Geopolitik Memanas: Mengapa Desakan Cina Hentikan Rencana Iran Tutup Selat Hormuz Sangat Krusial Bagi Dunia?

Dipublikasikan 23 Juni 2025 oleh admin
Tak Berkategori

Dalam lanskap geopolitik global yang kian bergejolak, sebuah desakan mendesak dari Amerika Serikat kepada Cina untuk hentikan rencana Iran tutup Selat Hormuz telah menjadi sorotan utama. Ancaman penutupan jalur laut vital ini, yang merupakan respons Iran terhadap serangan militer AS terhadap situs nuklirnya, bukan sekadar isu regional. Ini adalah sebuah dinamika kompleks yang berpotensi memicu gelombang kejut ekonomi dan keamanan global, menguji kekuatan diplomasi, dan menyoroti peran sentral Cina dalam stabilitas Timur Tengah. Artikel ini akan mengupas tuntas mengapa Selat Hormuz begitu penting, alasan di balik desakan AS kepada Cina, respons Beijing, serta implikasi luas dari krisis yang sedang berlangsung ini.

Selat Hormuz: Jantung Arteri Energi Global yang Terancam

Selat Hormuz adalah jalur air sempit yang memisahkan Teluk Persia dan Teluk Oman, menjadikannya satu-satunya pintu gerbang maritim dari produsen minyak utama di Teluk Persia ke lautan lepas. Lokasinya yang strategis, antara Iran dan Oman, menjadikannya salah satu titik sempit paling krusial di dunia bagi perdagangan energi. Angka-angka berbicara sendiri: sekitar 20 persen dari konsumsi minyak harian dunia, atau sekitar 20 juta barel minyak mentah per hari, didistribusikan melalui selat ini pada tahun 2024. Ini menjadikannya rute ekspor utama bagi raksasa minyak seperti Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Irak, dan Kuwait, serta Iran sendiri.

Ancaman penutupan Selat Hormuz bukanlah hal baru; Iran telah lama menggunakannya sebagai kartu truf dalam ketegangan regional. Namun, kali ini pemicunya sangat serius. Pada tanggal 22 Juni 2025, Amerika Serikat melancarkan serangan terhadap tiga lokasi nuklir utama Iran—Fordow, Natanz, dan Isfahan—menggunakan bom penghancur bunker dan rudal Tomahawk. Serangan ini diklaim sebagai respons terhadap serangkaian serangan Israel ke Iran sejak 13 Juni, yang telah menewaskan ratusan orang. Sebagai balasan, parlemen Iran dilaporkan menyetujui usulan untuk menutup Selat Hormuz bagi seluruh kegiatan pelayaran, meskipun keputusan final berada di tangan Dewan Keamanan Nasional Tertinggi Iran. Eskalasi ini menandai titik balik yang berbahaya dalam konflik Timur Tengah yang sedang berlangsung, meningkatkan kekhawatiran global akan dampak yang tak terhitung.

Mengapa AS Mendesak Cina? Peran Kunci Beijing dalam Krisis Hormuz

Di tengah memanasnya situasi, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Marco Rubio, secara terbuka mendesak pemerintah Cina untuk menggunakan pengaruhnya dan hentikan rencana Iran tutup Selat Hormuz. Desakan ini bukan tanpa alasan kuat. Cina memegang posisi yang unik dan sangat signifikan dalam dinamika ini karena beberapa faktor kunci:

  • Pelanggan Minyak Terbesar Iran: Cina adalah pembeli minyak terpenting bagi Iran. Menurut data dari Kpler, sebagian besar dari 1,84 juta barel per hari ekspor minyak Iran bulan lalu menuju ke Cina. Ini menjadikan Cina sumber pendapatan utama bagi Teheran.
  • Ketergantungan Energi Cina: Sekitar separuh dari impor minyak mentah Cina yang melalui jalur laut berasal dari Teluk Persia. Ketergantungan masif ini berarti penutupan Selat Hormuz akan memberikan pukulan telak bagi ekonomi Cina, yang sangat bergantung pada pasokan energi yang stabil dan terjangkau.
  • Hubungan Diplomatik dan Ekonomi yang Kuat: Selain sebagai mitra dagang utama, Cina juga memelihara hubungan persahabatan dan diplomatik yang kuat dengan Iran. Posisi ini memberikan Beijing kapasitas untuk berkomunikasi dan mempengaruhi Teheran secara langsung, sesuatu yang tidak dimiliki Washington saat ini.
  • Ancaman “Bunuh Diri Ekonomi” bagi Iran: Rubio dengan tegas menyatakan bahwa menutup Selat Hormuz sama saja dengan “bunuh diri ekonomi” bagi Iran. Analis minyak utama di Kpler, Matt Smith, mendukung pandangan ini, menjelaskan bahwa tindakan tersebut akan menghentikan aliran ekspor minyak Iran ke Cina, mematikan salah satu sumber pendapatan utama mereka. Ini menunjukkan bahwa kepentingan ekonomi Iran sendiri sebenarnya selaras dengan menjaga selat tetap terbuka, dan Cina adalah pihak terbaik untuk mengingatkan mereka akan realitas ini.

