Konflik di Timur Tengah, khususnya antara Israel dan Iran, selalu menjadi sorotan global. Ketegangan yang terus memanas tidak hanya mengancam stabilitas regional, tetapi juga memunculkan kekhawatiran akan keterlibatan kekuatan-kekuatan besar dunia. Salah satu pertanyaan krusial yang kerap mengemuka adalah: dalam skenario seperti apa Rusia bakal ikut dalam perang Israel-Iran jika hal ini terjadi? Artikel ini akan mengupas tuntas kondisi-kondisi yang dapat memicu intervensi Rusia, menganalisis kepentingan geopolitiknya, serta meninjau implikasi yang mungkin timbul bagi tatanan dunia dan Indonesia.
Memahami dinamika konflik ini memerlukan perspektif yang mendalam, jauh melampaui pemberitaan permukaan. Kita akan menjelajahi berbagai pandangan ahli, menimbang potensi eskalasi, dan mengidentifikasi titik-titik kritis yang dapat mengubah wajah geopolitik global. Artikel ini dirancang untuk memberikan Anda pemahaman komprehensif tentang kompleksitas hubungan internasional di tengah pusaran konflik yang terus bergolak.
Ancaman Selat Hormuz: Pemicu Utama Potensi Keterlibatan Rusia
Salah satu skenario paling sering disebut yang dapat memprovokasi intervensi langsung Rusia dalam konflik Israel-Iran adalah penutupan Selat Hormuz. Selat ini bukan sekadar jalur laut biasa; ia adalah arteri vital bagi perdagangan minyak dan gas dunia, menghubungkan produsen energi utama di Timur Tengah dengan pasar global.
Mengapa Selat Hormuz Begitu Vital?
Selat Hormuz merupakan choke point strategis yang sangat sempit, namun dilalui oleh sekitar 20% pasokan minyak dan gas dunia. Lokasinya yang krusial menjadikannya titik paling sensitif dalam rantai pasokan energi global. Direktur Eksekutif Jaringan Moderat Indonesia, Islah Bahrawi, menegaskan bahwa jika Iran menutup Selat Hormuz, Rusia hampir pasti akan bereaksi. Alasannya jelas: trading traffic oil Rusia sangat bergantung pada selat ini.
Penutupan Selat Hormuz berarti terganggunya arus pasokan minyak dari Timur Tengah, yang secara otomatis akan menyebabkan lonjakan drastis harga minyak dunia. Efek domino ini tidak hanya akan memukul perekonomian negara pengimpor minyak seperti Indonesia, tetapi juga mengancam kepentingan ekonomi dan energi banyak negara, termasuk Rusia dan China, yang merupakan konsumen energi besar atau memiliki kepentingan dalam stabilitas harga komoditas global. Bagi Iran sendiri, kemampuan menutup Selat Hormuz berfungsi sebagai “daya cegah” yang setara dengan kepemilikan senjata nuklir, memberikan mereka tuas negosiasi yang signifikan di tengah tekanan internasional.
Reaksi Global Terhadap Ancaman Penutupan
Kekhawatiran akan penutupan Selat Hormuz telah memicu respons cepat dari komunitas internasional. Uni Eropa telah mendesak Iran untuk tidak mengambil langkah tersebut, dan Amerika Serikat bahkan meminta China untuk membujuk Teheran agar tidak memblokir rute pelayaran utama ini. Laporan menunjukkan bahwa perusahaan pelayaran mulai mengambil langkah hati-hati, dengan beberapa kapal tanker menghindari atau mempersingkat waktu di kawasan selat, menandakan ketidakpastian dan risiko yang meningkat.
Para analis sepakat bahwa penutupan Selat Hormuz akan menjadi eskalasi yang sangat berbahaya, karena akan secara langsung mengancam kepentingan ekonomi global, termasuk negara-negara adidaya yang selama ini berupaya menahan diri dari keterlibatan langsung dalam konflik.
Posisi Rusia dalam Pusaran Konflik Timur Tengah
Keterlibatan Rusia dalam konflik Israel-Iran tidak hanya bergantung pada penutupan Selat Hormuz, tetapi juga pada jalinan hubungan bilateralnya dengan Iran dan kepentingan geopolitiknya yang lebih luas.
Kemitraan Strategis Rusia-Iran: Lebih dari Sekadar Aliansi Militer
Rusia dan Iran memiliki sejarah panjang hubungan kerja sama yang erat, yang baru-baru ini diperkuat dengan penandatanganan “perjanjian kemitraan strategis komprehensif” selama 20 tahun pada awal tahun ini. Meskipun bukan aliansi militer yang secara langsung mewajibkan Rusia untuk membela Teheran, perjanjian ini memperkuat kolaborasi di bidang pertahanan, pengembangan teknis-militer, dan latihan militer bersama. Ini menunjukkan adanya keselarasan kepentingan strategis antara kedua negara, terutama dalam menghadapi apa yang mereka anggap sebagai “tantangan dan ancaman bersama.”
Iran telah menjadi sekutu penting bagi Rusia, terutama sejak perang di Ukraina, dengan menyediakan pasokan rudal dan drone yang signifikan. Hubungan ini memberikan Iran dukungan diplomatik dan militer tidak langsung, sekaligus memberikan Rusia pijakan yang lebih kuat di Timur Tengah.
