Dilema Orang Tua: Emma Beli Vape untuk Anak Sendiri, Berharap Kurangi Kecanduan Nikotin Remaja

Dipublikasikan 29 Juni 2025 oleh admin
Sosial Politik

Yogyakarta, zekriansyah.com – Setiap orang tua tentu ingin melindungi anaknya dari bahaya. Namun, bagaimana jika pilihan yang harus diambil justru terasa kontroversial dan melawan nurani? Inilah dilema yang dihadapi Emma, seorang ibu yang kini terpaksa membeli vape untuk kedua anaknya yang masih remaja. Keputusannya ini bukan tanpa alasan, melainkan upaya terakhir untuk mengendalikan kecanduan nikotin parah yang dialami buah hatinya.

Dilema Orang Tua: Emma Beli Vape untuk Anak Sendiri, Berharap Kurangi Kecanduan Nikotin Remaja

Ilustrasi: Seorang ibu dengan raut wajah penuh kekhawatiran, memegang perangkat vape di depan anaknya yang tampak lesu, mencerminkan perjuangan berat mengatasi kecanduan nikotin remaja.

Artikel ini akan mengupas kisah Emma, mengapa ia memilih jalan yang tak lazim ini, serta bagaimana fenomena kecanduan vape pada remaja menjadi isu serius yang memerlukan perhatian kita bersama. Mari kita selami lebih dalam untuk memahami kompleksitas masalah ini.

Berawal dari Kecanduan di Usia Dini

Kisah Emma bermula dari kecurigaan yang kian menguat. Putranya, yang kini berusia 15 tahun, disinyalir sudah mulai menggunakan vape sejak masih duduk di bangku sekolah dasar. Awalnya, ia berhasil menyembunyikan kebiasaan ini, namun seiring waktu, tanda-tanda kecanduan mulai terlihat jelas.

“Awalnya sulit dipercaya, tapi mereka sudah kecanduan,” ujar Emma dengan nada berat. “Ini bukan lagi soal menyuruh mereka berhenti, jauh lebih sulit dari itu.”

Kecanduan vape putranya semakin parah hingga menimbulkan masalah kesehatan. Sang anak mulai sering sesak napas, menderita radang amandel berulang, dan bahkan suatu kali merasakan sakit luar biasa hingga Emma terpaksa memanggil ambulans.

“Paramedis mengatakan vaping yang terus-menerus bisa menjadi penyebabnya,” kenang Emma. “Mereka menyarankan anak saya untuk mencoba berhenti, atau setidaknya mengurangi.”

Mendengar peringatan itu, Emma menyadari sesuatu harus berubah. Ia harus mengambil alih kendali, meski dengan cara yang ekstrem.

Langkah Ekstrem Emma: Beli Vape Sendiri untuk Anak

Melawan setiap naluri keibuannya, Emma memutuskan untuk membeli vape sendiri untuk anak-anaknya. Tujuannya bukan untuk mendukung kebiasaan buruk itu, melainkan untuk memiliki kontrol penuh. Ia mulai membeli vape dengan kadar nikotin yang lebih rendah, dari 20 mg menjadi 10 mg.

“Saya memperingatkan mereka, jika saya melihat mereka menggunakan perangkat dengan kadar nikotin lebih tinggi, saya akan berhenti membelikannya sama sekali,” tegas Emma.

Meski tahu tindakannya ini ilegal—karena menjual vape kepada anak di bawah 18 tahun dan membelikan untuk mereka adalah pelanggaran hukum—Emma merasa inilah satu-satunya pilihan. Dengan membeli sendiri, ia yakin vape yang digunakan anak-anaknya berasal dari pemasok terkemuka, tidak ilegal, tidak mengandung produk berbahaya lainnya, dan yang terpenting, ia bisa mengontrol kadar nikotin yang dikonsumsi.

Larangan Vape Sekali Pakai dan Tantangan Penegakan Hukum

Pemerintah memang telah mengambil langkah untuk mengatasi maraknya penggunaan vape di kalangan anak muda. Salah satunya adalah larangan vape sekali pakai yang mulai berlaku pada 1 Juni. Larangan ini didorong oleh kekhawatiran lingkungan dan meningkatnya jumlah anak muda yang nge-vape.

Namun, Emma mengatakan larangan tersebut hanya sedikit berdampak pada konsumsi nikotin anak-anaknya. Para ahli pun khawatir. Kate Pike dari Chartered Trading Standards Institute, misalnya, meragukan efektivitas larangan ini.

“Kami menemukan produk yang patuh—vape yang dapat diisi ulang—dengan kemasan stiker di dalamnya,” kata Pike. “Orang dewasa mana yang mau menghias vape mereka dengan stiker?”

Ia juga menyoroti sulitnya membedakan antara vape sekali pakai yang kini ilegal dengan vape isi ulang yang masih legal, apalagi jika vape isi ulang tersebut dilengkapi dengan pod pra-isi, sehingga tetap digunakan seperti vape sekali pakai dan dibuang.