Dengan demikian, desakan AS kepada Cina adalah langkah strategis yang mengakui pengaruh ekonomi dan politik Beijing di kawasan tersebut, serta kepentingan bersama dalam menjaga kelancaran pasokan energi global.

Respon dan Posisi Cina: Antara Kecaman dan Seruan De-eskalasi

Meskipun didesak oleh AS untuk campur tangan, posisi Cina dalam konflik ini jauh lebih kompleks daripada sekadar menjadi mediator. Beijing telah secara konsisten menyerukan de-eskalasi dan mengecam tindakan militer yang meningkatkan ketegangan.

Pemerintah Cina, melalui Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Guo Jiakun, telah “dengan keras” mengutuk serangan AS ke fasilitas nuklir Iran. Beijing menegaskan bahwa tindakan AS tersebut “melanggar tujuan dan prinsip Piagam PBB dan hukum internasional serta meningkatkan ketegangan di Timur Tengah.” Cina juga menyerukan kepada semua pihak dalam konflik, terutama Israel, untuk segera menghentikan serangan secepat mungkin.

Terkait ancaman penutupan Selat Hormuz, Cina juga menegaskan kepentingannya. Guo Jiakun menyatakan bahwa “Teluk Persia dan perairan di sekitarnya merupakan rute penting untuk perdagangan barang dan energi internasional. Menjaga keamanan dan kestabilan kawasan ini merupakan kepentingan bersama masyarakat internasional.” Ini menunjukkan bahwa Cina, sama seperti AS dan negara-negara lain, memiliki kepentingan vital dalam menjaga Selat Hormuz tetap terbuka.

Cina telah mengambil langkah-langkah diplomatik aktif untuk meredakan situasi. Menteri Luar Negeri Wang Yi telah berkomunikasi dengan Menteri Luar Negeri Iran Seyed Abbas Araghchi, menyatakan kesiapan Cina untuk meningkatkan komunikasi dan memainkan peran konstruktif dalam de-eskalasi. Selain itu, Cina, bersama Rusia dan Pakistan, mengusulkan rancangan resolusi kepada Dewan Keamanan PBB yang menyerukan gencatan senjata segera dan tanpa syarat, perlindungan warga sipil, penghormatan terhadap hukum internasional, dan keterlibatan dalam dialog dan negosiasi. Beijing juga telah berhasil mengevakuasi lebih dari 3.125 warga negaranya dari Iran dan lebih dari 500 dari Israel, menunjukkan keseriusan mereka dalam melindungi warganya di tengah konflik.

Singkatnya, Cina berada dalam posisi dilematis: mereka menentang agresi AS terhadap Iran, tetapi pada saat yang sama, mereka tidak ingin Iran melakukan tindakan yang merugikan kepentingan ekonomi global mereka sendiri. Oleh karena itu, respon Cina adalah seruan yang seimbang untuk de-eskalasi, dialog, dan penghormatan terhadap hukum internasional, sambil secara pragmatis melindungi kepentingan energinya melalui diplomasi dengan Iran.

Dilema Iran: Antara Pembalasan dan Konsekuensi Ekonomi

Ancaman penutupan Selat Hormuz oleh Iran adalah manifestasi dari kemarahan dan keinginan untuk membalas atas serangan yang mereka alami. Hossein Shariatmadari, perwakilan Pemimpin Tertinggi Iran Ali Khamenei, dilaporkan menyerukan pembalasan segera, termasuk menutup Selat Hormuz untuk kapal-kapal Amerika, Inggris, Jerman, dan Prancis. Parlemen Iran telah menyetujui usulan penutupan ini, namun Komandan Garda Revolusi Ismail Kowsari menyatakan bahwa keputusan akhir berada di tangan Dewan Keamanan Nasional Tertinggi Iran. Ini mengindikasikan bahwa ada proses pengambilan keputusan yang lebih tinggi dan mungkin lebih pragmatis di balik ancaman tersebut.

