Yogyakarta, zekriansyah.com – Belakangan ini, isu pemakzulan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka semakin santer terdengar dan menjadi perbincangan hangat di tengah masyarakat. Berbagai pihak, termasuk kelompok purnawirawan TNI, menyuarakan desakan agar Gibran diberhentikan dari jabatannya. Tentu saja, hal ini memunculkan banyak pertanyaan: apakah pemakzulan itu benar-benar mungkin terjadi? Jika iya, siapa sosok yang berpeluang besar menggantikan posisi Gibran sebagai orang nomor dua di Indonesia?
Ilustrasi: Spekulasi pengganti Gibran sebagai Wapres mengemuka di tengah isu pemakzulan.
Artikel ini akan mengupas tuntas mekanisme pemakzulan yang diatur dalam konstitusi kita, serta siapa saja nama-nama yang disebut-sebut sebagai calon kuat pengganti Gibran. Dengan membaca artikel ini, Anda akan mendapatkan gambaran yang lebih jelas dan komprehensif tentang dinamika politik yang sedang berlangsung.
Ramai Desakan Pemakzulan Gibran: Apa Pemicunya?
Polemik seputar posisi Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka kian memanas setelah sejumlah jenderal purnawirawan TNI secara terbuka mengajukan desakan pemakzulan. Surat bertanggal 26 Mei 2025 tersebut disampaikan ke tiga lembaga tinggi negara: DPR, MPR, dan DPD. Tokoh-tokoh militer senior yang menandatangani surat itu antara lain Jenderal TNI (Purn) Fachrul Razi, Marsekal TNI (Purn) Hanafie Asnan, Jenderal TNI (Purn) Tyasno Soedarto, dan Laksamana TNI (Purn) Slamet Soebijanto.
Alasan utama desakan ini adalah dugaan bahwa proses pencalonan Gibran cacat hukum. Mereka menyoroti Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang meloloskan Gibran sebagai calon wakil presiden. Putusan ini dianggap melanggar prinsip imparsialitas karena diputus oleh Anwar Usman, yang saat itu menjabat Ketua MK dan merupakan paman dari Gibran.
Selain itu, para purnawirawan juga mempertanyakan kelayakan dan kapasitas Gibran. Mereka menilai pengalaman Gibran sebagai mantan Wali Kota Solo sangat minim untuk menjabat di level nasional.
“Dengan pengalaman yang terbatas dan latar belakang pendidikan yang diragukan, sangat naif bagi negara ini memiliki Wakil Presiden yang tidak patut dan tidak pantas,” tegas mereka dalam surat tersebut.
Bisakah Wakil Presiden Dimakzulkan? Begini Aturan Mainnya
Konstitusi Indonesia, tepatnya Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945), membuka ruang untuk pemakzulan pemimpin negara, baik presiden maupun wakil presiden, atau bahkan keduanya secara terpisah.
Menurut Pasal 7A UUD NRI 1945, pemakzulan bisa terjadi apabila presiden dan/atau wakil presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum serius, seperti:
- Pengkhianatan terhadap negara
- Korupsi
- Penyuapan
- Tindak pidana berat lainnya
- Perbuatan tercela
- Tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil presiden.
Frasa “perbuatan tercela” dan “tidak lagi memenuhi syarat” ini memang bisa ditafsirkan secara luas, tergantung dinamika politik yang terjadi.
Lalu, bagaimana mekanismenya? Pasal 7B UUD NRI 1945 mengatur proses yang ketat:
- Usulan dari DPR: Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengusulkan pemberhentian kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Usulan ini harus didukung oleh minimal 2/3 dari jumlah anggota DPR yang hadir dalam sidang paripurna, dan sidang itu sendiri harus dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 dari total anggota DPR.
- Proses Hukum di MK: Sebelum usulan DPR diteruskan ke MPR, Mahkamah Konstitusi (MK) wajib memeriksa, mengadili, dan memutus dugaan pelanggaran hukum yang dilakukan presiden dan/atau wakil presiden.
- Keputusan di MPR: Jika MK memutuskan bahwa ada pelanggaran, barulah MPR bisa mengadakan rapat paripurna untuk mengambil keputusan akhir. Rapat ini harus dihadiri minimal 3/4 dari jumlah anggota MPR dan disetujui oleh minimal 2/3 dari jumlah anggota yang hadir.
Mekanisme ini menunjukkan adanya keseimbangan antara peran lembaga legislatif (DPR), lembaga yudikatif (MK), dan keputusan akhir di MPR sebagai representasi kedaulatan rakyat.
Jalan Terjal Pemakzulan Wapres: Bukan Sekadar Aturan Hukum
Meskipun konstitusi menyediakan celah untuk pemakzulan wakil presiden, proses pelengseran Gibran tidak akan semudah membalik telapak tangan. Mengapa demikian?
Pakar hukum tata negara, Mahfud MD, menjelaskan bahwa proses ini sangat bergantung pada hitung-hitungan politik. Saat ini, mayoritas kursi di parlemen (sekitar 81%) dikuasai oleh partai-partai pendukung pemerintahan Prabowo-Gibran. Hanya sekitar 19% kursi yang dikuasai Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) sebagai partai di luar koalisi.
