bagaimana praktik ini bisa terjadi di lingkungan pendidikan bergengsi, artikel ini akan merangkum poin-poin penting dari persidangan. Kita akan mengupas tuntas sorotan hakim, fakta mengejutkan soal pungutan liar, hingga budaya senioritas yang menjerat para calon dokter spesialis. Mari kita pahami bersama agar kejadian serupa tak terulang.
Sidang Panas Kasus PPDS Undip: Hakim Cecar Saksi Soal “Tugas Senior Dikerjakan Junior”
Pada sidang lanjutan di Pengadilan Negeri (PN) Semarang, Rabu, 25 Juni 2025, suasana sempat memanas. Hakim anggota, Rightmen Situmorang, mencecar para saksi dari PPDS Undip angkatan 77, yaitu Bayu, Kalika, Danang, Nur Akbar, dan Rezki. Para saksi ini adalah rekan seangkatan almarhumah dr. Aulia Risma.
Hakim Rightmen menyoroti pengakuan para saksi yang menyebut bahwa tugas-tugas milik senior kerap kali dikerjakan oleh junior. Ini termasuk urusan logistik, penyusunan materi ilmiah, hingga pemenuhan kebutuhan makan senior yang disebut makan ‘prolong’.
“Tugas senior kalian disuruh ngerjain benar nggak kayak gini? Perundungan nggak itu?” tanya Rightmen dengan nada tegas.
Salah satu saksi, Bayu, menjawab “tergantung,” yang langsung disambut reaksi keras dari hakim.
“Bayangkan saja sampai angkatan 77 kegiatan kayak gitu dikerjakan. Kenapa, karena kalian nggak mau melaporkan, karena kalian nggak mau komplain. Kalau angkatan 60 sudah komplain, nggak perlu sampai ada yang mati, diterusin nggak?” tegas hakim, merujuk pada kasus tragis meninggalnya dr. Aulia Risma.
Hakim juga menyatakan keheranannya atas praktik ini.
“Saya baru kali ini lihat sekolah seperti ini. Uang makan senior sehari sampai Rp 5 juta, yang nangani junior. Tugas-tugas senior dikerjakan juga sama junior. Lucu itu, dan itu terjadi di PPDS Anestesi Fakultas Kedokteran Undip, mau jadi apa? Kan itu pertanyaannya,” ujarnya, geram.
Fakta Mengejutkan di Balik Kasus PPDS Undip: Pungutan Rp 20 Juta dan Joki Tugas Senior
Dalam persidangan, terungkap berbagai praktik mencengangkan yang selama ini terjadi di lingkungan PPDS Anestesi Undip.
Iuran dan Pungutan Liar yang Memberatkan Junior
Para dokter junior wajib menyetor sejumlah uang yang tak sedikit untuk berbagai keperluan senior:
- Iuran Kas Angkatan: Setiap residen angkatan 77 diminta menyetor Rp 20 juta per orang untuk kas angkatan. Dana ini digunakan untuk membiayai kebutuhan senior, seperti sewa kontrakan, konsumsi sehari-hari, hingga rekreasi dan olahraga. Almarhumah dr. Aulia Risma Lestari, yang menjabat bendahara angkatan 77, diketahui mengumpulkan uang hingga Rp 864 juta.
- Pungutan Biaya Operasional Pendidikan (BOP) Tidak Resmi: Selain iuran kas angkatan, ada juga pungutan tak resmi sebesar Rp 80 juta per mahasiswa yang tidak tercantum dalam aturan resmi Undip. Pungutan ini dilakukan oleh terdakwa Taufik Eko Nugroho (Kaprodi Anestesi Undip) dan Sri Maryani (Staf Administrasi Prodi Anestesi Undip). Total dana yang disetor ke rekening pribadi Sri Maryani dari angkatan 2018-2023 mencapai Rp 2,4 miliar.
Praktik Joki untuk Tugas Ilmiah Senior
Yang tak kalah mengejutkan adalah adanya praktik penggunaan joki untuk mengerjakan tugas-tugas ilmiah senior:
- Jumlah dan Biaya Joki: Saksi dr. Khalika Firdaus mengungkapkan ada lebih dari 10 joki yang jasanya digunakan. Para joki ini dibayar dari uang kas junior angkatan 77. Biaya yang harus dibayarkan bervariasi, tergantung jenis tugas dan kecepatan pengerjaan; semakin cepat, semakin mahal.
- Jenis Tugas: Joki-joki ini mengerjakan tugas ilmiah senior, termasuk pembuatan jurnal. Saksi dr. Herdaru bahkan menyebut ada istilah ‘helper’ dan ‘mafia’ (mahasiswa S1) yang direkrut dan digaji dari uang kas junior untuk keperluan ini.
- Keterlibatan Senior: Terdakwa Zara Yupita Azra, seorang senior PPDS, disebut-sebut memberikan arahan kepada junior untuk membayar jasa joki. Terungkap juga adanya transaksi pembayaran joki tugas senior senilai Rp 77,2 juta dan Rp 20,8 juta.
