Anggota DPR Soroti KemenHAM Jadi Penjamin Pelaku Intoleransi di Sukabumi: Siapa Lindungi Korban?

Dipublikasikan 5 Juli 2025 oleh admin
Sosial Politik

Yogyakarta, zekriansyah.com – Kasus perusakan rumah singgah yang digunakan untuk kegiatan retret pelajar Kristen di Sukabumi, Jawa Barat, baru-baru ini menjadi sorotan tajam. Terlebih setelah Kementerian Hak Asasi Manusia (KemenHAM) menyatakan kesediaan untuk menjadi penjamin penangguhan penahanan bagi tujuh tersangka pelaku. Langkah KemenHAM ini menuai kritik keras dari anggota DPR RI yang menilai tindakan tersebut justru mengkhianati tugas negara dalam melindungi korban pelanggaran HAM.

Anggota DPR Soroti KemenHAM Jadi Penjamin Pelaku Intoleransi di Sukabumi: Siapa Lindungi Korban?

Ilustrasi: KemenHAM jadi penjamin pelaku intoleransi, adakah perlindungan bagi korban perusakan rumah ibadah di Sukabumi?

Artikel ini akan membahas tuntas mengapa KemenHAM menawarkan diri sebagai penjamin, serta bagaimana respons anggota dewan terhadap keputusan yang dianggap kontroversial ini. Dengan membaca artikel ini, Anda akan memahami lebih dalam perdebatan seputar peran negara dalam kasus intoleransi dan pentingnya penegakan hukum yang adil bagi semua warga.

Awal Mula Kasus Intoleransi di Sukabumi yang Jadi Sorotan

Peristiwa bermula pada Jumat, 27 Juni 2025, ketika sebuah rumah di Kampung Tangkil, Sukabumi, yang sedang digunakan untuk kegiatan retret pelajar Kristen, didatangi dan dirusak oleh sekelompok warga. Aksi ini juga disertai pembubaran kegiatan keagamaan yang sedang berlangsung. Polisi bergerak cepat dan berhasil menetapkan tujuh orang sebagai tersangka dalam kasus perusakan dan pembubaran aktivitas ini.

Namun, kejutan datang dari KemenHAM. Staf Khusus Menteri HAM, Thomas Harming Suwarta, menyatakan bahwa KemenHAM siap menjadi penjamin bagi tujuh tersangka tersebut agar penahanan mereka ditangguhkan. Thomas beralasan bahwa para tersangka adalah warga biasa yang tidak terorganisir dan menyesal, serta ada pertimbangan kemanusiaan seperti istri hamil atau anak kecil. KemenHAM juga mendorong penyelesaian kasus ini melalui pendekatan restorative justice (RJ) atau keadilan restoratif, demi menjaga kerukunan dan kondusivitas wilayah.

DPR Angkat Bicara: KemenHAM Dianggap “Pengkhianatan Tugas Negara”

Pernyataan KemenHAM ini langsung memicu reaksi keras dari sejumlah anggota DPR RI. Mereka menilai langkah KemenHAM justru bertolak belakang dengan semangat perlindungan HAM bagi korban.

Umbu Rudi Kabunang: Negara Jangan Jadi Pelindung Ketidakadilan

Anggota Komisi XIII DPR RI dari Fraksi Golkar, Umbu Rudi Kabunang, dengan tegas menyebut tindakan KemenHAM sebagai “bentuk pengkhianatan terhadap tugas negara melindungi korban pelanggaran HAM.”

“Kalau KemenHAM malah jadi penjamin pelaku intoleransi, lalu siapa yang lindungi korban? Negara jangan jadi pelindung ketidakadilan,” ujar Umbu Rudi.

Menurut Umbu Rudi, peristiwa di Sukabumi bukanlah konflik sosial biasa, melainkan pelanggaran nyata terhadap hak atas kebebasan beribadah yang dijamin oleh UUD 1945 dan Pancasila. Ia juga mempertanyakan alasan kemanusiaan yang dilontarkan KemenHAM.

“Kalau begitu, semua pelaku kejahatan bisa berlindung di balik narasi kasihan. Negara ini tidak dibangun dari empati buta, tapi dari hukum yang adil dan tegas,” katanya.

Politikus asal Pulau Sumba ini juga menyayangkan pendekatan restorative justice yang menurutnya mengaburkan garis antara pelanggar dan korban. “Apa ini artinya, pelaku intoleransi bisa bebas asal bilang maaf?” tanyanya. Ia pun mendesak Menteri HAM untuk membatalkan rencana menjadi penjamin dan mengingatkan bahwa terlalu banyak kasus intoleransi yang tidak tuntas karena negara memilih kompromi.

Abraham Sridjaja: KemenHAM Keliru Jadi Penjamin Pelaku Kriminal

Senada dengan Umbu Rudi, Anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi Golkar, Abraham Sridjaja, juga mengecam keras langkah KemenHAM.