Ancaman Kecanduan Nikotin pada Anak dan Remaja

Vape memang disebut sebagai alternatif yang lebih sehat daripada rokok konvensional, namun ada kekhawatiran besar bahwa vape menjadi pintu gerbang menuju kecanduan nikotin, terutama dengan rasa buah-buahan dan harga murah yang menarik anak-anak dan remaja.

Profesor Rachel Isba, dari Rumah Sakit Anak Alder Hey di Liverpool, yang memiliki klinik vape NHS pertama di Inggris untuk anak-anak, mengungkapkan bahwa orang tua tidak perlu menyalahkan diri sendiri.

“Yang penting adalah tidak menghakimi anak Anda; dunia tempat kaum muda kita hidup adalah tempat yang sulit untuk tumbuh dewasa,” kata Prof. Isba. “Ada begitu banyak tekanan yang bersaing.”

Klinik yang sudah beroperasi sejak Januari ini sudah memiliki daftar tunggu enam minggu. Banyak remaja yang datang menyadari perubahan pada tubuh mereka, seperti sulit berolahraga tanpa kehabisan napas, batuk darah, atau menyadari bahwa mereka sudah kecanduan dan ingin berhenti.

Prof. Isba menjelaskan bahwa beberapa remaja bahkan tidur dengan vape di bawah bantal agar bisa mendapatkan nikotin di tengah malam. Kecanduan mereka begitu kuat sehingga mengalami “penarikan mikro” di sekolah.

“Mereka mengonsumsi nikotin begitu sering sehingga mereka mulai merasa cemas jika tidak memilikinya—bahkan selama pelajaran matematika ganda, misalnya,” jelasnya. Mereka kemudian berpikir membutuhkan vape untuk mengurangi kecemasan, padahal penarikan nikotin itulah yang menyebabkan perasaan tersebut.

Dan, seorang ayah dari tiga anak laki-laki di Twickenham, juga setuju bahwa vaping adalah pintu gerbang. Putranya yang berusia 17 tahun dikeluarkan dari sekolah karena tertangkap membawa ganja di vapenya, dan putranya yang berusia 14 tahun hampir kehilangan tempat di sekolah karena masalah serupa.

“Vaping adalah pintu gerbang narkoba,” kata Dan. “Mereka jadi kecanduan nikotin dan kemudian barang yang lebih keras menyusul. Mereka pasti sudah merokok [rokok] dan sekarang anak sulung saya kecanduan kantong nikotin. Ini tidak ada habisnya.”

Harapan dan Tantangan ke Depan

Keputusan Emma untuk membeli vape bagi anaknya sendiri menunjukkan betapa rumitnya masalah kecanduan nikotin di kalangan remaja. Ini bukan hanya tentang pilihan personal, tetapi juga tentang tekanan sosial, strategi pemasaran industri, dan celah dalam regulasi.

Pemerintah Inggris menyatakan telah mengambil “tindakan tegas” untuk mengatasi vaping pada remaja, termasuk memberikan kewenangan kepada Trading Standards untuk mengeluarkan denda di tempat sebesar £200 bagi siapa pun yang menjual tembakau atau vape kepada anak di bawah umur. Mereka juga mewajibkan semua pengecer vape menyediakan tempat sampah daur ulang untuk vape sekali pakai.

Kisah Emma menjadi pengingat bahwa di balik angka dan kebijakan, ada keluarga yang berjuang keras menghadapi tantangan kesehatan dan perilaku anak-anak mereka. Solusi untuk masalah ini mungkin tidak sederhana, namun kesadaran dan dukungan adalah langkah awal yang penting.

FAQ

Tanya: Mengapa Emma membeli vape untuk anaknya yang kecanduan nikotin?
Jawab: Emma membeli vape sebagai upaya terakhir untuk mengendalikan kecanduan nikotin parah pada anaknya, berharap dapat mengurangi paparan zat berbahaya lainnya. Ia percaya ini adalah cara yang lebih aman daripada membiarkan anaknya terus menggunakan produk yang tidak diketahui kandungannya.

Tanya: Apa saja masalah kesehatan yang dialami anak Emma akibat vaping?
Jawab: Anak Emma mengalami sesak napas, radang amandel berulang, dan pernah merasakan sakit luar biasa hingga memerlukan panggilan ambulans. Paramedis menduga vaping yang terus-menerus menjadi penyebab masalah kesehatan tersebut.

Tanya: Apakah membeli vape untuk anak yang kecanduan nikotin merupakan solusi yang direkomendasikan?
Jawab: Keputusan Emma sangat kontroversial dan bukan merupakan solusi yang direkomendasikan secara umum. Fokus utama seharusnya adalah mencari bantuan profesional untuk mengatasi kecanduan nikotin pada remaja.