Bencana alam memang tak pernah mengenal waktu, bisa datang kapan saja tanpa peringatan. Bayangkan, Anda tengah terlelap di dini hari, saat tiba-tiba tanah bergeser, lalu bergetar hebat. Kepanikan melanda, bangunan runtuh, dan debu beterbangan di mana-mana. Inilah gambaran mencekam yang pernah dialami penduduk selatan Jawa, khususnya Yogyakarta dan sekitarnya, pada 10 Juni 1867. Sebuah gempa dahsyat yang tak hanya meluluhlantakkan wilayah, tetapi juga menelan ribuan orang tewas dan menghancurkan berbagai bangunan bersejarah.
**Gempa dahsyat 7,8 magnitudo pada 10 Juni 1867 meluluhlantakkan Jawa Selatan, menewaskan ribuan jiwa dan meruntuhkan candi ikonik, sebuah pengingat akan pentingnya kesiapsiagaan bencana.**
Artikel ini akan membawa Anda menelusuri kembali peristiwa mengerikan tersebut, memahami dampaknya yang luar biasa, serta belajar dari sejarah untuk menghadapi potensi bencana serupa di masa depan. Memahami masa lalu adalah kunci untuk kesiapsiagaan di masa kini dan nanti.
Menguak Dahsyatnya Gempa 1867: Kekuatan dan Dampak Luasnya
Pagi buta, sekitar pukul 04.20, tanah di wilayah Magelang mendadak bergeser. Banyak warga yang merasakan guncangan pertama, namun tak menyangka apa yang akan terjadi selanjutnya. Tak lama kemudian, getaran kedua datang, jauh lebih kuat dan hebat. Suasana syahdu pagi hari seketika berubah menjadi sangat mencekam. Orang-orang berlarian, berlumuran darah, dan debu tebal menyelimuti udara akibat bangunan yang ambruk di mana-mana.
Gempa bumi dahsyat ini, yang kemudian diketahui berpusat di Yogyakarta, juga dirasakan hingga Semarang, Surakarta, Madiun, bahkan Banyuwangi. Menurut data yang dihimpun Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), gempa ini diperkirakan berkekuatan Magnitudo 7,8. Fenomena ini dipicu oleh deformasi batuan di dalam Lempeng Indo-Australia (intra-slab earthquake) yang berpusat di Samudera Hindia.
Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami BMKG, Daryono, menjelaskan, “Gempa yang berpusat di Samudra Hindia selatan Pulau Jawa ini diperkirakan berkekuatan Mw7,8 yang dipicu deformasi batuan dalam Lempeng Indo-Australia.” Ia menambahkan bahwa gempa ini menjadi salah satu gempa terkuat yang pernah mengguncang Pulau Jawa.
Jejak Kehancuran: Bangunan Ikonik dan Ribuan Korban Jiwa
Dampak gempa dahsyat tahun 1867 sangatlah parah, terutama di Yogyakarta dan kota-kota sekitarnya. Werner Kraus dalam bukunya Raden Saleh: Kehidupan dan Karyanya (2018) menyebutkan bahwa ribuan orang kehilangan nyawa dan ribuan rumah serta bangunan hancur. Bencana ini tidak pandang bulu; warga pribumi maupun non-pribumi, termasuk orang Belanda, Arab, dan China, turut menjadi korban.
Beberapa bangunan ikonik yang menjadi saksi bisu kehancuran:
- Candi Sewu di Klaten mengalami keruntuhan total pada struktur kubah utamanya.
- Tugu Golong Gilig (sekarang Tugu Yogyakarta) dan Tugu Pal Putih sebagian runtuh.
- Benteng-benteng peninggalan VOC juga hancur dalam sekejap.
- Kompleks Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat dan Taman Sari mengalami kerusakan berat.
Korban jiwa akibat gempa bumi Jawa 1867 diperkirakan bervariasi antara 700 hingga 1.000 orang tewas. Di Surakarta saja, sedikitnya 236 orang meninggal dunia. Ketakutan melanda seluruh warga, terutama karena masih banyak gempa susulan. Banyak di antara mereka yang berzikir dan berdoa bersama demi keselamatan. Pemerintah kolonial dan Kesultanan Yogyakarta pun turut memberikan bantuan kepada para warga yang terdampak.
Tragedi serupa kemudian terulang 139 tahun kemudian. Pada 26 Mei 2006, gempa berkekuatan Magnitudo 6,3 kembali mengguncang Yogyakarta dan menyebabkan lebih dari 5.000 orang tewas. Ini menunjukkan betapa rentannya wilayah ini terhadap aktivitas seismik.
Belajar dari Sejarah: Potensi Gempa dan Mitigasi di Selatan Jawa
Peristiwa gempa dahsyat 1867 adalah pengingat betapa Pulau Jawa, khususnya selatan Jawa, merupakan salah satu wilayah di Indonesia yang sangat rawan gempa. Lokasinya yang berada di zona pertemuan Lempeng Indo-Australia dan Eurasia, serta keberadaan sesar aktif dan gunung berapi, menjadikan wilayah ini memiliki potensi gempa bumi yang tinggi.
Kajian para ahli, termasuk dari BMKG dan LIPI, terus mengingatkan akan adanya zona megathrust yang mengepung Indonesia, termasuk di selatan Jawa. Megathrust ini berpotensi melepaskan energi sangat besar yang dapat memicu gempa bumi berkekuatan tinggi (bahkan hingga Magnitudo 8,5-9 SR) dan tsunami dahsyat setinggi puluhan meter. Contohnya, gempa bumi dan tsunami Pangandaran 2006 yang menewaskan ratusan orang, meskipun guncangan gempanya tidak begitu terasa di daratan.
Mengingat wilayah Yogyakarta dan sekitarnya kini berpopulasi lebih dari 3,7 juta jiwa, simulasi menunjukkan bahwa jika gempa bumi dengan intensitas serupa 1867 terjadi lagi, diperkirakan dapat menyebabkan sekitar 60.000 korban jiwa. Oleh karena itu, mitigasi bencana menjadi sangat krusial.
Berbagai upaya telah dan terus dilakukan, seperti program Desa Tangguh Bencana oleh BNPB yang memastikan adanya sirine peringatan, jalur evakuasi, dan rambu-rambu. BMKG juga gencar mensosialisasikan tiga level peringatan tsunami. Penting bagi setiap individu untuk:
- Memahami jalur evakuasi di lingkungan tempat tinggal.
- Mengetahui cara menyelamatkan diri saat terjadi gempa dan tsunami.
- Berpartisipasi dalam simulasi dan pelatihan bencana.
Meskipun teknologi saat ini belum mampu memprediksi kapan tepatnya gempa megathrust akan “pecah”, pemahaman akan potensi dan kesiapsiagaan adalah kunci.
Selalu Waspada, Selalu Siap
Kisah gempa dahsyat yang hantam selatan Jawa pada tahun 1867 adalah pelajaran berharga. Ini mengingatkan kita bahwa kita hidup di wilayah yang aktif secara geologis, dan bencana alam adalah bagian dari realitas yang harus kita hadapi. Dengan terus belajar dari sejarah, meningkatkan kesadaran, dan aktif dalam mitigasi bencana, kita dapat meminimalkan dampak buruk di masa depan. Mari bersama-sama membangun masyarakat yang lebih tangguh dan siap menghadapi segala kemungkinan.