Konflik yang terus memanas di Timur Tengah, khususnya antara Iran dan Israel, selalu menjadi sorotan dunia. Di tengah ketegangan ini, Duta Besar Iran untuk Indonesia, Mohammad Boroujerdi, memberikan pandangan menarik tentang ketahanan negaranya. Boroujerdi menyebut, salah satu rahasia di balik keteguhan Iran menghadapi gempuran adalah pengalaman pahit delapan tahun peperangan yang pernah mereka alami.
Artikel ini akan mengupas lebih dalam apa yang dimaksud Boroujerdi dengan “perang delapan tahun”, bagaimana pengalaman tersebut membentuk karakter Iran, serta relevansinya dengan situasi terkini. Dengan memahami sejarah ini, kita bisa melihat lebih jelas mengapa Iran tampak begitu siap menghadapi tantangan di panggung global.
Konflik Israel-Iran Memanas, Dubes Iran Bersuara
Sejak pertengahan Juni 2025, Iran kembali menjadi pusat perhatian dunia setelah serangkaian serangan udara. Rezim Zionis Israel melancarkan serangan pada 13 Juni 2025, menargetkan fasilitas vital seperti kompleks perumahan, gedung pemerintahan, infrastruktur pertahanan, transportasi, hingga fasilitas nuklir. Tak berhenti di situ, Amerika Serikat juga dilaporkan turut menyerang fasilitas nuklir Iran pada 22 Juni 2025.
Akibat serangan-serangan ini, banyak korban sipil berjatuhan, termasuk komandan tinggi militer, ilmuwan, dosen universitas, serta perempuan dan anak-anak. Di tengah situasi yang kian memanas ini, Duta Besar Iran untuk Indonesia, Mohammad Boroujerdi, menegaskan bahwa Iran tidak gentar.
“Klaim rezim Zionis bahwa mereka hanya menyerang target militer dan ekonomi adalah kebohongan yang sudah terbukti,” ujar Boroujerdi. “Tapi Iran bukan Gaza. Iran adalah negara kuat, dan setiap kali diserang, kami pasti akan membalas.”
Perang Iran-Irak: Delapan Tahun yang Membentuk Karakter Bangsa
Pernyataan Dubes Boroujerdi yang paling menarik adalah saat ia menyitir memori delapan tahun perang yang pernah mereka alami. Perang yang dimaksud adalah Perang Iran-Irak yang berlangsung dari tahun 1980 hingga 1988. Konflik ini, yang disebut Iran sebagai “perang yang dipaksakan” dan “tidak seimbang” oleh rezim Ba’ath Irak di bawah Saddam Hussein, meninggalkan bekas mendalam bagi bangsa Iran.
Perang ini bukan hanya sekadar pertikaian militer, tetapi juga ujian ketahanan bagi seluruh rakyat Iran. Ribuan nyawa melayang dan terluka dalam konflik tersebut:
- Korban Jiwa: 48.000 syuhada
- Korban Luka: 200.000 orang
- Tahanan Perang: 26.000 warga
Pengalaman pahit selama delapan tahun tersebut, yang Iran sebut sebagai “Pertahanan Suci,” justru menjadi fondasi kuat bagi ketahanan mereka saat ini.
“Pengalaman perang yang dipaksakan kepada kami (Pertahanan Suci) selama delapan tahun melawan rezim Ba’ath Irak telah membentuk kapasitas kami dalam mengelola negara selama masa perang dan membangun ketahanan serta perlawanan rakyat dalam membela negara mereka,” jelas Boroujerdi. “Kami sudah terbiasa dengan perang yang berkepanjangan. Kami pernah berperang selama delapan tahun dengan Saddam dan kami siap menghadapi perang kembali.”
Perang ini juga mendorong Iran untuk mengembangkan kemandirian dalam teknologi pertahanan dan persenjataan, mengubah tekanan menjadi motivasi untuk inovasi.
Ketahanan Iran di Tengah Gempuran dan Sanksi Global
Meskipun menghadapi serangan dan sanksi ekonomi yang ketat selama puluhan tahun terkait program nuklirnya, Iran menunjukkan ketahanan yang luar biasa. Mantan Duta Besar Indonesia untuk Iran, Dian Wirengjurit, yang bertugas di Teheran selama lima tahun, mengakui bahwa kekuatan Iran sering diremehkan dunia internasional.
Menurut Dian, Iran adalah representasi peradaban Persia yang telah berulang kali menghadapi invasi asing selama ribuan tahun, dan selalu mampu bertahan. Sanksi besar-besaran yang dikenakan kepada Iran, bahkan sebelum terbukti bersalah, tidak melumpuhkan kemampuan negara itu sepenuhnya.