Budaya Senioritas dan “Pasal Anestesi” yang Menjerat Junior
Selain beban finansial, para junior juga menghadapi tekanan berat akibat budaya senioritas yang diterapkan secara tidak resmi. Terdakwa Zara Yupita Azra, sebagai senior, bahkan disebut-sebut memberikan doktrin atau “Pasal Anestesi” kepada juniornya melalui aplikasi Zoom.
Beberapa poin dari doktrin “Pasal Anestesi” tersebut antara lain:
- Senior tidak pernah salah.
- Bila senior salah, kembali ke pasal 1.
- Junior hanya bisa menjawab ‘ya’ dan ‘siap’.
- Yang enak hanya untuk senior.
- Bila junior dikasih enak, tanya kenapa.
- Jangan pernah mengeluh karena semua pernah mengalami.
- Jika masih mengeluh, siapa suruh masuk anestesi.
Selain itu, ada juga tata krama aneh yang wajib ditaati junior, seperti selalu mengucapkan izin jika bicara dengan senior, serta batasan komunikasi antar semester. Jaksa Penuntut Umum (JPU) menilai sistem senioritas dan indoktrinasi ini sebagai bentuk intimidasi terselubung yang dapat berdampak pada akademik para dokter junior.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin juga sempat menyoroti permasalahan perundungan di PPDS ini. Ia membandingkan sistem di Indonesia yang menganggap mahasiswa PPDS sebagai murid, bukan pekerja kontrak seperti di negara lain. Ini menyebabkan jam kerja tidak diatur dan pengajaran diserahkan kepada senior yang sibuk berpraktik, sehingga pengawasan terhadap praktik perundungan menjadi minim.
Terdakwa dan Dakwaan dalam Kasus PPDS Undip
Kasus ini menyeret tiga terdakwa utama yang kini sedang menjalani persidangan:
-
Taufik Eko Nugroho (Kaprodi Anestesi Undip) dan Sri Maryani (Staf Administrasi Prodi Anestesi Undip):
- Perbuatan: Didakwa melakukan pungutan liar Biaya Operasional Pendidikan (BOP) sebesar Rp 80 juta per mahasiswa tanpa legalitas resmi.
- Dakwaan: Melanggar Pasal 368 ayat (1) KUHP tentang Pemerasan dan Pasal 378 KUHP tentang Penipuan.
-
Zara Yupita Azra (Senior PPDS, ‘kakak pembimbing’ angkatan Aulia):
- Perbuatan: Didakwa melakukan pemaksaan dan pemerasan terhadap juniornya, termasuk almarhumah dr. Aulia Risma Lestari.
- Dakwaan: Melanggar Pasal 368 ayat (1) KUHP tentang Pemerasan dan Pasal 335 ayat (1) KUHP tentang Pemaksaan dengan Kekerasan.
Kasus ini mencuat setelah kematian tragis dr. Aulia Risma Lestari pada tahun 2024, yang diduga bunuh diri akibat tekanan dan perundungan yang dialaminya di lingkungan PPDS Anestesi Undip.
Kesimpulan
Persidangan kasus PPDS Anestesi Undip telah membuka mata publik terhadap praktik-praktik perundungan, pemerasan, pungutan liar, dan budaya senioritas yang meresahkan di lingkungan pendidikan dokter spesialis. Sorotan tajam dari hakim terhadap praktik “tugas senior dikerjakan junior” menunjukkan bahwa budaya ini tidak hanya tidak etis, tetapi juga bisa berujung pada konsekuensi fatal.
Penting bagi para saksi untuk berani berbicara jujur demi mengungkap kebenaran dan memperbaiki sistem yang cacat ini. Semoga kasus ini menjadi momentum penting untuk menciptakan lingkungan pendidikan yang sehat, adil, dan aman bagi seluruh calon dokter spesialis di Indonesia, sehingga tidak ada lagi korban di masa mendatang.
FAQ
Berikut adalah bagian FAQ yang relevan dan optimal untuk muncul di Google Snippet (’People Also Ask’):
Tanya: Apa saja praktik aneh yang terungkap di sidang kasus PPDS Undip?
Jawab: Hakim menyoroti adanya tugas senior yang dikerjakan oleh junior, serta praktik pungutan liar. Hal ini termasuk pemenuhan kebutuhan logistik dan materi ilmiah untuk senior.
Tanya: Mengapa tugas senior dikerjakan oleh junior di PPDS Undip?
Jawab: Praktik ini diduga terkait dengan budaya senioritas yang kuat di lingkungan PPDS. Junior merasa berkewajiban mengerjakan tugas senior, bahkan yang bersifat pribadi.
Tanya: Apa itu “makan prolong” yang disebut dalam kasus PPDS Undip?
Jawab: “Makan prolong” merujuk pada pemenuhan kebutuhan makan para senior oleh para junior. Ini merupakan salah satu bentuk tugas yang dibebankan kepada dokter junior.
Tanya: Apa dampak praktik ini bagi dokter junior di PPDS Undip?
Jawab: Praktik ini dapat menimbulkan beban kerja berlebih dan stres bagi dokter junior. Selain itu, adanya pungutan liar juga memberatkan secara finansial.