Di tengah gejolak geopolitik Timur Tengah yang tak pernah henti, pengumuman gencatan senjata antara Israel dan Iran, meskipun bersifat rapuh dan diwarnai kebingungan, telah memicu serangkaian efek domino gencatan senjata Israel Iran ke warga sipil dan ekonomi yang menjangkau jauh melampaui medan perang. Konflik 12 hari yang intensif ini, yang sempat menyeret Amerika Serikat ke dalam pusarannya, menunjukkan bagaimana ketegangan regional dapat dengan cepat bermanifestasi menjadi dampak nyata pada kehidupan sehari-hari masyarakat dan stabilitas ekonomi global.
Artikel ini akan mengupas tuntas mengapa gencatan senjata ini, meski disambut dengan harapan, masih menyisakan kekhawatiran mendalam. Kita akan menjelajahi bagaimana dinamika yang terjadi di garis depan mempengaruhi nasib warga sipil yang tak berdosa, memicu gelombang ekonomi yang terasa hingga ke kantong kita, serta menguji ketangguhan diplomasi dan aliansi internasional. Mari kita selami lebih dalam kompleksitas yang tersembunyi di balik berita utama.
Realitas Gencatan Senjata yang Rapuh: Antara Harapan dan Kebingungan
Pengumuman gencatan senjata yang datang dari Presiden Amerika Serikat Donald Trump pada Senin malam, 23 Juni 2025, sempat menyulut optimisme global. Trump, melalui platform Truth Social, mengklaim bahwa Israel dan Iran telah sepakat untuk menghentikan permusuhan selama 24 jam, bahkan menyatakan bahwa “Perang 12 Hari” telah berakhir. Namun, di lapangan, realitasnya jauh lebih membingungkan dan penuh ketidakpastian.
Seorang pejabat senior Iran dengan tegas membantah telah menerima proposal resmi dari AS untuk gencatan senjata. Mereka bahkan menganggap pernyataan AS dan Israel sebagai “tipuan” yang dirancang untuk membenarkan serangan lebih lanjut. Kebingungan semakin menjadi-jadi ketika serangan dari Iran terus berlanjut, bahkan beberapa jam setelah waktu gencatan senjata yang diumumkan Trump seharusnya berlaku. Situasi ini diperparah dengan pernyataan Menteri Pertahanan Israel Benny Katz yang menginstruksikan militernya untuk “merespons dengan keras terhadap pelanggaran Iran soal gencatan senjata.”
Mekanisme gencatan senjata yang diusulkan Trump pun terbilang unik dan tidak lazim. Ia meminta Iran menghentikan serangan pada pukul 07.30 waktu setempat, sementara Israel memiliki jeda enam jam lebih lama, hingga pukul 13.30 waktu Teheran, untuk menghentikan serangannya. Selisih waktu ini menimbulkan keraguan akan kesetaraan dan komitmen kedua belah pihak. Terbukti, rentetan rudal Iran masih menghantam Israel, menargetkan Beersheva, Tel Aviv, dan Haifa, sebagai balasan atas serangan Israel yang menewaskan sejumlah warga Iran dan ilmuwan nuklir.
“Sangat membingungkan! Apakah Israel memiliki 12 jam lagi untuk menyerang berdasarkan pengumuman pertamanya? Atau apakah mereka seharusnya dalam gencatan senjata sekarang? Bahkan setelah kematian di Beersheva dan rentetan Iran setelah tenggat waktu? Tidak ada yang tahu! Ketepatan dalam perang dan perdamaian.” — Dan Shapiro, Mantan Duta Besar AS untuk Israel
Fragilitas gencatan senjata ini jelas menunjukkan bahwa perdamaian bukanlah sebuah tombol yang bisa dengan mudah diaktifkan, melainkan sebuah proses panjang yang sarat negosiasi, kepercayaan, dan komitmen berkelanjutan dari semua pihak.
Dampak Humaniter: Korban Sipil Tak Terelakkan dan Krisis yang Terlupakan
Ketika rudal dan drone berseliweran di langit, yang paling merasakan dampaknya adalah warga sipil. Serangan yang terus berlanjut, meskipun di tengah klaim gencatan senjata, telah menyebabkan korban jiwa dan luka-luka yang signifikan di kedua belah pihak. Di Beersheva, Israel, tiga bangunan perumahan padat hancur, menewaskan empat orang dan melukai lebih dari 20 lainnya. Di sisi Iran, serangan Israel juga dilaporkan menewaskan sembilan warga dan melukai lebih dari 30 orang di provinsi Gilan, serta seorang ilmuwan nuklir terkemuka.