Faktanya, warga Iran di tengah serangan rudal tetap menjalani kehidupan dengan normal. Seperti yang disaksikan oleh para mahasiswa Warga Negara Indonesia (WNI) di sana, toko-toko dan perkantoran tetap buka, aktivitas sehari-hari berjalan seperti biasa. Ketika ditanya mengapa tidak takut, jawaban mereka sederhana: “Kenapa harus takut? Ini Iran.” Mentalitas ini menunjukkan betapa terbiasanya mereka hidup berdampingan dengan risiko konflik.
Ketahanan ini juga terlihat dari kemampuan Iran dalam menghadapi sanksi. Meskipun ekspor minyaknya dibatasi, Iran tetap memproduksi minyak dalam jumlah besar dan menjualnya melalui “pasar gelap” untuk memenuhi kebutuhan ekonomi negaranya.
Peran Indonesia dan Dampak Konflik Global
Di tengah situasi ini, Indonesia sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, memiliki peran penting. Duta Besar Boroujerdi sangat mengapresiasi sikap pemerintah dan rakyat Indonesia yang telah menunjukkan solidaritas serta mengutuk agresi yang terjadi.
“Sejak jam-jam pertama serangan agresif oleh rezim Zionis terhadap negara kami, pemerintah Indonesia telah mengambil sikap yang tepat,” kata Boroujerdi. “Presiden, Menteri Luar Negeri, organisasi-organisasi Islam, dan masyarakat Indonesia menunjukkan dukungannya kepada Republik Islam Iran melalui berbagai cara.”
Iran berharap Indonesia dapat terus menggunakan pengaruhnya di berbagai forum internasional seperti Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), dan ASEAN untuk mendorong perdamaian dan stabilitas di kawasan.
Konflik di Timur Tengah ini juga berpotensi memiliki dampak ekonomi yang besar secara global, termasuk bagi Indonesia. Jika perang meluas hingga ke Selat Hormuz, jalur vital yang dilewati sekitar 20% pasokan minyak dunia, konsekuensinya bisa sangat serius bagi perekonomian global.
Upaya evakuasi WNI dari Iran juga menjadi bukti nyata bagaimana konflik ini berdampak pada warga negara kita. Sebanyak 97 WNI berhasil dievakuasi berkat kerja sama pemerintah Iran, Kedutaan Besar Iran di Jakarta, dan Kedutaan Besar Indonesia di Teheran.
Kesimpulan
Pernyataan Duta Besar Iran untuk Indonesia, Mohammad Boroujerdi, memberikan gambaran jelas tentang filosofi ketahanan Iran. Pengalaman pahit Perang Iran-Irak selama delapan tahun telah mengukir mentalitas “tidak gentar” dan kemandirian dalam diri bangsa Iran. Ini bukan sekadar retorika, melainkan cerminan dari sejarah panjang mereka dalam menghadapi berbagai invasi dan tekanan.
Di tengah ketegangan yang masih berlangsung, peran negara-negara seperti Indonesia sangat krusial dalam mendorong dialog dan perdamaian. Mengingat dampak konflik ini bisa meluas ke berbagai sektor, termasuk ekonomi global, stabilitas di Timur Tengah menjadi kepentingan bersama. Semoga ketegangan ini segera mereda dan perdamaian kembali terwujud.
FAQ
Tentu, ini dia bagian FAQ yang relevan dan optimal untuk Google Snippet berdasarkan artikel Anda:
Tanya: Apa yang dimaksud dengan “perang delapan tahun” Iran yang disebut Dubes Iran?
Jawab: Perang delapan tahun yang dimaksud adalah konflik Iran-Irak yang berlangsung dari tahun 1980 hingga 1988. Pengalaman ini membentuk ketahanan dan kesiapan Iran dalam menghadapi tantangan global.
Tanya: Mengapa pengalaman perang Iran-Irak penting bagi ketahanan Iran saat ini?
Jawab: Pengalaman perang tersebut mengajarkan Iran tentang strategi bertahan, adaptasi, dan solidaritas nasional dalam menghadapi agresi eksternal. Hal ini membuat Iran lebih siap menghadapi situasi konflik terkini.
Tanya: Apa peran Duta Besar Iran untuk Indonesia dalam membahas ketahanan negaranya?
Jawab: Duta Besar Iran untuk Indonesia, Mohammad Boroujerdi, berperan sebagai narasumber yang memberikan pandangan langsung mengenai faktor-faktor yang berkontribusi pada ketahanan Iran. Ia menjelaskan bagaimana sejarah perang membentuk mentalitas bangsa.
Tanya: Bagaimana situasi konflik Iran dengan Israel dan AS saat ini menurut artikel?
Jawab: Artikel menyebutkan bahwa konflik memanas dengan serangan udara Israel dan AS terhadap fasilitas Iran, menyebabkan korban sipil dan kerusakan infrastruktur. Dubes Iran menegaskan negaranya tidak gentar menghadapi situasi ini.