Pendahuluan
Perundingan untuk mengakhiri konflik di Jalur Gaza kembali menemui jalan buntu. Mediasi yang melibatkan Qatar, Mesir, dan Amerika Serikat menghadapi hambatan serius, terutama karena Israel berkeras untuk mempertahankan pasukannya di Gaza. Sementara itu, Hamas, kelompok yang menguasai wilayah tersebut, menuntut penarikan pasukan Israel secara penuh. Situasi ini tentu membuat harapan akan gencatan senjata yang langgeng semakin tipis, dan dampaknya langsung terasa pada warga sipil yang terjebak dalam krisis kemanusiaan berkepanjangan. Mari kita selami lebih dalam mengapa perundingan ini begitu alot dan apa saja poin-poin yang menjadi ganjalan utama.
**Perundingan gencatan senjata di Gaza terhenti akibat perbedaan krusial antara Israel yang bersikeras mempertahankan pasukannya di wilayah tersebut dan Hamas yang menolak.**
Mengapa Perundingan Gencatan Senjata Tersendat?
Perundingan tidak langsung antara Hamas dan Israel, yang berlangsung di Doha, Qatar, telah dimulai sejak awal Juli 2025. Tujuannya jelas: mencapai kesepakatan gencatan senjata sementara yang juga mencakup pembebasan sandera. Namun, ada satu isu krusial yang terus menjadi batu sandungan utama, yaitu status kehadiran pasukan Israel di Jalur Gaza. Inilah inti dari mengapa perundingan Hamas alot gegara Israel pasukannya tetap berada di sana.
Tuntutan Hamas: Penarikan Pasukan Penuh dan Gencatan Senjata Permanen
Bagi Hamas, penarikan pasukan Israel dari Gaza secara penuh adalah syarat mutlak. Mereka menginginkan agar tentara Israel kembali ke posisi sebelum gencatan senjata berakhir pada Maret lalu. Selain itu, Hamas juga menuntut jaminan dari Amerika Serikat bahwa operasi udara dan darat Israel tidak akan dilanjutkan, bahkan jika tanpa gencatan senjata permanen. Mereka juga meminta agar penyaluran bantuan kemanusiaan dikembalikan ke mekanisme lama di bawah kendali PBB dan lembaga internasional, bukan Yayasan Kemanusiaan Gaza (GHF) yang dikelola Israel dan AS.
Sikap Israel: “Reposisi” Bukan Penarikan Total
Di sisi lain, Israel punya pandangan berbeda. Mereka mengusulkan untuk mempertahankan pasukan militer di lebih dari 40 persen wilayah Palestina tersebut. Ini bukan penarikan, melainkan “reposisi” atau penempatan ulang pasukan. Peta yang disajikan delegasi Israel dalam perundingan menunjukkan bahwa mereka ingin tetap berada di area strategis seperti Koridor Philadelphi dan Koridor Netzarim. Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu sendiri menegaskan bahwa Israel tidak dapat menerima perubahan yang diinginkan Hamas pada proposal gencatan senjata, karena tujuan utama mereka adalah menghancurkan Hamas secara permanen.
Isu Sandera dan Tahanan: Titik Terang yang Masih Sulit
Meskipun ada perbedaan besar soal pasukan, ada sedikit titik terang terkait isu sandera. Hamas telah menyatakan kesediaannya untuk membebaskan 10 sandera Israel sebagai bagian dari kesepakatan gencatan senjata 60 hari. Bahkan, ada laporan yang menyebutkan Hamas menyepakati pembebasan 33 sandera pada tahap awal. Sebagai gantinya, Israel diharapkan membebaskan sejumlah tahanan Palestina di penjara mereka. Saat ini, diperkirakan ada sekitar 20 hingga 36 sandera Israel yang masih hidup di Gaza dari total 251 yang disandera sejak serangan 7 Oktober 2023. Namun, negosiasi mengenai detail pembebasan ini masih sangat sulit, terutama karena Israel juga menuntut agar beberapa tahanan Palestina yang dibebaskan harus keluar dari Gaza.
Peran Mediator dan Kondisi di Lapangan
Perundingan ini tidak hanya melibatkan Hamas dan Israel, tetapi juga peran kunci dari mediator internasional.
Upaya Qatar, Mesir, dan AS
Qatar, Mesir, dan Amerika Serikat terus bekerja keras sebagai mediator untuk menjembatani perbedaan antara kedua belah pihak. Utusan khusus Presiden AS, Steve Witkoff, bahkan telah tiba di Doha untuk mencoba memecah kebuntuan. Meskipun ada laporan optimisme dari beberapa pihak, seperti Presiden AS Donald Trump yang meyakini kesepakatan akan segera tercapai, Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken tetap berhati-hati, menyatakan bahwa perundingan masih di ambang kehancuran.
Situasi Kemanusiaan di Gaza yang Memburuk
Sementara perundingan terus berlarut-larut, situasi di Jalur Gaza semakin memprihatinkan. Konflik yang telah berlangsung selama 21 bulan ini telah menewaskan puluhan ribu warga Palestina. Data dari Kementerian Kesehatan Gaza menunjukkan bahwa lebih dari 57.000 orang telah tewas. Serangan militer Israel telah menyebabkan krisis kelaparan, memaksa penduduk mengungsi, dan menghancurkan infrastruktur. Rumah sakit di Gaza selatan dilaporkan hanya memiliki bahan bakar tersisa untuk tiga hari, mengancam penghentian semua operasi kemanusiaan.
Serangan Militer Berlanjut di Tengah Perundingan
Ironisnya, di tengah upaya diplomatik untuk mencapai gencatan senjata, serangan militer Israel di Gaza terus berlangsung. Kementerian Kesehatan Gaza melaporkan puluhan orang tewas akibat serangan Israel, termasuk di daerah yang diklaim aman seperti Al-Mawasi. Perdana Menteri Netanyahu bahkan menyatakan bahwa “negosiasi hanya akan berlangsung di bawah tembakan,” menunjukkan bahwa tekanan militer dianggap penting untuk pembebasan sandera tambahan. Serangan ini tentu saja semakin memperburuk krisis kemanusiaan dan mempersulit tercapainya kesepakatan damai.
Kesimpulan
Perundingan gencatan senjata antara Hamas dan Israel memang alot, terutama karena Israel berkeras pasukannya tetap di Gaza sementara Hamas menuntut penarikan penuh. Isu sandera dan tahanan, meskipun ada kemajuan kecil, masih terganjal detail. Kondisi ini membuat harapan akan perdamaian di Gaza terasa jauh, sementara penderitaan warga sipil terus berlanjut di tengah gempuran militer. Semoga para mediator dapat menemukan jalan keluar untuk mencapai kesepakatan yang adil dan mengakhiri konflik berkepanjangan ini demi kemanusiaan.