“Keliru apabila Kementerian HAM sebagai institusi negara justru ikut menjadi penjamin penangguhan penahanan. Itu bukan tempatnya,” tegas Abraham.

Abraham menyayangkan tindakan KemenHAM yang bisa mencoreng kredibilitas institusi yang seharusnya berdiri tegak membela hak asasi manusia, bukan sebaliknya. Ia juga mengkritik narasi “bahaya mispersepsi” yang dilontarkan, karena menurutnya hal itu memberi kesan negara memaklumi tindakan intimidasi terhadap anak-anak yang sedang beribadah.

“Kita tidak boleh memberi ruang sedikit pun pada praktik intoleransi,” pungkas Abraham, menekankan bahwa KemenHAM seharusnya berpihak pada prinsip keadilan dan konstitusi, bukan melemahkan penegakan hukum.

Ahmad Iman Sukri: KemenHAM Bertentangan dengan Kebijakan Pemerintah

Anggota Komisi XIII DPR RI dari Fraksi PKB, Ahmad Iman Sukri, juga ikut mempertanyakan dasar KemenHAM menjadi penjamin para tersangka. Menurutnya, langkah KemenHAM ini tidak sejalan dengan kebijakan pemerintah Presiden Prabowo Subianto dalam mencegah tindakan intoleransi.

“Saya kira KemenHAM keliru menjadi penjamin penangguhan penahanan terhadap pelaku kriminal dan pelanggar HAM. Seharusnya KemenHAM sebagai institusi negara mengecam tindakan intoleransi yang berpotensi menimbulkan perpecahan antar umat beragama di Tanah Air,” tegas Iman.

Iman menegaskan bahwa tidak ada toleransi bagi pelaku tindakan intoleransi karena melanggar konstitusi. Ia mengingatkan bahwa setiap warga negara memiliki hak yang sama dalam menjalankan ibadah sesuai dengan keyakinannya, dan hak tersebut dijamin oleh UUD 1945.

Mengapa Penjaminan Ini Jadi Perdebatan Sengit?

Perdebatan sengit mengenai KemenHAM yang menjadi penjamin pelaku intoleransi ini muncul karena beberapa alasan mendasar:

  1. Peran KemenHAM: Banyak pihak, khususnya anggota DPR, berpendapat bahwa KemenHAM seharusnya menjadi garda terdepan dalam membela korban pelanggaran HAM, bukan menjadi pelindung bagi para pelaku. Fungsi utama kementerian ini adalah memastikan hak asasi manusia ditegakkan, yang berarti melindungi mereka yang haknya dilanggar.
  2. Kekhawatiran Preseden Buruk: Jika pelaku intoleransi dapat dengan mudah ditangguhkan penahanannya bahkan dengan jaminan dari lembaga negara, dikhawatirkan hal ini akan menciptakan preseden buruk. Pelaku lain bisa merasa kebal hukum atau menganggap tindakan intoleransi sebagai hal yang remeh, sehingga berpotensi memicu kasus serupa di masa depan.
  3. Penegakan Hukum dan Keadilan: Kritik juga menyoroti pentingnya penegakan hukum yang tegas dan adil. Kasus intoleransi, terutama yang melibatkan perusakan dan intimidasi terhadap anak-anak, dianggap sebagai tindakan kriminal serius yang tidak bisa ditoleransi dengan alasan kemanusiaan semata. Hukum harus ditegakkan untuk memberikan efek jera dan keadilan bagi para korban.
  4. Perlindungan Keberagaman: Indonesia adalah negara yang majemuk dengan keberagaman suku, agama, dan budaya. Kasus intoleransi mengancam fondasi keberagaman ini. Ketegasan negara dalam menindak pelaku menjadi krusial untuk menjaga kerukunan dan memastikan bahwa minoritas merasa aman dalam menjalankan keyakinannya.

Kesimpulan

Langkah KemenHAM yang bersedia menjadi penjamin penangguhan penahanan tujuh tersangka kasus intoleransi di Sukabumi telah memicu gelombang kritik dari anggota DPR RI. Mereka sepakat bahwa peran KemenHAM seharusnya adalah membela korban pelanggaran HAM, bukan justru melindungi pelaku. Penting bagi negara untuk menunjukkan ketegasan dalam kasus intoleransi demi menjaga keadilan, melindungi hak-hak dasar warga negara, dan mencegah terulangnya insiden serupa.

Kasus ini menjadi pengingat penting bahwa penegakan hukum yang adil dan tegas adalah kunci untuk memastikan Indonesia tetap menjadi negara hukum yang aman dan menjunjung tinggi keberagaman bagi seluruh rakyatnya. Mari kita terus mengawal kasus ini agar keadilan benar-benar ditegakkan dan korban mendapatkan perlindungan yang semestinya.