Yogyakarta, zekriansyah.com – Pernahkah Anda merasa pengeluaran bulanan makin membengkak, tapi barang atau jasa yang bisa Anda beli justru makin sedikit? Atau, teman-teman Anda yang dulu sering nongkrong di kafe atau liburan kini lebih sering di rumah? Jangan-jangan, Anda sedang merasakan fenomena yang sama dengan jutaan orang di Indonesia: kelas menengah makin terhimpit.
Ilustrasi: Transaksi QRIS yang menurun menjadi cerminan nyata kesulitan ekonomi yang dihadapi kelas menengah Indonesia saat ini.
Fenomena ini bukan sekadar perasaan, lho. Data terbaru dari berbagai bank dan Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa kehidupan kelas menengah di Indonesia memang sedang tidak baik-baik saja. Salah satu buktinya yang cukup mengejutkan datang dari data transaksi digital, khususnya QRIS.
Artikel ini akan membahas tuntas mengapa kelas menengah RI makin susah, buktinya dari data QRIS dan BPS, serta apa saja faktor penyebabnya. Dengan memahami kondisi ini, Anda bisa lebih siap menghadapi tantangan ekonomi dan menyusun strategi keuangan pribadi yang lebih baik. Yuk, simak sampai selesai!
QRIS: Indikator Daya Beli Kelas Menengah yang Melandai
QRIS, atau Quick Response Code Indonesian Standard, adalah salah satu metode pembayaran digital yang paling populer di Indonesia. Penggunaannya sangat luas, dari warung kecil hingga pusat perbelanjaan modern. Awalnya digadang-gadang sebagai pendorong ekonomi digital, belakangan ini data transaksi QRIS justru menunjukkan sinyal yang mengkhawatirkan.
Beberapa bank di Indonesia mencatat penurunan transaksi QRIS yang cukup signifikan. Bank Jatim, misalnya, melihat nominal transaksi QRIS di merchant mengalami penurunan tajam dalam beberapa bulan terakhir.
Berikut data transaksi QRIS Bank Jatim (Bank Jatim (BJTM)) pada periode Juni hingga Agustus 2024:
Bulan | Nominal Transaksi QRIS Merchant |
---|---|
Juni 2024 | Rp176,30 miliar |
Juli 2024 | Rp127,91 miliar |
Agustus 2024 | Rp130,51 miliar |
Direktur Utama Bank Jatim, Busrul Iman, mengakui bahwa meskipun secara umum transaksi QRIS masih tumbuh jika ditarik delapan bulan terakhir, namun tren penurunan tajam terjadi dari Juni hingga Agustus 2024. Penurunan ini bersamaan dengan deflasi inti yang terjadi empat bulan berturut-turut sejak Mei, yang mengindikasikan melemahnya permintaan.
Senada, OK Bank Indonesia (Bank Oke Indonesia (DNAR)) juga merasakan dampaknya. Direktur Kepatuhan OK Bank, Efdinal Alamsyah, menyebut tabungan yang terhimpun di bank mereka turun sekitar 12% secara tahunan per September 2024.
“Ini bisa tercermin dari perubahan pola transaksi, misal penurunan pada transaksi di kategori seperti hiburan atau restoran, sementara ada peningkatan dalam kategori seperti bahan makanan atau kebutuhan rumah tangga,” kata Efdinal.
Artinya, masyarakat, terutama kelas menengah, kini lebih memprioritaskan kebutuhan dasar dibanding pengeluaran untuk hiburan atau gaya hidup.
Bank BJB (BJBR) juga merasakan hal serupa. Direktur Utama BJB, Yuddy Renaldi, menjelaskan frekuensi transaksi nasabah memang masih bertumbuh, namun nilai transaksinya menurun.
“Misalnya, nasabah dalam kesehariannya menghabiskan Rp100 ribu rupiah untuk membeli 10 barang, kini yang dihabiskan dengan nominal yang sama, hanya untuk 8-9 barang saja. Artinya bukan dari jumlah nilai uang yang dihabiskan, tetapi dari daya beli uang tersebut, inflasi dan daya beli telah menekan daya beli,” jelas Yuddy.
Bahkan, bank swasta terbesar di RI, BCA (BBCA), juga mengakui bahwa kredit retail mereka lebih “berat” meskipun kredit konsumsi seperti KPR dan KKB masih tumbuh karena bunga yang rendah.
Data BPS: Jutaan Kelas Menengah “Turun Kasta”
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) semakin menguatkan kekhawatiran ini. Angka menunjukkan bahwa jumlah kelas menengah di Indonesia memang menyusut drastis dalam beberapa tahun terakhir.
Berikut perbandingan jumlah penduduk berdasarkan kategori kelas sosial menurut BPS:
Kategori Masyarakat | 2019 (Jumlah & Persentase) | 2024 (Jumlah & Persentase) | Perubahan (Juta Orang) |
---|---|---|---|
Kelas Menengah | 57,33 juta (21,45%) | 47,85 juta (17,13%) | Turun 9,48 |
Menengah Rentan | 128,85 juta (48,20%) | 137,50 juta (49,22%) | Naik 8,65 |
Rentan Miskin | 54,97 juta (20,56%) | 67,69 juta (24,23%) | Naik 12,72 |
Data di atas jelas menunjukkan bahwa ada sekitar 9,48 juta warga kelas menengah yang “turun kelas” antara tahun 2019 hingga 2024. Mereka sebagian besar bergeser ke kelompok menengah rentan (dikenal juga sebagai aspiring middle class) atau bahkan rentan miskin.
Mengapa Kelas Menengah Makin Terhimpit Ekonomi?
