Yogyakarta, zekriansyah.com – Belakangan ini, Wakil Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP), Fahri Hamzah, melontarkan ide yang cukup menarik perhatian. Ia mengusulkan skema pembiayaan rumah bagi pekerja atau buruh, di mana gaji mereka bisa langsung dipotong untuk cicilan rumah. Mungkin Anda bertanya-tanya, apa sih maksudnya dan kenapa ide ini muncul? Artikel ini akan menjelaskan secara gamblang alasan di balik usulan Fahri Hamzah, bagaimana skema ini bekerja, serta tanggapan dari berbagai pihak, khususnya para buruh. Tujuannya agar Anda memahami lebih dalam potensi solusi perumahan ini.
Ilustrasi: Potongan gaji buruh menjadi cicilan rumah: solusi kepemilikan impian atau beban tambahan?
Mengenal Skema “Attachment of Earnings” (AoE)
Skema yang diusulkan Fahri Hamzah ini disebut Attachment of Earnings (AoE). Secara sederhana, skema ini memungkinkan:
- Pemotongan Gaji Langsung: Gaji pekerja atau buruh akan langsung dipotong oleh manajemen perusahaan tempat mereka bekerja.
- Pembayaran ke Bank: Potongan gaji tersebut kemudian langsung disalurkan ke bank, misalnya Bank BTN, sebagai pembayaran cicilan rumah.
- Proses Lebih Cepat: Dengan begitu, proses pembiayaan perumahan bisa lebih cepat dan efisien, karena bank tidak perlu lagi melakukan proses kelayakan kredit yang berbelit-belit seperti biasanya. Risiko bagi bank juga berkurang drastis karena ada jaminan pemotongan gaji.
Anggota Satgas Perumahan, Bonny Z Minang, menjelaskan teknisnya:
“Bank kemudian menyalurkan ke pengembang, dan buruh mendapatkan rumah tanpa proses kredit yang berbelit.”
Mengapa Skema Ini Diusulkan? Ini Alasan Fahri Hamzah
Fahri Hamzah punya beberapa alasan kuat di balik usulan skema AoE ini, terutama untuk membantu para pekerja memiliki rumah tanpa membebani keuangan negara (APBN). Berikut poin-poin utamanya:
- Alternatif Pembiayaan Baru: Skema ini diharapkan jadi pilihan lain pembiayaan perumahan yang tidak bergantung pada anggaran pemerintah.
> “Itu kan intinya kalau ada kesepakatan antara pengusaha dan buruhnya dan lain-lainnya di luar negara, mereka mau bikin kesepakatan untuk menjadikan gaji mereka sebagai bagian dari jaminan pengadaan rumah,” ujar Fahri. - Stabilitas dan Produktivitas Pekerja: Kebutuhan rumah sangat penting untuk menjaga stabilitas pekerja dan meningkatkan produktivitas industri. Pekerja yang punya tempat tinggal layak cenderung lebih betah dan fokus bekerja.
- Atasi Akses Pembiayaan Sulit: Banyak pekerja kesulitan mendapatkan akses pembiayaan rumah yang sederhana dan tidak birokratis. AoE diharapkan bisa memangkas birokrasi ini.
> “Kami butuh model pembiayaan yang tidak bergantung pada fasilitas negara, tapi tetap memberikan kepastian kepada semua pihak: pekerja, manajemen, bank, dan pengembang. Skema attachment earning menjawab ini,” kata Fahri. - Efisiensi Proses: Dengan pemotongan gaji langsung, proses cicilan menjadi lebih cepat dan efisien. Bank juga lebih yakin karena ada komitmen potongan gaji selama periode tertentu (misalnya lima tahun), sehingga tidak perlu lagi proses kelayakan kredit konvensional.
- Gerakan Nasional Mandiri: Jika skema ini sukses, diharapkan bisa memicu gerakan nasional penyediaan perumahan pekerja yang berbasis kolaborasi antara industri, perbankan, dan pengembang, tanpa campur tangan fiskal langsung dari negara.