Meskipun retorika pembalasan sangat kuat, Iran juga harus mempertimbangkan konsekuensi yang sangat besar dari tindakan tersebut. Seperti yang ditekankan oleh Marco Rubio, menutup selat itu “sama saja dengan bunuh diri secara ekonomi” bagi Iran. Sebagai produsen minyak terbesar ketiga di OPEC, dengan produksi sekitar 3,3 juta barel per hari dan ekspor 1,84 juta barel per hari, Iran sangat bergantung pada pendapatan minyak ini. Menghentikan aliran ekspornya ke Cina, pasar terbesarnya, akan melumpuhkan ekonomi mereka sendiri.

Duta Besar Iran untuk Indonesia, Mohammad Boroujerdi, telah menyatakan bahwa Iran masih mampu menangani serangan Israel dan belum memerlukan bantuan militer dari negara lain, meskipun mereka menghargai dukungan politik dari negara-negara sahabat seperti Rusia dan Cina. Pernyataan ini menunjukkan keinginan Iran untuk menunjukkan kemandirian, namun juga menyiratkan kesadaran akan batas-batas eskalasi. Iran menilai Israel sebagai rezim pendudukan, bukan negara, dan berpendapat konflik bisa berakhir jika Israel berhenti menyerang. Ini menunjukkan bahwa Iran mungkin mencari solusi diplomatik, meskipun dengan syarat-syarat yang tegas, daripada tindakan yang merugikan diri sendiri. Dilema Iran adalah menyeimbangkan antara mempertahankan harga diri dan kedaulatan di hadapan agresi, dengan menghindari kehancuran ekonomi dan eskalasi militer yang tidak terkendali.

Dampak Global dan Regional dari Potensi Penutupan Selat Hormuz

Potensi penutupan Selat Hormuz membawa implikasi yang sangat serius dan meresahkan bagi ekonomi global dan stabilitas regional. Ini bukan hanya masalah bagi negara-negara yang berkonflik, tetapi juga bagi setiap negara yang bergantung pada pasokan energi global.

  • Lonjakan Harga Minyak: Dampak paling langsung dan signifikan adalah pada pasar minyak global. Konsultan energi Goldman Sachs memperkirakan bahwa harga minyak bisa melonjak di atas 100 dolar AS per barel jika jalur ini ditutup dalam waktu lama. Bahkan dengan ancaman saja, harga minyak mentah Brent telah menunjukkan kenaikan yang signifikan. CEO Shell juga telah memperingatkan bahwa pemblokiran Selat Hormuz dapat “memberikan guncangan yang substansial” pada aliran minyak dan gas global. Kenaikan harga minyak akan memicu inflasi di seluruh dunia, meningkatkan biaya transportasi dan produksi, serta berpotensi memicu resesi global.
  • Gangguan Rantai Pasok Global: Selain minyak, Selat Hormuz juga merupakan rute penting untuk perdagangan barang dan energi internasional lainnya. Gangguan di selat ini akan menyebabkan penundaan pengiriman, kenaikan biaya logistik, dan ketidakpastian dalam rantai pasok global, yang pada gilirannya akan memengaruhi harga barang konsumen dan produksi industri di seluruh dunia.
  • Eskalasi Konflik Lebih Lanjut: Penutupan Selat Hormuz oleh Iran kemungkinan besar akan dianggap sebagai tindakan perang oleh Amerika Serikat dan sekutunya, yang akan memicu respons militer yang lebih besar. Marco Rubio memperingatkan bahwa tindakan tersebut akan menjadi “eskalasi besar-besaran yang akan membutuhkan respons, tidak hanya dari kami, tetapi juga dari negara lain.” Ini berpotensi menyeret lebih banyak negara ke dalam konflik dan meningkatkan risiko “Perang Dunia Ketiga,” seperti yang disuarakan oleh anggota DPR RI Oleh Soleh.
  • Ketidakstabilan Regional: Kawasan Timur Tengah sudah sangat rapuh. Penutupan selat akan menambah bahan bakar pada api konflik yang sudah berkobar, memperburuk krisis kemanusiaan, dan menciptakan lebih banyak pengungsian. Hal ini juga dapat memicu ketidakstabilan politik di negara-negara tetangga yang sangat bergantung pada selat tersebut untuk ekspor mereka.

