Konflik di Jalur Gaza kembali menyita perhatian dunia, dengan laporan terbaru yang mengindikasikan eskalasi kekerasan. Dalam 24 jam terakhir, Israel kembali gempur Gaza, mengakibatkan setidaknya 14 warga Palestina tewas. Insiden tragis ini bukan sekadar angka, melainkan cerminan dari penderitaan kemanusiaan yang mendalam dan berlarut-larut di salah satu wilayah paling padat penduduk di dunia. Artikel ini akan mengupas tuntas gempuran terbaru ini, menempatkannya dalam konteks dinamika geopolitik yang lebih luas, serta menyoroti dampak kemanusiaan dan respons global terhadap krisis yang tak kunjung usai. Mari kita selami lebih dalam untuk memahami kompleksitas dan implikasi dari peristiwa tragis ini.
Kronologi Gempuran Terbaru dan Korban Kemanusiaan
Pada Rabu, 25 Juni 2025, militer Israel dilaporkan mengalihkan kembali fokus serangannya ke Jalur Gaza, menyusul kesepakatan gencatan senjata dengan Iran yang mengakhiri ‘Perang 12 Hari’ yang sempat mengalihkan perhatian internasional. Peningkatan serangan darat ini menyasar berbagai wilayah di Jalur Gaza, termasuk di kota Khan Younis di selatan, serta meluas ke wilayah utara seperti Jabalia dan Beit Lahiya, di mana penduduk dipaksa mengungsi.
Laporan dari berbagai sumber mengonfirmasi bahwa dalam satu hari, sedikitnya 14 warga Palestina kehilangan nyawa akibat serangan Israel. Tragedi ini diperparah dengan fakta bahwa banyak korban berjatuhan saat mereka tengah mencari bantuan kemanusiaan. Saksi mata dan pejabat kesehatan mengonfirmasi penembakan terhadap warga di dekat pusat-pusat bantuan di bagian tengah dan selatan Gaza. Peristiwa serupa juga terjadi di sepanjang jalan Salahuddin, Gaza tengah, di mana 14 orang tewas saat menunggu truk bantuan PBB. Militer Israel (IDF) mengklaim bahwa area tersebut adalah zona pertempuran aktif dan pasukannya melepaskan tembakan peringatan karena menganggap warga mendekati mereka dengan cara yang mengancam, serta menyebut bahwa mereka hanya berupaya melumpuhkan militer Hamas.
- Beberapa lokasi yang menjadi sasaran utama gempuran:
- Khan Younis (Gaza selatan)
- Jabalia (Gaza utara)
- Beit Lahiya (Gaza utara)
- Beit Hanoun (Gaza utara)
- Kota Gaza
- Kamp pengungsi Maghazi
- Zeitoun
Selain serangan udara dan tembakan tank, laporan juga menyebutkan tembakan penembak jitu yang terus-menerus, memaksa sebagian besar penduduk di daerah terdampak untuk mengungsi ke ujung barat Kota Gaza. Kondisi ini memperparah krisis pengungsian internal yang sudah parah, di mana sebagian besar dari 2,3 juta penduduk Gaza telah mengungsi berkali-kali sejak perang dimulai pada Oktober 2023.
Tragedi di Tengah Pencarian Bantuan
Salah satu aspek paling memilukan dari gempuran ini adalah serangan terhadap warga sipil yang sedang berjuang untuk bertahan hidup. Insiden penembakan terhadap pencari bantuan bukan hal baru. Sebelumnya, Kementerian Kesehatan Gaza juga melaporkan ratusan warga Palestina tewas dan ribuan lainnya terluka saat mencoba mendapatkan bantuan pangan. Kondisi ini menciptakan dilema mengerikan bagi warga Gaza, di mana mereka harus mempertaruhkan nyawa hanya untuk mendapatkan makanan, seperti yang diungkapkan oleh Adel, seorang warga Kota Gaza.
Dinamika Geopolitik: Pengaruh Konflik Israel-Iran terhadap Gaza
Gempuran terbaru Israel di Gaza tidak dapat dipisahkan dari konteks geopolitik yang lebih besar, terutama ketegangan yang baru-baru ini terjadi antara Israel dan Iran. Setelah periode ‘Perang 12 Hari’ yang intens antara kedua negara, gencatan senjata diumumkan oleh Presiden AS Donald Trump. Kesepakatan ini, yang mulai berlaku pada 24 Juni 2025, memungkinkan Israel untuk kembali memfokuskan operasi militernya ke Jalur Gaza.
