Ketegangan di Timur Tengah terus memanas, menarik perhatian dunia pada setiap perkembangan yang terjadi antara Iran dan Israel. Di tengah rentetan serangan dan balasan yang tak berkesudahan, sebuah pernyataan menggema dari Teheran: Iran ingin Benjamin Netanyahu bertekuk lutut! Ini bukan sekadar retorika kosong, melainkan sebuah deklarasi yang sarat makna, mencerminkan ambisi strategis Iran yang lebih dalam dan mengisyaratkan babak baru dalam konflik regional yang telah lama berkecamuk. Apa sebenarnya yang dimaksud dengan “bertekuk lutut” dalam konteks ini, dan bagaimana dampaknya terhadap peta geopolitik global? Artikel ini akan mengupas tuntas narasi di balik pernyataan dramatis ini, menganalisis akar konflik, peran aktor eksternal, hingga implikasi luasnya bagi masa depan peradaban.
Ancaman “Bertekuk Lutut”: Deklarasi Iran dan Asal-usul Konflik Terkini
Pernyataan yang menuntut Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu untuk “bertekuk lutut” datang langsung dari pucuk pimpinan militer Iran. Mayor Jenderal Abdolrahim Mousavi, Kepala Staf Angkatan Bersenjata Iran, dengan tegas menyatakan bahwa Teheran akan terus melanjutkan operasi pembalasan terhadap Israel “dengan kekuatan penuh” hingga Netanyahu benar-benar “tidak berdaya” dan tunduk. Deklarasi ini bukan hanya gertakan, melainkan penegasan komitmen Iran terhadap operasi yang dinamai Operation True Promise III, yang diklaim akan terus berlanjut tanpa gangguan.
Eskalasi konflik yang memuncak ini bermula pada 13 Juni, ketika Israel melancarkan serangkaian serangan yang menargetkan fasilitas nuklir dan militer Iran. Tel Aviv berdalih bahwa serangan tersebut bertujuan untuk mencegah Teheran memproduksi senjata nuklir. Namun, Iran tidak tinggal diam. Balasan datang dengan cepat dan masif, berupa rentetan rudal dan serangan drone yang menghantam wilayah Israel. Salah satu insiden signifikan adalah serangan rudal Iran yang dilaporkan menghantam rumah sakit di Israel, memicu kemarahan besar dari Netanyahu.
Ketegangan semakin meruncing ketika Iran tidak hanya membalas ke Israel, tetapi juga menyerang pangkalan militer Amerika Serikat di Qatar. Tindakan ini merupakan pesan tegas dari Teheran bahwa mereka memandang siapa pun yang terlibat, baik secara langsung maupun tidak langsung, sebagai musuh dalam konflik ini. Pernyataan Jenderal Mousavi tentang “sifat dasar dari tindakan kriminal ini tidak akan dibiarkan tanpa respons, terlepas dari tingkat kerusakannya” menegaskan tekad Iran untuk membalas setiap agresi, sekaligus menunjukkan bahwa konflik ini jauh melampaui batas geografis Israel dan Iran.
Intervensi Amerika Serikat: Napas Buatan atau Bara Api?
Kehadiran Amerika Serikat dalam konflik ini menjadi faktor pengubah dinamika yang signifikan. Presiden AS Donald Trump, yang digambarkan oleh Mayor Jenderal Mousavi sebagai pihak yang “ikut campur” dalam urusan perang Iran dan Israel, dituding berupaya menyelamatkan Tel Aviv, khususnya Benjamin Netanyahu. Mousavi bahkan menyebut intervensi Trump sebagai upaya untuk memberikan “pernapasan buatan” kepada Netanyahu yang “tumbang di bawah beban kekalahan.”
Intervensi AS ini tidak hanya berupa dukungan diplomatik, melainkan juga aksi militer langsung. Atas perintah Trump, pesawat-pesawat pengebom AS menargetkan tiga fasilitas nuklir utama Iran di Isfahan, Natanz, dan Fordow pada 22 Juni dini hari. Serangan ini memicu reaksi keras dari Teheran, yang menuduh Washington melanggar kedaulatan negara mereka. Netanyahu sendiri, setelah serangan AS tersebut, mengklaim bahwa Israel “sangat, sangat dekat untuk menyelesaikan” dua target utamanya: menghentikan ancaman nuklir dan rudal balistik Iran. Ia bahkan mengapresiasi bantuan Trump untuk Israel, meskipun AS membantah terlibat secara langsung dalam “perang” tersebut.
Menariknya, setelah pangkalan AS di Qatar diserang oleh Iran, Trump mengumumkan bahwa gencatan senjata telah disepakati antara Iran dan Israel. Namun, Teheran segera membantah keras klaim tersebut, menegaskan bahwa tidak ada gencatan senjata yang disepakati dan konflik masih terus berlangsung. Penolakan Iran ini menyoroti diskoneksi antara narasi Washington dan realitas di lapangan, serta memperlihatkan bahwa upaya diplomatik yang disuarakan oleh AS mungkin tidak sejalan dengan tujuan Iran. Sementara itu, Iran juga mengecam AS karena menyambut Netanyahu di tengah perang Gaza, menunjukkan ketidakpuasan mereka terhadap dukungan tanpa syarat AS terhadap Israel.