Singkatnya, ancaman penutupan Selat Hormuz adalah bom waktu ekonomi dan geopolitik yang dapat meledak dengan konsekuensi yang menghancurkan bagi seluruh dunia, jauh melampaui batas-batas Timur Tengah.

Suara Indonesia: Seruan Damai dan Perlindungan WNI

Di tengah pusaran konflik yang memanas, Indonesia mengambil posisi yang tegas namun konstruktif, menyerukan de-eskalasi dan penyelesaian damai. Pemerintah Indonesia, melalui Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan (Menko Polkam) Budi Gunawan, mendesak semua pihak untuk “menahan diri dan kembali ke jalur damai.” Beliau menekankan pentingnya “penyelesaian diplomatik guna mencegah eskalasi lebih luas yang dapat mengancam stabilitas kawasan dan keselamatan warga negara Indonesia (WNI) di luar negeri.”

Anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi PKB, Oleh Soleh, juga menyuarakan keprihatinan mendalam. Beliau mendesak Pemerintah RI untuk mengambil langkah aktif bersama negara-negara Islam lainnya, termasuk melalui Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), guna menginisiasi gencatan senjata dan dialog damai. Soleh menegaskan bahwa “Perang ini bukan hanya tragedi kemanusiaan di kawasan Timur Tengah, tetapi juga ancaman nyata terhadap perdamaian dan stabilitas global. Jika tidak segera dihentikan, situasi ini bisa menjadi pemicu Perang Dunia Ketiga.”

Prioritas utama Indonesia dalam situasi ini juga mencakup perlindungan dan evakuasi WNI. Pemerintah telah berhasil mengevakuasi sejumlah WNI dari Iran dan terus mengantisipasi kemungkinan buruk dari konflik yang meluas, menyiapkan evakuasi lanjutan apabila diperlukan. Ini menunjukkan komitmen Indonesia untuk melindungi warganya dari dampak langsung konflik.

Melalui seruan untuk kembali ke meja perundingan dan mendorong peran aktif di forum internasional, Indonesia menegaskan posisinya sebagai negara yang menjunjung tinggi perdamaian dan stabilitas global. Indonesia berkeyakinan bahwa dialog dan negosiasi adalah satu-satunya jalan keluar yang berkelanjutan dari krisis yang berpotensi menghancurkan ini.

Kesimpulan

Situasi di Selat Hormuz adalah cerminan kompleks dari ketegangan geopolitik modern, di mana kepentingan energi, keamanan, dan kedaulatan saling berjalin. Desakan Amerika Serikat kepada Cina untuk hentikan rencana Iran tutup Selat Hormuz menyoroti peran sentral Beijing sebagai kekuatan ekonomi dan diplomatik yang memiliki pengaruh signifikan terhadap Teheran. Sementara Cina mengutuk agresi dan menyerukan de-eskalasi, mereka juga harus menyeimbangkan kepentingan mereka sendiri dalam menjaga jalur energi global tetap terbuka.

Ancaman penutupan Selat Hormuz, meski mungkin menjadi kartu truf politik Iran, membawa risiko “bunuh diri ekonomi” bagi Teheran dan konsekuensi yang menghancurkan bagi ekonomi global, mulai dari lonjakan harga minyak hingga gangguan rantai pasok. Dalam skenario terburuk, ini dapat memicu eskalasi konflik yang lebih luas.

Di tengah ketidakpastian ini, suara-suara moderat dari komunitas internasional, termasuk Indonesia, menjadi sangat penting. Seruan untuk menahan diri, kembali ke meja perundingan, dan mencari solusi diplomatik adalah jalan satu-satunya untuk mencegah krisis ini melampaui batas yang tak terkendali. Masa depan stabilitas Timur Tengah dan ekonomi global sangat bergantung pada bagaimana para aktor kunci, termasuk Iran, AS, dan Cina, menavigasi situasi yang penuh risiko ini dengan bijaksana dan bertanggung jawab.