Angka-angka ini hanyalah puncak gunung es dari penderitaan yang lebih luas. Konflik Israel-Iran, meskipun fokusnya pada serangan balasan dan fasilitas nuklir, secara tidak langsung mengalihkan perhatian dunia dari krisis kemanusiaan yang jauh lebih dalam dan berkepanjangan di Gaza.
Saat gencatan senjata Israel-Iran diberlakukan, perang di Gaza justru terus berlanjut. Sejak serangan Israel dimulai pada Oktober 2023, data Kementerian Kesehatan Palestina menunjukkan lebih dari 55.000 orang tewas, termasuk 17.000 anak-anak. Kekhawatiran atas kelaparan buatan manusia di Gaza meningkat tajam, diperparah oleh serangan terhadap warga sipil yang mencari bantuan pangan, yang oleh Kantor PBB untuk Hak Asasi Manusia (OHCHR) disebut sebagai potensi “kejahatan perang.”
UNRWA memperingatkan bahwa penderitaan rakyat Gaza semakin terlupakan di tengah perhatian global yang beralih ke Iran. Gencatan senjata antara Israel dan Iran memang menciptakan peluang diplomatik baru, namun jalan menuju perdamaian sejati bagi Gaza masih sangat panjang dan terjal, mengingat Hamas enggan menyerah, Israel ingin membubarkan Hamas, dan sandera masih ditahan. Efek domino gencatan senjata Israel Iran ke warga sipil dan ekonomi ini jelas menunjukkan bahwa konflik bersenjata, di mana pun lokasinya, akan selalu menyisakan luka mendalam bagi kemanusiaan.
Gejolak Ekonomi Global: Dari Pasar Minyak hingga Koridor Penerbangan
Konflik di Timur Tengah, apalagi yang melibatkan Iran—salah satu eksportir minyak terbesar dunia—selalu memiliki implikasi ekonomi global yang masif. Gencatan senjata yang rapuh antara Iran dan Israel, meskipun tidak sepenuhnya efektif di lapangan, sempat disambut positif oleh para investor, setidaknya untuk pasar minyak.
Harga Minyak dan Pasokan Energi
Pada Selasa, 24 Juni 2025, harga minyak mentah Brent dan West Texas Intermediate mengalami penurunan tajam, kembali ke level sebelum konflik dimulai. Ini mencerminkan berkurangnya kekhawatiran akan terganggunya pasokan minyak global, terutama melalui Selat Hormuz, jalur perairan vital yang mengangkut sekitar seperempat pasokan minyak dunia. Ancaman Iran untuk menutup selat ini, yang jika terjadi dapat menyebabkan lonjakan harga minyak hingga 130 dolar AS per barel dan menghancurkan perekonomian banyak negara, kini seolah terhindar.
Namun, ketenangan ini bisa jadi hanya sementara. Joseph Stiglitz, ekonom peraih Nobel, sering menekankan bagaimana konflik geopolitik dapat memicu inflasi global. Jika konflik kembali memanas atau ketidakpastian berlanjut, harga energi, termasuk BBM dan listrik, berpotensi melonjak di seluruh dunia, termasuk Indonesia yang masih mengandalkan impor energi dari Timur Tengah. Ini akan berdampak langsung pada anggaran rumah tangga dan biaya produksi, memicu inflasi yang kian menjadi.
Sektor Penerbangan Sipil: Langit yang Menutup Diri
Efek domino gencatan senjata Israel Iran ke warga sipil dan ekonomi juga sangat terasa di sektor penerbangan sipil. Perang ini mengakibatkan perubahan signifikan pada lalu lintas penerbangan di Timur Tengah. Ruang udara di Tel Aviv (Israel) dan Teheran (Iran) masih ditutup, meskipun beberapa kota lain seperti Baghdad, Beirut, dan Dubai sudah dibuka kembali.
Gangguan sistem navigasi berbasis satelit (GPS) di medan perang membuat maskapai harus menggunakan navigasi alternatif, memperpanjang durasi penerbangan, dan tentu saja, meningkatkan biaya operasional. Sejumlah negara menutup ruang udaranya demi keamanan, memaksa maskapai untuk mengalihkan rute (diverted) atau bahkan membatalkan penerbangan. Garuda Indonesia, misalnya, menangguhkan penerbangan Jakarta-Doha dan sebaliknya.
Fenomena ini bukan sekadar gangguan lokal. Langit Iran dan Irak adalah koridor udara vital yang menghubungkan Eropa dengan Asia Selatan, Asia Tenggara, dan sekitarnya. Setelah sebagian besar ruang udara Rusia dan Ukraina terlarang bagi maskapai internasional pasca-konflik Rusia-Ukraina, Timur Tengah menjadi rute transit yang semakin signifikan. Perang ini memaksa pesawat terbang lebih ke selatan, memperpanjang durasi penerbangan, dan memicu kenaikan biaya yang pada akhirnya akan dibebankan kepada penumpang.
