Belakangan ini, publik dihebohkan dengan kabar sengketa hukum antara Jawa Pos dan sosok legendarisnya, Dahlan Iskan. Berita ini tentu menarik perhatian, mengingat peran besar Dahlan Iskan dalam membesarkan nama Jawa Pos di kancah media nasional. Namun, jangan salah sangka dulu! Direktur Jawa Pos Holding, Hidayat Jati, menegaskan bahwa ini sama sekali bukan soal dendam atau pengkhianatan. Justru, proses hukum ini adalah langkah penting demi menyelamatkan aset perusahaan dan merapikan tata kelola yang ada.
Berikut satu kalimat caption yang menarik, relevan, dan informatif dalam Bahasa Indonesia untuk gambar ilustrasi artikel tersebut, dengan gaya bahasa caption berita pada umumnya: **Direktur Jawa Pos menegaskan sengketa dengan Dahlan Iskan merupakan langkah demi menyelamatkan aset perusahaan dan memperbaiki tata kelola, bukan dilatarbelakangi motif pribadi.**
Simak ulasan lengkapnya dalam artikel terkait: direktur jawa buka
Lalu, apa sebenarnya yang terjadi? Mengapa langkah hukum ini harus ditempuh? Mari kita selami lebih dalam duduk perkara yang sebenarnya, agar kita semua bisa memahami persoalan ini dari sudut pandang yang lebih utuh.
Mengapa Sengketa Ini Terjadi? Fokus pada Penertiban Aset
Hidayat Jati menegaskan, sengketa hukum Jawa Pos dengan Dahlan Iskan dan Nany Wijaya ini murni terkait penertiban aset. Bagi sebuah korporasi, merapikan pembukuan dan menjaga tata kelola perusahaan adalah hal yang wajib dilakukan untuk memastikan kejelasan status kepemilikan asetnya. Ini bukan upaya untuk mengingkari peran besar Dahlan Iskan di masa lalu, melainkan bagian dari “bersih-bersih” perusahaan yang sudah lama direncanakan.
Akar Masalah: Praktik Nominee di Masa Lalu
Akar masalah dari sengketa aset yang kini mencuat ternyata bermula dari praktik bisnis di masa lalu, khususnya di era kepemimpinan Dahlan Iskan. Saat itu, industri media di Indonesia, di bawah aturan SIUPP era Presiden Soeharto, wajib memiliki izin yang diterbitkan atas nama pribadi. Akibatnya, banyak aset dan saham perusahaan dititipkan atau didaftarkan atas nama perorangan, biasanya para direksi, dalam praktik yang dikenal sebagai praktik nominee.
Sayangnya, praktik ini terus berlanjut bahkan setelah aturan SIUPP dicabut pasca-Reformasi. Sejak wafatnya pendiri Jawa Pos, Eric Samola, pada akhir tahun 2000, upaya penertiban aset dan balik nama sudah mulai didorong oleh pemegang saham mayoritas. Namun, karena jumlah aset yang sangat banyak dan tersebar di berbagai lokasi, proses ini memakan waktu yang sangat lama dan rumit. Ada yang bisa diselesaikan secara damai, tetapi ada pula yang akhirnya berujung pada sengketa hukum.
Peran Tax Amnesty 2016 dalam Penertiban Aset
Momentum program tax amnesty pemerintah pada tahun 2016 menjadi titik penting bagi Jawa Pos untuk merapikan seluruh aset perusahaan. Hasil dari program pengampunan pajak ini sudah masuk dalam Laporan Keuangan (LK) yang diaudit resmi dan disahkan melalui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Jawa Pos. Pada RUPS tersebut, keputusan pemegang saham bulat untuk melanjutkan upaya penertiban aset ini.
Dahlan Iskan dan Nany Wijaya: Status Hukum dan Kasus PT Dharma Nyata
Dalam proses penertiban ini, Hidayat Jati mengakui ada beberapa aset yang bersinggungan dengan kepemilikan atau transaksi atas nama pihak lain, termasuk Dahlan Iskan. Beruntungnya, berkat pendekatan yang baik, sebagian besar persoalan terkait aset-aset Pak Dahlan yang tadinya rumit bisa diselesaikan dengan damai.
Contohnya, kewajiban Dahlan Iskan yang timbul dari investasi pribadinya pada proyek PLTU di Kalimantan Timur dan proyek pengolahan nanas telah diselesaikan melalui kompensasi saham. Inilah yang menjelaskan mengapa saham Dahlan Iskan di Jawa Pos kini berada di angka 3,8 persen.
Namun, tidak semua aset bisa diselesaikan dengan cara damai, salah satunya adalah kasus PT Dharma Nyata yang melibatkan mantan Direktur Jawa Pos, Nany Wijaya. Menurut Jawa Pos, perusahaan memiliki bukti kuat bahwa aset PT Dharma Nyata adalah milik Jawa Pos. Bahkan, PT Dharma Nyata rutin membayar dividen kepada Jawa Pos selama bertahun-tahun. Masalah muncul ketika pembayaran dividen ini tiba-tiba berhenti sejak tahun 2017, tepat setelah Nany Wijaya dicopot dari holding. Karena itulah, aset PT Dharma Nyata harus Jawa Pos selamatkan.
Sebagai informasi, Dahlan Iskan dan Nany Wijaya sendiri telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Ditreskrimum Polda Jawa Timur atas dugaan tindak pidana pemalsuan surat dan penggelapan aset. Penetapan tersangka ini merupakan tindak lanjut dari laporan Rudy Ahmad Syafei Harahap.
Langkah Berat Jawa Pos: Menyelamatkan Aset Demi Kepatuhan Hukum
Hidayat Jati menegaskan bahwa pilihan untuk menempuh jalur hukum adalah keputusan yang sangat berat dan telah dipertimbangkan secara matang oleh direksi. Namun, langkah ini menjadi keharusan.
“Sebab, aset Jawa Pos harus diselamatkan dan hukum harus dipatuhi,” tegas Jati.
Ini bukan tentang perseteruan pribadi, melainkan kewajiban direksi untuk menjaga integritas dan keberlangsungan perusahaan. Tata kelola perusahaan yang sehat menuntut kejelasan status kepemilikan aset, dan inilah yang sedang diupayakan oleh manajemen Jawa Pos.
Pintu Negosiasi Tetap Terbuka
Meskipun tegas dalam menempuh proses hukum, Hidayat Jati mengungkapkan bahwa Jawa Pos selalu siap untuk melakukan negosiasi dengan Dahlan Iskan. Syaratnya sederhana: harus ada niat baik dan negosiasi didasarkan pada fakta hukum yang jelas.
“Kami selalu terbuka untuk itu karena kami sadar jika tidak paham betul atas duduk perkara hukum yang ada, akan mudah muncul salah persepsi,” pungkasnya. Ini menunjukkan bahwa Jawa Pos tetap mengedepankan penyelesaian yang transparan dan adil, demi kebaikan semua pihak.
Kesimpulan:
Singkatnya, sengketa antara Direktur Jawa Pos dan Dahlan Iskan ini adalah bagian dari komitmen perusahaan untuk menyelamatkan aset dan menegakkan tata kelola yang baik, bukan upaya untuk melupakan jasa-jasa Dahlan Iskan. Ini adalah konsekuensi dari praktik masa lalu yang kini harus ditertibkan demi kejelasan hukum dan keberlanjutan bisnis. Semoga dengan penjelasan ini, masyarakat bisa lebih memahami akar masalah dan tujuan sebenarnya dari langkah hukum yang diambil oleh Jawa Pos.