Pengalihan Fokus dan Tujuan Strategis Israel
Kepala Staf Militer Israel, Eyal Zamir, secara eksplisit menyatakan bahwa setelah gencatan senjata dengan Iran, fokus Israel beralih kembali ke Gaza. Tujuan utama yang ditekankan adalah memulangkan semua sandera yang tersisa dan membubarkan rezim Hamas, yang didukung oleh Teheran. Ini menunjukkan bahwa meskipun konflik dengan Iran sempat menguras sumber daya dan perhatian, tujuan Israel di Gaza tetap tidak berubah sejak operasi dimulai pada Oktober 2023.
Konflik Israel-Iran sendiri memuncak dengan saling serang rudal dan target militer, termasuk fasilitas nuklir. Pihak Israel mengklaim serangan mereka telah menghambat program nuklir Iran “selama beberapa tahun.” Di sisi lain, Iran juga melaporkan kematian tokoh militernya, Ali Shadmani, akibat serangan Israel, yang memicu sumpah balas dendam dari Garda Revolusi. Namun, kompleksitas konflik ini sempat membuat warga Gaza merasa penderitaan mereka “tersampingkan” dari perhatian media global.
Biaya Ekonomi dari Konflik Israel-Iran
Selain dampak kemanusiaan, konflik Israel-Iran juga menorehkan kerugian finansial yang signifikan bagi Israel. Dilaporkan bahwa hanya dalam pekan pertama ‘Perang 12 Hari’, Israel telah mengeluarkan dana hingga US$5 miliar (sekitar Rp81,6 triliun), mencakup biaya pengeboman, mobilisasi militer, dan operasional sistem pertahanan udara seperti Iron Dome dan Arrow yang sangat mahal. Biaya harian perang mencapai US$725 juta (sekitar Rp11,8 triliun), dengan sebagian besar dialokasikan untuk serangan ofensif. Jika perang berlanjut, total kerugian ekonomi diperkirakan bisa melampaui Rp195,8 triliun. Angka-angka ini menunjukkan betapa mahal dan merusaknya konflik modern, tidak hanya dalam skala kemanusiaan tetapi juga ekonomi.
Angka Tragedi yang Terus Meningkat: Skala Krisis Kemanusiaan di Gaza
Gempuran terbaru yang menewaskan 14 warga Palestina dalam 24 jam hanyalah sebagian kecil dari gambaran besar krisis kemanusiaan yang terus memburuk di Jalur Gaza. Sejak Oktober 2023, data korban jiwa terus melonjak, melampaui puluhan ribu orang.
- Data Korban Jiwa Kumulatif (berdasarkan berbagai laporan):
- Sekitar 56.077 warga Palestina tewas hingga 24 Juni 2025.
- Sebanyak 51.065 warga Palestina tewas hingga 17 April 2025.
- Mencapai 46.584 orang tewas hingga 12 Januari 2025.
Angka-angka ini mencerminkan laju kematian yang mengerikan, dengan sebagian besar korban adalah wanita dan anak-anak. Selain korban tewas, jumlah korban luka juga sangat tinggi, mencapai lebih dari 131.848 jiwa sejak 2023.
Tantangan Tim Penyelamat dan Kondisi di Lapangan
Kementerian Kesehatan Palestina dan tim penyelamat melaporkan bahwa banyak korban masih terjebak di bawah reruntuhan bangunan atau tergeletak di jalan-jalan karena tim penyelamat tidak dapat menjangkau mereka. Hal ini diperparah dengan lumpuhnya operasi Layanan Darurat Sipil Palestina di beberapa area seperti Jabalia, Beit Lahiya, dan Beit Hanoun akibat serangan Israel terhadap tim mereka dan kekurangan bahan bakar.
Selain itu, kondisi di penjara-penjara Israel juga menjadi sorotan. Dilaporkan bahwa lima tahanan Palestina tewas dalam tahanan Israel dalam waktu 24 jam pada akhir Desember 2024, menambah daftar panjang korban di tengah tuduhan “pembubaran sistematis” terhadap para tahanan. Pusat penahanan dan penjara Israel dikenal dengan kondisi yang sangat represif, termasuk dugaan penyiksaan dan pelanggaran hak asasi manusia.
