Yogyakarta, zekriansyah.com – Bayangkan sejenak: sebuah pantai Mediterania berpasir putih, dihiasi hotel-hotel mewah, pelabuhan kapal pesiar yang ramai, dan kafe-kafe bergaya Eropa. Pemandangan ini mungkin terkesan biasa di kawasan wisata populer. Namun, bagaimana jika semua itu berlokasi di Jalur Gaza, Palestina?
Ilustrasi: Hamparan pantai indah di Gaza, saksi bisu impian resor mewah yang berbenturan dengan realitas konflik berkepanjangan.
Ya, Jalur Gaza yang saat ini masih terus menghadapi konflik, blokade, dan krisis kemanusiaan. Kontras inilah yang membuat gagasan kontroversial bernama “Gaza Riviera” menjadi sorotan dunia. Artikel ini akan mengajak Anda menyelami lebih dalam tentang apa itu Gaza Riviera, siapa di balik ide tersebut, dan mengapa gagasan ini menuai pro serta kontra tajam. Dengan memahami ini, kita bisa melihat gambaran utuh tentang salah satu wacana paling rumit di Timur Tengah.
Apa Itu Sebenarnya “Gaza Riviera”?
“Gaza Riviera” bukanlah nama proyek resmi dari pemerintah mana pun. Istilah ini muncul secara simbolis dan bahkan satiris, untuk menggambarkan ide mengubah pesisir Gaza—yang membentang sekitar 40 kilometer di tepi Laut Mediterania—menjadi pusat wisata mewah. Konsepnya mirip dengan French Riviera di Prancis atau Riviera di Italia, yang dikenal dengan kemewahan dan keindahan pantainya.
Popularitas istilah ini melonjak drastis setelah muncul dalam konteks “Deal of the Century” atau “Kesepakatan Abad Ini.” Ini adalah rencana perdamaian Timur Tengah yang diluncurkan oleh pemerintahan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump pada Januari 2020. Kemudian, pada 4 Februari 2025, gagasan ini kembali mengemuka sebagai “Riviera Timur Tengah” yang diumumkan secara publik oleh Donald Trump bersama Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu.
Ironisnya, ide resor mewah ini muncul di tengah kenyataan pahit Jalur Gaza. Wilayah tersebut telah lebih dari satu dekade dilanda blokade Israel, konflik berkepanjangan, dan krisis kemanusiaan yang parah. Banyak rumah sakit di sana bahkan terancam tidak bisa beroperasi karena kehabisan bahan bakar, membahayakan nyawa pasien, termasuk lebih dari 100 bayi prematur.
Siapa di Balik Gagasan Kontroversial Ini?
Gagasan mengubah Gaza menjadi “Riviera Timur Tengah” secara terang-terangan diusung oleh mantan Presiden AS Donald Trump, didukung penuh oleh Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu. Pada pengumuman 4 Februari 2025, rencana ini mencakup beberapa poin kontroversial:
- Pengambilalihan Gaza oleh AS: Amerika Serikat mengklaim akan “mengambil alih” Gaza.
- Rekonstruksi Besar-besaran: Pembangunan infrastruktur baru demi stabilitas wilayah.
- Relokasi Sukarela Penduduk Palestina: Trump mengusulkan agar Mesir dan Yordania membuka lahan bagi relokasi penduduk Palestina, dengan harapan mereka bersedia pindah ke negara tetangga tersebut. Trump bahkan yakin para pemimpin kedua negara tersebut “akan bersedia jika dipersiapkan.”
Tujuan yang diklaim dari rencana ini adalah menciptakan zona wisata, ekonomi, dan keamanan yang serupa dengan kawasan pantai Mediterania. Trump mempresentasikan ide ini sebagai “inovatif” dan upaya untuk “menghidupkan kembali wilayah yang hancur oleh perang.” Namun, di balik klaim tersebut, tersimpan implikasi besar yang memicu reaksi keras dari berbagai pihak.
Pro dan Kontra: Dukungan dan Penolakan dari Berbagai Negara
Respons global terhadap rencana “Gaza Riviera” didominasi oleh penolakan massal. Berikut adalah rangkuman dukungan dan penolakan yang muncul:
Negara Pendukung
Hanya ada dua pihak yang secara terbuka menyatakan dukungan penuh terhadap gagasan ini:
- Amerika Serikat: Sebagai negara penggagas, Donald Trump dan sejumlah pendukung domestiknya, termasuk lembaga Gaza Humanitarian Foundation dan lobi pro-Yahudi di Kongres, menyatakan dukungan tegas. Meski begitu, survei menunjukkan hanya sekitar 15% warga Amerika yang mendukung gagasan ini. Juru bicara Gedung Putih, Karoline Leavitt, pada 5 Februari 2025, bahkan menyatakan AS tidak akan membiayai pembangunan kembali Gaza dan tidak akan mengirim pasukan ke lapangan, serta relokasi rakyat Gaza hanya bersifat sementara.