Pengamat penerbangan Gatot Raharjo bahkan membandingkan risiko ini dengan insiden Malaysia Airlines MH17 yang ditembak rudal di wilayah Ukraina-Rusia pada 2014, menekankan bahwa kondisi penerbangan di zona konflik dinilai belum sepenuhnya aman, bahkan jika tidak ada notam (notice to airmen). Ini menjadi tantangan besar, terutama untuk penerbangan haji dan umrah dari Indonesia, yang harus memastikan keselamatan dan keamanan rute.
Beban Ekonomi Israel: Harga Sebuah Konflik
Di balik manuver militer, konflik 12 hari ini juga menghantam ekonomi domestik Israel dengan keras. Laporan dari Financial Express menyebutkan bahwa dalam tujuh hari pertama konflik, Israel menghabiskan sekitar 5 miliar dolar AS (Rp81,6 triliun), dengan sekitar 593 juta dolar per hari untuk operasi militer. Ini belum termasuk biaya harian sistem pertahanan udara seperti Iron Dome dan Arrow-3 yang bisa mencapai 10 juta hingga 200 juta dolar per hari.
Lembaga Kebijakan Ekonomi Aaron di Tel Aviv memperkirakan total biaya jika perang berlangsung sebulan bisa mencapai 12 miliar dolar AS (Rp195 triliun), mencakup mobilisasi 450.000 tentara cadangan, penggunaan senjata berteknologi tinggi, dan kompensasi warga sipil. Ekonom Naser Abdelkarim dari Universitas Amerika di Palestina memperkirakan kerugian total bisa mencapai 20 miliar dolar AS, termasuk terganggunya aktivitas produksi, distribusi, dan sektor jasa. Defisit anggaran Israel pun membengkak, memicu kepanikan investor, dan berpotensi memicu krisis fiskal.
Dinamika Geopolitik: Ujian Politik Luar Negeri dan Aliansi Global
Konflik Israel-Iran adalah cerminan dari perebutan pengaruh global yang lebih besar, menguji ketangguhan aliansi lama dan baru.
Peran Amerika Serikat: Dukungan Berhitung
Amerika Serikat, di bawah kepemimpinan Donald Trump, menunjukkan “dukungan berhitung” terhadap Israel. Trump secara terbuka memuji Israel sebagai “benteng pertahanan peradaban Barat” dan menyatakan serangan itu berani. Namun, Pentagon memilih langkah hati-hati, mengerahkan armada antimisil dan memperkuat pertahanan udara pangkalan militernya di Teluk, tanpa intervensi penuh.
Ini adalah dilema AS: mendukung sekutu utama sambil menghindari eskalasi yang bisa menyeretnya ke dalam perang yang “terlalu mahal secara politik dan strategis.” Kekhawatiran akan serangan balasan Iran, sabotase siber, atau penutupan Selat Hormuz menjadi pertimbangan utama. Selain itu, AS juga menghadapi dilema non-proliferasi nuklir; serangan terhadap fasilitas nuklir aktif membawa risiko kebocoran radiasi dan melemahkan otoritas lembaga seperti Badan Energi Atom Internasional (IAEA). Qatar berperan penting sebagai mediator, menjaga jalur komunikasi belakang antara AS, Israel, dan Iran tetap terbuka.
Reaksi Rusia dan Tiongkok: Kecaman dan Kepentingan Strategis
Rusia, sebagai mitra strategis Iran dan kontraktor utama reaktor nuklir sipilnya, langsung mengecam keras tindakan Israel. Moskow memperingatkan potensi bencana lingkungan “sekelas Chernobyl” jika serangan menghantam wilayah nuklir sipil. Kremlin segera menawarkan diri sebagai mediator, berdiplomasi sambil mengamankan kontrak energi dan pertahanannya. Rusia juga secara tersirat memperingatkan AS agar tidak terlalu ikut campur, khawatir ketegangan bisa merembet ke zona konflik lain yang sensitif seperti Ukraina dan Suriah.
Pemerintah Tiongkok juga mengutuk keras campur tangan AS dalam konflik Israel-Iran, menunjukkan posisi yang lebih condong untuk menentang intervensi militer pihak ketiga.
Dunia Arab di Persimpangan: Kecaman Publik vs. Manuver di Balik Layar
Mayoritas negara Arab secara publik mengecam serangan Israel ke Iran, menyerukan penghentian konflik. Namun, di balik layar, sikap mereka lebih hati-hati dan strategis. Uni Emirat Arab (UEA), misalnya, menyerukan dialog namun tetap mempertahankan koordinasi intelijen dengan Israel melalui Abraham Accords, melihat peluang untuk menekan pengaruh Iran di Teluk. Arab Saudi juga menunjukkan sikap serupa, mengecam serangan namun dilaporkan diam-diam membagikan data pergerakan udara Iran kepada Israel melalui jaringan pertahanan yang dimotori AS di Qatar. Bagi kerajaan-kerajaan ini, stabilitas kawasan adalah kunci untuk ambisi ekonomi mereka.