Evakuasi Paksa dan Krisis Kelaparan
Militer Israel terus mengeluarkan perintah evakuasi kepada penduduk di berbagai distrik, termasuk di utara Khan Younis. Namun, pejabat Palestina dan PBB menegaskan bahwa tidak ada daerah yang benar-benar aman di Jalur Gaza. Perintah evakuasi ini menyebabkan eksodus massal, yang seringkali tidak terorganisir dan memperburuk kondisi kemanusiaan.
Blokade total yang diterapkan Israel sejak Oktober 2023 telah memutus pasokan makanan, air, gas, obat-obatan, dan listrik ke Gaza, menempatkan wilayah tersebut di ambang krisis kemanusiaan yang parah. Warga Gaza melaporkan kelaparan yang meluas, dengan ratusan ribu orang hanya makan sekali dalam dua hari.
Respons Internasional dan Seruan untuk Keadilan
Gempuran Israel yang terus berlanjut di Gaza telah memicu kecaman luas dari komunitas internasional. Berbagai organisasi dan pejabat global menyuarakan keprihatinan mendalam atas eskalasi kekerasan dan krisis kemanusiaan yang memburuk.
Seruan PBB dan Batasan Hukum Internasional
Sekretaris Jenderal PBB António Guterres dan Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa Josep Borrell telah menyatakan kekhawatiran atas “eskalasi berbahaya” dan “risiko konflik yang tidak terkendali.” Borrell secara khusus menyoroti bahwa perintah evakuasi massal terhadap jutaan orang di Gaza utara adalah “sama sekali tidak mungkin dilaksanakan” dan akan menimbulkan “konsekuensi kemanusiaan yang buruk.” PBB menegaskan bahwa “tidak ada solusi militer” dan satu-satunya jalan ke depan adalah diplomasi dan perdamaian. Uni Eropa, meskipun mendukung hak Israel untuk membela diri, juga menekankan pentingnya mematuhi hukum kemanusiaan internasional.
Tuntutan Hukum Internasional
Di tengah krisis ini, upaya hukum internasional untuk meminta pertanggungjawaban terus bergulir:
- Pengadilan Kriminal Internasional (ICC): Telah mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan mantan Menteri Pertahanan Yoav Gallant atas tuduhan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan di Gaza.
- Mahkamah Internasional (ICJ): Israel juga menghadapi gugatan kasus genosida di Mahkamah Internasional terkait operasi militernya di Jalur Gaza.
Langkah-langkah hukum ini menunjukkan semakin meluasnya tekanan global terhadap Israel untuk menghentikan operasi militer yang merugikan warga sipil. Meskipun demikian, Israel terus melanjutkan serangannya, bahkan menghancurkan perjanjian gencatan senjata dan pertukaran tahanan yang sebelumnya berlaku.
Masa Depan Gaza: Antara Harapan dan Ketidakpastian
Peristiwa israel kembali gempur Gaza, 14 warga Palestina tewas dalam 24 jam terakhir adalah pengingat yang menyakitkan akan realitas pahit yang dihadapi warga di Jalur Gaza. Di tengah kehancuran dan penderitaan, suara-suara dari Gaza, seperti Shaban Abed, seorang ayah dari Gaza utara, mengungkapkan keputusasaan sekaligus harapan: “Kami hanya berharap solusi komprehensif dapat dicapai untuk mengakhiri perang di Gaza.”
Krisis ini bukan hanya tentang angka kematian, tetapi juga tentang hilangnya kehidupan, impian, dan masa depan. Ribuan keluarga telah hancur, infrastruktur luluh lantak, dan trauma mendalam membayangi generasi. Tanpa adanya solusi politik yang komprehensif dan berkelanjutan, siklus kekerasan ini akan terus berulang, membawa lebih banyak penderitaan dan ketidakstabilan di wilayah tersebut.
Penting bagi komunitas internasional untuk tidak hanya mengutuk, tetapi juga mengambil tindakan nyata untuk memastikan perlindungan warga sipil, pengiriman bantuan kemanusiaan yang tanpa hambatan, dan mendorong proses perdamaian yang adil dan langgeng. Hanya dengan upaya kolektif dan komitmen terhadap hukum internasional serta nilai-nilai kemanusiaan, harapan untuk masa depan yang lebih baik di Gaza dapat terwujud.
Apakah Anda merasa tergerak oleh informasi ini? Bagikan artikel ini untuk meningkatkan kesadaran tentang situasi di Gaza dan dorong diskusi yang konstruktif tentang bagaimana kita dapat berkontribusi pada upaya perdamaian.