Secara hitung-hitungan, dari total 580 anggota DPR, sidang paripurna bisa sah jika dihadiri minimal 387 anggota. Pengajuan pemakzulan harus disetujui oleh sekurang-kurangnya 258 anggota. Jika hanya satu partai oposisi seperti PDIP yang mengajukan, sangat mustahil mencapai angka tersebut. Artinya, dengan konfigurasi kekuasaan saat ini, dorongan pemakzulan dari parlemen nyaris mustahil terwujud.
Selain itu, jika pun usulan pemakzulan lolos di DPR, proses hukum di MK pun sangat kompleks. Pembuktian pelanggaran hukum akan menjadi perdebatan rumit. Dan pada akhirnya, keputusan tetap ada di tangan MPR, yang juga didominasi oleh kekuatan politik pendukung pemerintah.
Perlu diingat, dalam sejarah Indonesia, pemakzulan presiden pernah terjadi dua kali (terhadap Sukarno dan Abdurrahman Wahid/Gus Dur), namun pemakzulan wakil presiden belum pernah terjadi. Ini menunjukkan bahwa meskipun dimungkinkan secara konstitusional, secara aktual dalam peta politik saat ini, pemakzulan Gibran akan menghadapi tantangan yang sangat besar.
Bursa Nama Calon Pengganti Gibran Jika Dimakzulkan
Jika skenario pemakzulan Gibran benar-benar terjadi, siapa sosok yang berpotensi menggantikannya? Mahfud MD menjelaskan bahwa jika Wakil Presiden berhalangan tetap atau dimakzulkan, maka MPR akan memilih wakil presiden dari dua calon yang diajukan oleh Presiden.
“Secara formal, kalau pemakzulan ini terjadi, secara politik memungkinkan, itu secara konstitusi sudah diatur, jika (Wakil) Presiden berhalangan tetap, atau dimakzulkan, maka MPR memilih wakil presiden dari dua calon yang diajukan oleh presiden,” kata Mahfud dikutip dari kanal YouTube miliknya pada Rabu (11/6/2025).
Mahfud menambahkan bahwa Presiden Prabowo Subianto memiliki kebebasan untuk memilih dua kandidat tersebut, namun tentu saja akan ada “hitung-hitungan politik” dan kompromi dalam penentuannya.
Mahfud MD menyebutkan empat nama yang berpeluang besar masuk bursa calon pengganti Gibran:
-
Agus Harimurti Yudhoyono (AHY)
- Posisi Saat Ini: Menteri Koordinator Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan, sekaligus Ketua Umum Partai Demokrat.
- Alasan: AHY merupakan bagian dari Koalisi Indonesia Maju (KIM) yang mengusung Prabowo-Gibran. Mahfud menilai AHY memiliki rekam jejak yang mumpuni dalam pemerintahan, meskipun pengalaman politiknya dianggap belum menjadi tokoh sentral. Direktur Rumah Politik Indonesia (RPI) Fernando Emas juga melihat AHY berpeluang besar karena dinilai mendapatkan pujian dari Presiden Prabowo dan memiliki hubungan dekat antara Prabowo dengan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), ayah AHY.
-
Puan Maharani
- Posisi Saat Ini: Ketua DPR sekaligus Ketua DPP PDIP.
- Alasan: Mahfud MD menilai Puan bisa menjadi pilihan Prabowo jika ingin membangun keseimbangan politik dari luar koalisi pemerintahan, mengingat PDIP adalah pemenang Pemilu 2024. Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun bahkan menganggap Puan adalah sosok yang paling memenuhi kriteria Prabowo sebagai Wapres, karena dinilai “bisa dikendalikan” dan memiliki gerbong politik yang diperhitungkan.
-
Ganjar Pranowo
- Posisi Saat Ini: Mantan Gubernur Jawa Tengah dan pasangan Mahfud MD di Pilpres 2024.
- Alasan: Sama seperti Puan, Ganjar juga disebut Mahfud cocok dipilih Prabowo untuk menjaga kestabilan dan keseimbangan politik dengan merangkul kekuatan dari PDIP.
-
Anies Baswedan
- Posisi Saat Ini: Mantan Gubernur DKI Jakarta, rival Prabowo di Pilpres 2024.
- Alasan: Mahfud MD menyebut nama Anies sebagai potensi rekonsiliasi politik. Namun, Mahfud juga menilai peluang Anies untuk dipilih Prabowo sangat kecil karena Anies tidak menjadi kader partai politik manapun.
Fernando Emas dari RPI juga sempat menyinggung nama Anies Baswedan, meskipun ia lebih condong melihat AHY memiliki peluang lebih besar.
Kesimpulan
Wacana pemakzulan Gibran Rakabuming Raka memang menjadi perhatian serius di kancah politik nasional. Secara konstitusional, prosedur pemakzulan Wakil Presiden memang ada dan diatur dalam UUD 1945. Namun, realitas politik menunjukkan bahwa proses ini akan sangat sulit dan membutuhkan dukungan mayoritas yang kuat di DPR dan MPR.
Jika skenario pemakzulan ini benar-benar terjadi, Presiden Prabowo Subianto akan memegang peran kunci dalam mengajukan dua nama calon pengganti kepada MPR. Nama-nama seperti AHY, Puan Maharani, Ganjar Pranowo, dan Anies Baswedan disebut-sebut sebagai kandidat potensial, masing-masing dengan kelebihan dan pertimbangan politiknya sendiri. Mari kita ikuti terus perkembangan dinamika politik ini dengan kepala dingin dan pemahaman yang utuh.