Fenomena ini bukan terjadi begitu saja. Ada beberapa faktor utama yang membuat kelas menengah di Indonesia makin kesulitan:
- Inflasi Diam-Diam Menggerogoti: Harga kebutuhan pokok seperti makanan, transportasi, dan biaya hidup lainnya terus merangkak naik. Sementara itu, pendapatan sebagian besar kelas menengah cenderung stagnan atau tidak sebanding dengan kenaikan harga. Akibatnya, daya beli uang mereka menurun drastis.
- Maraknya PHK dan Ketidakpastian Kerja: Guncangan ekonomi global dan perubahan industri menyebabkan banyak perusahaan melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Hal ini menciptakan ketidakpastian pendapatan dan mengurangi lapangan pekerjaan yang stabil bagi banyak profesional dan pekerja kerah putih.
- Beban Utang yang Mengikat: Banyak kelas menengah hidup dengan berbagai cicilan, mulai dari Kredit Pemilikan Rumah (KPR), Kredit Kendaraan Bermotor (KKB), hingga utang kartu kredit atau paylater. Ketika pendapatan terganggu atau tidak meningkat, cicilan ini menjadi beban yang sangat berat dan menggerus sisa uang untuk kebutuhan sehari-hari.
- Tabungan Menipis dan Investasi Gagal: Beberapa orang yang mencoba berinvestasi di aset berisiko tinggi seperti kripto atau saham saat booming justru merugi. Ditambah lagi, dengan biaya hidup yang tinggi, kemampuan menabung menjadi berkurang, membuat mereka lebih rentan terhadap guncangan tak terduga.
- Pergeseran Prioritas Belanja: Seperti yang diungkapkan oleh pihak bank, masyarakat kini lebih selektif dalam pengeluaran. Dana yang sebelumnya dialokasikan untuk hiburan, liburan, atau makan di restoran, kini dialihkan untuk memenuhi kebutuhan yang lebih esensial seperti bahan makanan dan keperluan rumah tangga.
Dampak Penurunan Daya Beli bagi Ekonomi Nasional
Penurunan daya beli kelas menengah bukan sekadar masalah individu, tapi juga alarm keras bagi perekonomian nasional. Kelas menengah selama ini adalah salah satu pendorong utama konsumsi domestik. Jika daya beli mereka melemah, maka banyak sektor ekonomi ikut terimbas:
- UMKM dan Bisnis Retail: Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) serta berbagai bisnis retail akan kehilangan pelanggan loyal, yang bisa menyebabkan penurunan omzet hingga penutupan usaha.
- Sektor F&B dan Hiburan: Industri makanan dan minuman (F&B), bioskop, tempat rekreasi, hingga pariwisata domestik akan mengalami penurunan pendapatan yang signifikan.
- Perbankan: Bank mungkin akan kesulitan menghimpun tabungan dan mengalami kenaikan rasio kredit macet karena kemampuan nasabah membayar cicilan menurun.
- Penerimaan Pajak: Konsumsi yang melambat juga berpotensi mengurangi penerimaan pajak negara dari sektor konsumsi.
- Ketimpangan Sosial: Dalam jangka panjang, penyusutan kelas menengah bisa memperlebar jurang ketimpangan antara si kaya dan si miskin, menghambat pertumbuhan ekonomi yang inklusif.
Strategi Hadapi Tekanan Ekonomi: Apa yang Bisa Kita Lakukan?
Menghadapi kondisi ini, penting bagi semua pihak untuk mengambil peran aktif.
-
Peran Pemerintah dan Regulator:
- Menerbitkan kebijakan yang tepat sasaran, seperti subsidi yang benar-benar menyentuh masyarakat yang membutuhkan.
- Memperkuat jaring pengaman sosial agar kelompok rentan tidak semakin terdorong ke bawah.
- Mempermudah akses kredit usaha mikro dan memberikan insentif pajak agar sektor informal bisa terus bertahan.
-
Peran Sektor Swasta dan Perbankan:
- Menciptakan produk keuangan yang lebih fleksibel, edukatif, dan tidak mencekik nasabah.
- Bergeser dari sekadar menawarkan layanan konsumtif seperti paylater ke arah solusi keuangan yang berkelanjutan dan memberdayakan.
-
Peran Masyarakat:
- Tingkatkan Literasi Keuangan: Pahami bagaimana mengelola uang, investasi, dan risiko.
- Hidup Hemat dan Prioritaskan Kebutuhan: Tinjau ulang pengeluaran, pangkas biaya yang tidak esensial, dan fokus pada kebutuhan pokok.
- Tata Ulang Keuangan Pribadi: Buat anggaran, siapkan dana darurat, dan hindari utang konsumtif yang berlebihan.
- Adaptasi dengan Prioritas Baru: Jika dulu sering jajan, kini mungkin saatnya lebih sering memasak di rumah.
Kesimpulan
Penurunan transaksi QRIS dan data BPS tentang menyusutnya kelas menengah adalah sinyal kuat bahwa tekanan ekonomi sedang dirasakan oleh banyak keluarga di Indonesia. Ini bukan sekadar angka statistik, melainkan cerminan dari kegelisahan ekonomi yang melanda, terutama bagi mereka yang sebelumnya merasa “cukup aman” di kelas menengah.
Namun, bukan berarti kita harus pasrah. Di tengah tantangan ini, ada peluang untuk memperbaiki fondasi keuangan pribadi, memperkuat daya tahan finansial, dan mendorong terciptanya ekonomi yang lebih inklusif. Yang terpenting, jangan anggap sepi “transaksi yang diam” ini. Karena kadang, ketenangan justru menyimpan gejolak besar di dalamnya, dan kesadaran adalah langkah pertama menuju perubahan.