Indonesia dan Politik Luar Negeri Bebas-Aktif
Bagi Indonesia, konflik ini menjadi ujian bagi prinsip politik luar negeri bebas-aktif. Ketua DPR RI Puan Maharani menyerukan gencatan senjata dan menyoroti besarnya korban sipil, terutama perempuan dan anak-anak. Ia juga memperingatkan dampak global dari ancaman penutupan Selat Hormuz terhadap ekonomi Indonesia, termasuk potensi kenaikan subsidi BBM, gejolak nilai tukar Rupiah, dan tekanan inflasi.
Pemerintah Indonesia dihadapkan pada tantangan untuk menjaga keseimbangan: di satu sisi, tetap konsisten mendukung Palestina dan hak penentuan nasib sendiri; di sisi lain, menjaga hubungan diplomatik dan ekonomi dengan berbagai negara. Indonesia dapat memainkan peran mediator atau fasilitator perdamaian di forum internasional seperti PBB dan OKI, menunjukkan kepemimpinan diplomasi yang cerdik dan elegan.
Melangkah ke Depan: Memitigasi Dampak dan Peran Masyarakat
Gencatan senjata Israel-Iran, betapapun rapuhnya, telah mengembalikan fokus dunia pada persoalan pelik lain, termasuk perundingan program nuklir Iran. Iran berkeras program nuklirnya untuk tujuan damai dan tidak akan berunding dengan AS selama mereka diserang Israel. Sementara itu, Israel menegaskan tidak akan berhenti menargetkan fasilitas nuklir Iran sampai dibongkar. Kondisi ini menunjukkan bahwa tantangan ke depan masih sangat besar.
Efek domino gencatan senjata Israel Iran ke warga sipil dan ekonomi tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, tetapi juga setiap individu. Sebagai masyarakat, ada beberapa langkah bijak yang dapat kita lakukan:
- Cari Informasi Valid: Di era banjir disinformasi, pastikan untuk hanya menyebarkan berita yang telah diverifikasi dari sumber terpercaya seperti media mainstream, lembaga riset, atau kanal resmi pemerintah.
- Diskusi Cerdas dan Santun: Jika membahas isu sensitif ini, lakukan dengan kepala dingin, hargai pendapat berbeda, dan fokus pada pemahaman serta solusi, bukan saling hujat. Hindari polarisasi yang bisa memecah belah masyarakat.
- Fokus pada Aksi Lokal dan Empati Global: Salurkan empati kepada korban konflik melalui donasi ke lembaga kemanusiaan terpercaya. Di tingkat domestik, bersikap bijak dalam mengelola keuangan pribadi untuk mengantisipasi potensi kenaikan harga, dan mendukung produk dalam negeri.
- Jaga Harmoni Nasional: Tolak segala bentuk ujaran kebencian atau intoleransi yang mencoba menyeret isu konflik Timur Tengah ke dalam dinamika sosial dalam negeri. Indonesia adalah negara majemuk yang harus menjaga kerukunan.
Kesimpulan: Memahami Keterkaitan, Merajut Harapan
Konflik di Timur Tengah, bahkan dengan adanya gencatan senjata yang rentan, merupakan pengingat nyata akan keterkaitan global yang tak terhindarkan. Efek domino gencatan senjata Israel Iran ke warga sipil dan ekonomi menunjukkan bagaimana ketegangan di satu wilayah dapat mengirimkan gelombang kejut yang terasa hingga ke belahan dunia lain, memengaruhi harga kebutuhan pokok, mengganggu mobilitas global, dan menguji stabilitas geopolitik.
Meskipun gencatan senjata ini memberikan secercah harapan bagi pasar dan upaya diplomatik, realitas di lapangan masih penuh tantangan. Penderitaan warga sipil terus berlanjut, terutama di Gaza, dan ketidakpastian ekonomi masih membayangi. Diperlukan upaya diplomasi yang berkelanjutan, komitmen nyata dari semua pihak, dan kesadaran kolektif masyarakat global untuk mendorong perdamaian sejati.
Sebagai bagian dari komunitas global, kita tidak bisa hanya menjadi penonton pasif. Dengan tetap kritis terhadap informasi, proaktif dalam mencari solusi damai, empatik kepada korban, dan menjaga persatuan di dalam negeri, kita dapat turut berkontribusi dalam merajut harapan bagi masa depan yang lebih stabil dan damai.