- Israel: Israel adalah satu-satunya negara yang secara publik menyatakan dukungan penuh. Perdana Menteri Benjamin Netanyahu menyebut rencana ini sebagai “langkah bersejarah” untuk menjamin keamanan Israel, bahkan menyiapkan skenario militer untuk menjaga “stabilitas” jika rencana ini terealisasi.
Pihak Penentang Keras
Mayoritas negara dan organisasi internasional menolak keras rencana ini, dengan alasan utama pelanggaran hak asasi manusia, potensi pembersihan etnis, serta ancaman terhadap prinsip solusi dua negara.
Berikut beberapa penentang utamanya:
- Negara-negara Arab (termasuk Mesir dan Yordania): Dengan tegas menentang gagasan relokasi paksa warga Gaza, menganggapnya sebagai pelanggaran berat terhadap hukum internasional.
- Uni Eropa dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB): Menentang keras rencana tersebut, dengan penekanan pada prinsip solusi dua negara sebagai jalan keluar dari konflik, bukan sekadar proyek properti yang jauh dari kenyataan.
- Organisasi Hak Asasi Manusia: Human Rights Watch, misalnya, langsung menyebut rencana ini sebagai bentuk “pembersihan etnis terselubung.”
- Masyarakat Global: Ribuan orang di berbagai belahan dunia turun ke jalan untuk menyuarakan penolakan. Di Saint Paul, Minnesota, lebih dari 2.000 orang bertahan dalam suhu minus 15°C untuk memprotes. Di Eropa, aksi serupa digelar di London, Paris, dan Berlin.
- Pemimpin Dunia: Presiden Prancis Emmanuel Macron dan Kanselir Jerman Olaf Scholz dengan keras mengutuk proposal Trump dan menyerukan embargo terhadap kebijakan yang mereka anggap ilegal tersebut.
- Dewan Keamanan PBB: Beberapa negara mengancam untuk mengenakan sanksi ekonomi terhadap Israel jika mereka terus mendukung rencana yang dianggap merusak stabilitas dan hukum internasional ini.
Seorang diplomat senior PBB bahkan menyatakan kepada Reuters, “Jika Trump dan Netanyahu tetap melanjutkan rencana ini, dunia akan menghadapi krisis kemanusiaan yang tak terbayangkan sebelumnya.”
Alternatif untuk Gaza: Rencana Mesir yang Didukung Liga Arab
Di tengah kontroversi “Gaza Riviera” ala Trump, Mesir tampil dengan rencana tandingan untuk masa depan Gaza. Visi Mesir ini dipresentasikan pada pertemuan puncak Liga Arab di Kairo pada 4 Maret 2025.
Hasilnya, negara-negara anggota Liga Arab mendukung dan mengadopsi proposal Mesir itu sebagai alternatif bagi rencana Trump untuk mengambil alih Gaza. Ini menunjukkan bahwa ada upaya kolektif dari negara-negara regional untuk mencari solusi yang lebih realistis dan berpihak pada kemanusiaan bagi Jalur Gaza.
Kesimpulan
Gagasan “Gaza Riviera” adalah contoh ekstrem bagaimana visi pembangunan mewah bisa berbenturan dengan realitas konflik dan penderitaan manusia. Di satu sisi, ada impian tentang resor mewah dan kemajuan ekonomi; di sisi lain, ada kenyataan pahit tentang perang, blokade, dan isu-isu kemanusiaan yang mendalam.
Kontroversi ini menyoroti kompleksitas konflik di Jalur Gaza, yang tidak bisa diselesaikan hanya dengan pendekatan properti atau relokasi paksa. Masa depan Gaza masih menjadi pertanyaan besar, terjebak di antara grand vision yang utopis dan kenyataan pahit di lapangan. Yang jelas, solusi yang adil dan berkelanjutan haruslah mengutamakan hak asasi manusia, martabat, dan kemerdekaan rakyat Palestina.
FAQ
Tanya: Apa yang dimaksud dengan “Gaza Riviera”?
Jawab: “Gaza Riviera” adalah istilah simbolis yang menggambarkan ide untuk mengubah pesisir Jalur Gaza menjadi destinasi wisata mewah, mirip dengan Riviera di Prancis atau Italia. Istilah ini muncul sebagai bagian dari wacana yang lebih luas mengenai solusi konflik di wilayah tersebut.
Tanya: Siapa yang pertama kali mengusulkan atau mempopulerkan gagasan “Gaza Riviera”?
Jawab: Istilah ini menjadi populer setelah muncul dalam konteks “Deal of the Century” atau “Kesepakatan Abad Ini,” sebuah rencana perdamaian Timur Tengah yang diluncurkan oleh pemerintahan Presiden AS Donald Trump pada Januari 2020. Gagasan ini kembali mengemuka pada 4 Februari 2025.
Tanya: Mengapa gagasan “Gaza Riviera” dianggap kontroversial?
Jawab: Gagasan ini menuai pro dan kontra tajam karena kontras antara citra kemewahan resor wisata dengan realitas konflik, blokade, dan krisis kemanusiaan yang dialami Jalur Gaza. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang kelayakan dan implikasi politisnya.