> “Kita ingin mengonsolidasikan ini sebagai gerakan nasional. Kalau model ini sukses, kita bisa membangun klaster-klaster perumahan pekerja di kawasan industri secara mandiri dan berkelanjutan,” tambahnya. - Dukungan Regulasi: Pemerintah siap mendukung skema ini dengan menyiapkan regulasi teknis yang memberikan kepastian hukum dan perlindungan bagi semua pihak yang terlibat.
Respons dan Tantangan dari Pihak Pekerja
Meski terdengar menjanjikan, usulan ini juga menuai tanggapan dari serikat pekerja. Ketua Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal, menyampaikan beberapa catatan penting:
- Tidak Boleh Dipaksakan: KSPI tegas menolak jika skema ini dipaksakan kepada seluruh buruh. Skema ini harus bersifat sukarela dan individu.
> “Kalau itu dipaksa, sekali lagi, KSPI akan menolak,” tegas Said Iqbal. - Dasar Hukum dan Kesepakatan Individu: Said Iqbal mempertanyakan dasar hukum skema ini. Menurutnya, pemotongan gaji harus berdasarkan persetujuan tertulis dari individu buruh, tidak bisa kolektif.
> “Dia private. Artinya gini, kalau mau potong gaji seorang buruh, maka buruhnya harus tanda tangan setuju dan itu harus pribadi, nggak bisa kolektif,” ujarnya.
> “Jadi secara hukum, tidak ada dasar hukumnya. Secara implementasi di tingkat perusahaan akan mengalami kesulitan. Perusahaan nggak mau karena tidak kolektif. Kan ada yang punya rumah, ada yang belum punya rumah,” lanjutnya. - Beban Pekerja dan Batas Maksimal Potongan: Menurut PP Nomor 36 tahun 2021 tentang Pengupahan Pasal 65, batas maksimal potongan gaji adalah 50%. Namun, jika cicilan lebih dari 30% gaji, bank pun akan berpikir ulang karena risiko kredit macet. Said Iqbal khawatir ini akan membebani pekerja.
> “Bilamana potongan buruh total lebih dari 30% dipaksakan, itu membuat buruh jadi menderita dan miskin karena akan terbebani utang,” tuturnya.
Uji Coba Perdana Skema AoE
Meski masih dalam tahap gagasan dan diskusi, skema AoE ini rencananya akan diuji coba perdana. PT Ekstrana di Cikande, Banten, disebut-sebut sebagai perusahaan pertama yang berkomitmen menjalankan rencana ini. Sebanyak 350 buruh di perusahaan tersebut dilaporkan sudah bersedia dan berkomitmen untuk gajinya dipotong selama lima tahun untuk mencicil rumah pertama mereka. Untuk menjaga harga rumah tetap terjangkau, Bonny Z Minang menyebut akan melibatkan ekosistem perumahan, termasuk BUMN seperti Semen Indonesia Gresik (SIG) dan Krakatau Steel untuk bahan baku konstruksi, serta mencari lahan murah atau gratis di dekat kawasan industri.
Kesimpulan
Usulan Fahri Hamzah mengenai skema Attachment of Earnings (AoE) ini menawarkan solusi inovatif untuk mengatasi masalah perumahan bagi para pekerja, dengan tujuan mengurangi ketergantungan pada APBN dan mempercepat proses kepemilikan rumah. Ide ini mengedepankan kolaborasi antara pekerja, perusahaan, bank, dan pengembang.
Namun, seperti halnya setiap kebijakan baru, ada tantangan yang perlu diperhatikan, terutama terkait persetujuan sukarela dari pekerja, dasar hukum yang kuat, dan potensi beban finansial. Semoga dengan diskusi dan kajian yang mendalam, skema ini bisa benar-benar menjadi solusi yang adil dan berkelanjutan bagi kesejahteraan para pekerja di Indonesia, sehingga impian memiliki rumah sendiri bisa segera terwujud.