Melampaui Medan Perang: Makna Sejati “Bertekuk Lutut”
Frasa “bertekuk lutut” dalam konteks konflik Iran-Israel memiliki resonansi yang jauh lebih dalam daripada sekadar kekalahan militer. Bagi Iran, memaksa Netanyahu “bertekuk lutut” berarti mencapai pengakuan atas kekuatan dan pengaruh regional mereka, serta mengakhiri dominasi Israel yang didukung Barat di Timur Tengah. Ini adalah tentang pergeseran keseimbangan kekuasaan, bukan hanya kemenangan di medan pertempuran.
Menariknya, istilah “bertekuk lutut” ini juga pernah digunakan oleh Netanyahu sendiri. Ia pernah mengungkapkan kekhawatirannya bahwa taktik Hamas bisa membuat Israel “bertekuk lutut”, menunjukkan betapa gentingnya situasi ini bagi persepsi kekuatan dan kedaulatan. Lebih lanjut, Pemimpin Tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei, bahkan pernah mengejek pidato Netanyahu di Kongres AS, menyatakan bahwa Israel dan AS telah gagal membuat Hamas “bertekuk lutut.” Ini menggarisbawahi bahwa bagi Iran, “bertekuk lutut” adalah tentang kegagalan mencapai tujuan strategis dan pengakuan atas keterbatasan kekuatan.
Simbolisme ini diperkuat dengan keberadaan “Jam Kiamat Israel” atau Israel Doomsday Clock di Palestine Square, Teheran. Jam digital ini, yang dipasang sejak 2017, menghitung mundur hari-hari hingga berakhirnya negara Yahudi, sesuai prediksi Ayatollah Ali Khamenei pada 2016 bahwa “rezim Zionis” akan binasa dalam 25 tahun. Meskipun klaim Israel tentang kehancuran jam tersebut dalam serangan mereka terbukti salah, dengan video yang menunjukkan jam tersebut masih utuh dan beroperasi penuh, keberadaannya menegaskan bahwa tujuan Iran adalah penghancuran eksistensial atau setidaknya penundukan total terhadap apa yang mereka seanggap sebagai rezim penjajah.
Pada dasarnya, tujuan tersembunyi Israel di balik serangkaian serangan ini adalah menggulingkan rezim di Teheran. Netanyahu berharap serangan tersebut akan memicu kerusuhan dan pemberontakan massa yang akan menggulingkan Republik Islam Iran. Ia bahkan secara terbuka menyerukan rakyat Iran untuk bersatu dan memperjuangkan kemerdekaan dari “rezim yang jahat dan menindas.” Namun, harapan ini adalah pertaruhan besar. Hingga kini, tidak ada tanda-tanda reaksi berantai yang signifikan, dan kekuatan sebenarnya di Iran, yaitu Korps Garda Revolusi Iran (IRGC) dan institusi terkait, justru semakin mengendalikan angkatan bersenjata dan perekonomian, berpotensi mengarahkan Iran menjadi lebih konfrontatif.
Geopolitik Global dan Pertaruhan Peradaban
Konflik Iran-Israel bukanlah sekadar perseteruan regional; ini adalah perang proksi yang berpotensi menyeret Amerika Serikat ke medan tempur secara langsung, dengan implikasi global yang sangat luas. Pertanyaan besar yang kini dihadapi dunia adalah: apa artinya bila AS benar-benar menyerang Iran? Jawabannya, menurut banyak analis, adalah suram: dunia akan dipimpin oleh para agresor dan pembenci, bukan negarawan atau pemimpin bermoral.
Narasi yang menyatakan bahwa “ini adalah pertempuran untuk bertahan hidup” yang digaungkan oleh Benjamin Netanyahu justru mengungkap ketakutan yang dikapitalisasi secara sistematis oleh kubu Zionis. Masalah utamanya, menurut beberapa pandangan, bukanlah pada senjata nuklir Iran. Bahkan Direktur Intelijen Nasional AS, Tulsi Gabbard, pernah menyatakan bahwa Iran tidak sedang mengembangkan senjata nuklir. Isu fundamentalnya adalah penolakan Barat terhadap kedaulatan Iran, kemerdekaan bangsa Timur, dan keberpihakan Iran kepada Palestina. Ini adalah perang peradaban, bukan sekadar pertarungan geopolitik.
Analis geopolitik sering membandingkan situasi Iran dengan Yugoslavia, sebuah negara multi-etnis yang dipaksa bertekuk lutut oleh intervensi asing. Jika Iran jatuh akibat agresi, risiko perang saudara, disintegrasi, dan bencana kemanusiaan berskala besar sangat nyata, seperti yang terjadi di Irak dan Libya. Ini menunjukkan bahwa kekuatan dominan di dunia berisiko menjadi fabrikator kehancuran, bukan penjaga perdamaian.
