Penugasan Gibran ke Papua dan Analisis Ray Rangkuti: Isyarat Renggangnya Hubungan Jokowi-Prabowo?

Dipublikasikan 11 Juli 2025 oleh admin
Sosial Politik

Dunia politik Indonesia belakangan ini diwarnai perbincangan hangat seputar wacana penugasan Gibran Rakabuming Raka ke Papua. Apa yang awalnya terlihat seperti tugas kenegaraan biasa, kini justru memicu berbagai spekulasi dan analisis mendalam dari para pengamat politik. Salah satu suara yang paling menyoroti adalah Ray Rangkuti, yang melihat penugasan ini sebagai isyarat hubungan politik yang signifikan.

Penugasan Gibran ke Papua dan Analisis Ray Rangkuti: Isyarat Renggangnya Hubungan Jokowi-Prabowo?

Ilustrasi untuk artikel tentang Penugasan Gibran ke Papua dan Analisis Ray Rangkuti: Isyarat Renggangnya Hubungan Jokowi-Prabowo?

Mengapa rencana ini begitu menarik perhatian? Apa sebenarnya yang tersirat di balik potensi Gibran berkantor di Tanah Papua? Artikel ini akan mengupas tuntas pandangan para ahli dan potensi implikasi politik dari langkah ini. Mari kita selami bersama.

Wacana Penugasan Gibran: Bukan Sekadar Tugas Biasa

Kabar mengenai penugasan Gibran ke Papua pertama kali mencuat dari Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra. Beliau sempat menyebutkan bahwa Wakil Presiden akan memiliki kantor khusus di Papua untuk mengurus pembangunan dan permasalahan HAM.

Namun, Yusril kemudian mengklarifikasi bahwa yang akan berkantor di Papua adalah Sekretariat Badan Percepatan Pembangunan Otonomi Khusus (Otsus) Papua. Badan ini, yang diketuai oleh Wakil Presiden, dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021. Jadi, jika Gibran sebagai Ketua Badan khusus itu berada di Papua, ia tentu dapat berkantor di sekretariat tersebut. Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian pun membenarkan rencana penyiapan gedung kantor di Jayapura.

Menanggapi wacana ini, Gibran sendiri menyatakan kesiapannya. Ia menyebut bahwa berkantor di Papua bukanlah hal baru bagi seorang Wakil Presiden, merujuk pada Wapres sebelumnya, KH Ma’ruf Amin, yang juga pernah melakukan hal serupa. “Kami sebagai pembantu Presiden siap ditugaskan di mana pun, kapan pun,” ujarnya.

Ray Rangkuti: Isyarat Hubungan Jokowi-Prabowo Makin Tak Seiring

Di tengah wacana tersebut, pengamat politik Ray Rangkuti memberikan pandangan yang tajam. Menurutnya, rencana penugasan Gibran Rakabuming Raka mengurusi Papua ini adalah isyarat hubungan politik antara Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Prabowo Subianto yang “makin tidak seiring” atau kian renggang.

Ray Rangkuti menilai bahwa penempatan Gibran di Papua bisa jadi merupakan strategi cerdas dari Presiden Prabowo. Tujuannya? Untuk “mengkotakkan Gibran secara politik”. Dengan berada di Papua, popularitas Gibran di panggung politik nasional yang episentrumnya di Jakarta, dapat terhambat.

“Memberi isyarat hubungan politik keluarga Jokowi dengan Prabowo makin tidak seiring,” ungkap Ray Rangkuti.

Ray juga menyoroti perbandingan dengan posisi Ketua Dewan Kawasan Aglomerasi Nasional yang sebelumnya diatur dalam UU Nomor 151 Tahun 2024 tentang Provinsi Daerah Khusus Jakarta (UU DKJ). Jika Gibran tidak mengelola daerah aglomerasi (Jabodetabek plus Cianjur), maka ini bisa menjadi tanda bahwa keluarga Jokowi makin diasingkan dari lingkaran politik elite Jakarta. Ironisnya, dalam skenario ini, hubungan antara Megawati Soekarnoputri dan Prabowo justru bisa semakin dekat.

Balas Dendam Politik atau Murni Strategi Pemerintahan?

Pandangan serupa juga diungkapkan oleh analis politik dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Zaki Mubarak. Ia menduga penugasan Gibran ke Papua sebagai bentuk “pembuangan politik”. Zaki berpendapat, ini bisa jadi merupakan siasat untuk menjauhkan Gibran dari pusat kekuasaan dan aktivitas politik yang berpusat di Jakarta.

Lebih jauh, Zaki bahkan menduga bahwa langkah ini bisa menjadi bentuk “balas dendam politik” Prabowo kepada Jokowi. Sebelumnya, Jokowi disebut telah menyiasati posisi Gibran agar tidak sekadar menjadi “ban serep” Prabowo melalui UU DKJ, yang menempatkan Wakil Presiden sebagai Ketua Dewan Kawasan Aglomerasi. Hal ini disebut membuat marah para loyalis Prabowo karena dianggap menjauhkan Prabowo dari pusat kekuasaan (Jakarta, sementara Prabowo di IKN).

Baik Ray Rangkuti maupun Zaki Mubarak sama-sama menggarisbawahi bahwa Gibran belum memiliki “jam terbang” yang cukup untuk mengurusi persoalan kompleks di Papua, termasuk isu pembangunan dan HAM. Mereka berpendapat, jika pemerintah serius ingin menyelesaikan masalah Papua, justru Presiden Prabowo yang seharusnya lebih sering berkunjung ke sana.

Implikasi Jangka Panjang Penugasan Gibran di Kancah Politik Nasional

Wacana penugasan Gibran ke Papua ini bukan hanya sekadar soal tugas baru, melainkan sebuah manuver politik yang berpotensi memiliki implikasi politik jangka panjang. Jika analisis para pengamat ini benar, langkah ini bisa menandai pergeseran signifikan dalam hubungan Jokowi-Prabowo, yang selama ini menjadi poros penting dalam dinamika politik Indonesia.

Bagi Gibran sendiri, penugasan ini menghadirkan tantangan besar. Ia harus menghadapi kompleksitas masalah Papua, mulai dari pembangunan hingga isu HAM, sambil membuktikan kapasitas kepemimpinannya di tengah potensi penurunan popularitas karena jauh dari sorotan ibu kota. Di sisi lain, ini juga bisa menjadi kesempatan baginya untuk menunjukkan dedikasi dan kemampuan dalam menangani isu-isu daerah terpencil.

Semua mata kini tertuju pada bagaimana dinamika ini akan berkembang. Apakah penugasan Gibran ke Papua akan menjadi awal dari babak baru dalam hubungan politik antara Presiden dan Wakil Presiden, ataukah hanya bagian dari strategi besar yang belum sepenuhnya terungkap? Waktu yang akan menjawabnya.