Isu konflik di Jalur Gaza tak henti-hentinya menjadi sorotan dunia, apalagi setelah muncul tuduhan serius yang melibatkan perusahaan teknologi raksasa, Google. Ya, Anda tidak salah baca. Google dan perusahaan induknya, Alphabet, dituduh ikut membantu militer Israel dalam operasi di Gaza yang digambarkan sebagai “genosida”. Tuduhan ini tentu saja memicu beragam reaksi, termasuk bantahan keras dari salah satu pendiri Google sendiri.
Ilustrasi: Logo Google dengan latar belakang peta Gaza yang berlumuran darah. **Caption:** Artikel ini mengupas tuduhan keterlibatan
Lalu, bagaimana duduk perkara tuduhan ini? Apa respons dari pihak Google? Mari kita bedah lebih lanjut agar Anda bisa memahami gambaran lengkapnya.
Awal Mula Tuduhan: Laporan PBB “Ekonomi Genosida”
Semua bermula dari laporan yang dirilis oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Francesca Albanese, Pelapor Khusus PBB untuk situasi Hak Asasi Manusia di wilayah Palestina, adalah sosok di balik laporan mengejutkan ini. Dalam laporannya yang berjudul “From Economy of Occupation to Economy of Genocide”, Albanese menyelidiki bagaimana sektor korporasi diduga menopang proyek kolonial Israel, mulai dari aktivitas militer hingga ekonomi.
Inti dari laporan ini adalah tuduhan bahwa keterlibatan dunia usaha, termasuk perusahaan teknologi, bukan hanya sekadar dukungan logistik atau teknologi. Lebih dari itu, mereka disebut-sebut terlibat dalam pendanaan dan investasi yang justru memperkuat sistem “apartheid, penjajahan, hingga genosida” yang dituduhkan terhadap Israel di Gaza.
Peran Google dan Raksasa Teknologi Lain dalam Tuduhan Ini
Laporan PBB secara spesifik menyoroti peran Google (Alphabet). Menurut laporan tersebut, Google bersama raksasa teknologi lain seperti Amazon, Microsoft, IBM, dan Palantir, dituduh memasok teknologi pengawasan, pengumpulan data, serta kecerdasan buatan (AI) yang digunakan oleh militer dan lembaga keamanan Israel.
Salah satu poin penting dalam tuduhan ini adalah terkait Project Nimbus. Ini adalah kontrak infrastruktur cloud (komputasi awan) senilai US$1,2 miliar yang ditandatangani oleh Google dan Amazon untuk mendukung sistem militer dan pengawasan Israel. Bayangkan, teknologi canggih yang kita gunakan sehari-hari, konon, juga digunakan dalam konteks konflik bersenjata yang sangat sensitif ini.
Secara lebih rinci, peran perusahaan teknologi yang dituduhkan meliputi:
- Google (Alphabet) & Amazon: Kontrak Project Nimbus untuk infrastruktur cloud dan AI bagi militer Israel.
- IBM: Mengelola basis data biometrik warga Palestina melalui kerja sama dengan otoritas imigrasi Israel.
- Microsoft: Menyediakan sistem komputasi yang terintegrasi dengan militer dan kepolisian Israel.
- Palantir: Menyediakan teknologi intelijen dan pemetaan target untuk operasi militer Israel.
Laporan PBB menegaskan bahwa perusahaan-perusahaan ini tidak lagi sekadar terlibat dalam pendudukan, melainkan telah menjadi “bagian dari ekonomi genosida”.
Reaksi Keras dari Pendiri Google, Sergey Brin
Tuduhan serius dari PBB ini tentu saja tidak dibiarkan begitu saja oleh pihak Google. Sergey Brin, salah satu pendiri Google yang juga seorang Yahudi, angkat bicara dan mengecam keras tuduhan tersebut.
Dalam forum internal Google DeepMind, Brin menyatakan ketidaksetujuannya dengan menyebut PBB “secara transparan anti-Semit” karena menggunakan istilah genosida dalam kaitannya dengan Gaza. Ia berargumen bahwa:
“Dengan segala hormat, menggunakan istilah genosida dalam kaitannya dengan Gaza sangat menyinggung banyak orang Yahudi yang telah mengalami genosida yang sebenarnya.”
Respons ini menunjukkan betapa sensitifnya penggunaan istilah “genosida” bagi komunitas Yahudi, mengingat sejarah kelam Holocaust.
Israel Membantah Tuduhan Genosida: Ini Argumennya
Di sisi lain, Israel sendiri telah berulang kali membantah tuduhan genosida yang dialamatkan kepadanya. Tuduhan ini datang tidak hanya dari PBB, tetapi juga dari organisasi seperti Human Rights Watch dan Dokter Lintas Batas (MSF), serta gugatan di Mahkamah Internasional (ICJ) yang diajukan oleh Afrika Selatan.
Pemerintah Israel mengecam tuduhan tersebut sebagai “kebohongan” atau “fitnah berdarah”. Mereka menegaskan bahwa operasi militer yang dilakukan di Gaza adalah tindakan pembelaan diri untuk memerangi kelompok Hamas, bukan untuk melakukan genosida terhadap warga sipil Palestina. Israel juga mengklaim telah memfasilitasi aliran air dan bantuan kemanusiaan ke Gaza, meskipun terus-menerus diserang.
Apa Implikasi Tuduhan Ini? Tekanan Internasional dan Akuntabilitas Korporasi
Tuduhan keterlibatan perusahaan besar dalam konflik semacam ini tentu memiliki implikasi yang luas. Laporan PBB menekankan pentingnya akuntabilitas sektor swasta dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia berat. Francesca Albanese bahkan menyerukan kepada negara-negara di seluruh dunia untuk:
- Memutus semua hubungan perdagangan dan keuangan dengan Israel.
- Menerapkan embargo senjata penuh.
- Menarik dukungan internasional atas “ekonomi genosida”.
Ini dapat memicu peningkatan tekanan internasional, termasuk potensi boikot konsumen dan desakan divestasi dari para investor yang menjunjung tinggi etika. Di era digital saat ini, di mana informasi menyebar begitu cepat, peran dan tanggung jawab perusahaan teknologi menjadi semakin krusial dan tak bisa diabaikan begitu saja.
Kesimpulan
Kasus Google dituduh bantu genosida Israel di Gaza ini adalah contoh kompleksitas hubungan antara teknologi, korporasi, dan konflik geopolitik. Tuduhan serius dari PBB dan bantahan keras dari pihak Google dan Israel menunjukkan betapa rumitnya mencari kebenaran dan keadilan di tengah situasi yang sarat emosi dan kepentingan.
Peran perusahaan teknologi dalam menyediakan infrastruktur dan layanan, meskipun netral pada dasarnya, bisa menjadi sangat berpengaruh ketika digunakan dalam konteks konflik. Perkembangan kasus ini akan terus menarik perhatian dunia, dan bagaimana respons dari pihak-pihak terkait akan membentuk narasi ke depannya. Mari kita terus ikuti perkembangan informasi ini dengan kritis dan bijak.