Secara strategis, Iran bukan hanya simbol pertahanan Palestina, tetapi juga penghubung penting antara Asia Tengah, Timur Tengah, dan jalur energi global. Kekuatan Iran mampu menahan ekspansi AS dan NATO ke jantung Eurasia. Jika Iran dikendalikan Barat, Rusia akan kehilangan “tembok selatannya,” dan China akan kehilangan akses darat strategis ke Timur Tengah. Oleh karena itu, perang ini bukan hanya konflik Israel-Iran semata, melainkan pertarungan untuk menentukan arsitektur dunia pasca-hegemonik: apakah dunia akan melanjutkan tatanan multipolar dengan kekuatan yang seimbang, atau kembali ke dunia unipolar yang didominasi oleh satu negara dan satu ideologi neoliberal Barat yang brutal.
Ironisnya, Iran telah menunjukkan niat baik melalui penandatanganan JCPOA (Joint Comprehensive Plan of Action) pada 2015, sebuah kesepakatan internasional yang membatasi pengayaan uranium Iran. Namun, kesepakatan ini dihancurkan secara sepihak oleh Presiden Trump pada 2018. Ini memperlihatkan bahwa yang dikejar oleh AS dan Israel bukanlah denuklirisasi, melainkan regime change—perubahan rezim.
Dampak Ekonomi dan Masa Depan yang Tidak Pasti
Konsekuensi dari konflik yang semakin memanas ini tidak hanya terbatas pada kehancuran fisik dan politik, tetapi juga instabilitas ekonomi global yang parah. Iran, sebagai salah satu penghasil minyak terbesar dunia, memegang peranan krusial dalam rantai pasokan energi global. Jika perang berkecamuk dan Selat Hormuz diblokade, harga minyak bisa meroket, memicu inflasi global, krisis energi di Eropa dan Asia, serta memperburuk ketimpangan ekonomi yang sudah ada.
Indonesia, sebagai negara net-importir minyak dan komoditas, akan terdampak keras. Subsidi energi bisa membengkak, nilai tukar rupiah tertekan, dan harga pangan naik drastis. Dunia yang dipimpin oleh agresor tidak hanya menyebar peluru, tetapi juga inflasi dan penderitaan ekonomi di belahan bumi yang tidak memiliki andil dalam keputusan perang.
Di tengah ketidakpastian ini, dunia membutuhkan kepemimpinan global alternatif. Namun, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tampak lumpuh, dan Uni Eropa terpecah oleh kepentingan internal. Maka, munculnya koalisi Timur—Iran, Rusia, dan China—dapat dilihat sebagai penyeimbang baru yang menantang dominasi tunggal Barat.
Bagi Indonesia, sebagai negara dengan konstitusi anti-penjajahan dan sejarah solidaritas terhadap Palestina, sikap diam bukanlah pilihan. Indonesia harus bersuara di forum internasional, menyerukan penghentian agresi, membela kedaulatan bangsa lain, dan mendorong diplomasi. Ini bukan soal berpihak pada Iran, melainkan berpihak pada dunia yang lebih adil, damai, dan bebas dari logika kekuasaan brutal.
Kesimpulan
Pernyataan “Iran ingin Benjamin Netanyahu bertekuk lutut!” bukan sekadar seruan perang, melainkan cerminan dari pertarungan geopolitik yang kompleks dan sarat makna. Ia mencakup ambisi strategis, dendam historis, dan pertaruhan atas tatanan dunia. Bagi Iran, “bertekuk lutut” berarti pengakuan atas kegagalan Israel dan sekutunya untuk mendominasi kawasan, serta penegasan posisi Iran sebagai kekuatan regional yang tak dapat diabaikan.
Konflik ini telah menyeret Amerika Serikat ke dalam pusaran yang lebih dalam, dengan klaim gencatan senjata yang dibantah dan serangan langsung terhadap fasilitas nuklir Iran. Di balik narasi “pencegahan nuklir,” tersembunyi tujuan regime change dan penolakan terhadap kedaulatan Iran yang independen. Implikasinya meluas hingga ke ekonomi global, mengancam krisis energi dan inflasi yang dapat mengguncang stabilitas banyak negara, termasuk Indonesia.
Masa depan Timur Tengah, dan bahkan tatanan global, kini berada di persimpangan jalan. Akankah dunia bergerak menuju tatanan multipolar yang lebih seimbang, atau kembali ke dominasi unipolar yang brutal? Debu dan asap konflik masih membumbung tinggi, dan seperti yang diungkapkan, “kita tidak akan tahu perubahan apa yang akan terjadi.” Yang jelas, pernyataan Iran ini telah menarik garis tegas dalam pasir, menandai babak baru dalam perjuangan kekuatan di kancah internasional yang penuh gejolak.