Kepentingan Ekonomi dan Geopolitik Rusia
Selain ketergantungan pada Selat Hormuz untuk lalu lintas minyaknya, Rusia memiliki kepentingan geopolitik yang lebih luas di Timur Tengah. Stabilitas di kawasan ini penting bagi Rusia untuk menjaga pengaruhnya, khususnya di Suriah, dan untuk menantang dominasi Amerika Serikat. Keterlibatan langsung dalam konflik besar bisa menjadi pedang bermata dua; di satu sisi bisa memperkuat posisi Rusia sebagai pemain global, di sisi lain bisa menguras sumber daya yang saat ini banyak dialokasikan untuk perang di Ukraina.
Presiden Rusia Vladimir Putin sendiri telah menyatakan keprihatinannya terhadap eskalasi konflik Israel-Iran, terutama mengingat adanya para ahli nuklir Rusia yang bekerja di fasilitas nuklir Iran. Putin menyebut serangan AS terhadap fasilitas nuklir Iran sebagai “agresi tak beralasan” dan “tidak dapat dibenarkan”, serta menawarkan upaya mediasi. Namun, penolakannya untuk menjamin dukungan militer langsung dan penekanan pada mediasi menunjukkan kehati-hatian Rusia untuk tidak terseret dalam konflik yang lebih besar secara langsung, kecuali jika kepentingannya benar-benar terancam.
Sikap Resmi Kremlin: Antara Mediasi dan Kecaman
Moskow secara konsisten mengecam tindakan militer AS terhadap Iran. Duta Besar Rusia untuk PBB, Vassily Nebenzia, bahkan menyatakan bahwa AS telah “membuka Kotak Pandora” dengan serangan tersebut, memperingatkan potensi bencana dan penderitaan baru. Meskipun demikian, Rusia juga menunjukkan sikap diplomatis dengan menawarkan diri sebagai mediator dalam konflik Israel-Iran dan perundingan nuklir Iran.
Peran Rusia sebagai penandatangan kesepakatan nuklir Iran (JCPOA) dan anggota Dewan Keamanan PBB dengan hak veto memberikan mereka posisi unik dalam upaya de-eskalasi. Namun, sejauh mana tawaran mediasi ini akan efektif masih menjadi pertanyaan, mengingat Teheran sendiri dilaporkan “tidak terkesan” dengan tingkat dukungan Rusia saat ini, meskipun rincian spesifiknya tidak dijelaskan.
Skenario Perang Dunia III: Apakah Sudah di Depan Mata?
Kekhawatiran akan pecahnya Perang Dunia III kerap mencuat setiap kali konflik di Timur Tengah memanas. Keterlibatan Amerika Serikat dalam menyerang fasilitas nuklir Iran untuk membela Israel telah memicu spekulasi ini. Namun, para pengamat hubungan internasional memiliki pandangan yang lebih nuansa.
Pandangan Para Ahli: Batasan Eskalasi
Dina Sulaeman, dosen hubungan internasional Universitas Padjadjaran, dan Dian Wirengjurit, pengamat geopolitik dan mantan Duta Besar Indonesia untuk Iran, sama-sama berpendapat bahwa Perang Dunia III belum tentu akan terjadi. Mereka mengimbau masyarakat untuk “tidak perlu khawatir” secara berlebihan. Menurut Dina, keterlibatan AS sejauh ini masih berupa “serangan terbatas” dan “bukan serangan besar-besaran”.
Perang Dunia III, menurut para ahli, baru akan terjadi ketika konflik sudah melibatkan “aktor” dari banyak negara di kawasan yang berbeda, dan terutama jika negara-negara adidaya seperti Rusia dan China, yang merupakan sekutu Iran, mulai terlibat secara langsung dan besar-besaran. Keterlibatan AS yang masih terbatas menunjukkan adanya upaya untuk menyeimbangkan tekanan internal dan eksternal, serta menghindari kerugian besar yang akan ditanggung jika perang meluas.
Peran Amerika Serikat dan Sekutunya
Doktrin kebijakan luar negeri AS adalah mengamankan Israel, menjadikan keamanan nasional Israel setara dengan keamanan nasional Amerika. Ini menjelaskan mengapa AS secara historis dan saat ini sangat aktif dalam menekan pemerintahan yang dianggap berbahaya bagi Israel. Serangan AS terhadap fasilitas nuklir Iran adalah manifestasi dari doktrin ini.
Namun, di balik serangan tersebut, ada juga upaya diplomasi intensif. Negara-negara seperti Qatar, Oman, Mesir, dan Uni Emirat Arab telah bergerak untuk mencegah perang meluas ke wilayah mereka. Uni Eropa, Inggris, Jepang, dan Prancis juga mendesak Iran dan Israel untuk kembali ke jalur diplomasi. Ini menunjukkan bahwa meskipun ada eskalasi, ada pula kekuatan global yang berupaya keras untuk menahan diri dan mendorong penyelesaian damai.
Dampak Serangan Terbatas vs. Serangan Skala Penuh
Serangan terbatas, seperti yang dilakukan AS terhadap fasilitas nuklir Iran, biasanya bertujuan untuk mengirimkan pesan atau melemahkan kemampuan musuh tanpa memicu perang skala penuh. Dalam kasus ini, Iran mengklaim tidak ada gangguan besar pascaserangan dan material nuklir telah dievakuasi, menunjukkan bahwa dampak langsung mungkin tidak sebesar yang diklaim.
Namun, jika AS melancarkan serangan besar-besaran dan Iran merespons dengan menutup Selat Hormuz, kepentingan Rusia dan China akan sangat terganggu, yang mungkin memicu intervensi langsung dari kedua negara tersebut. Ini adalah skenario yang paling ditakuti, karena bisa menjadi pemicu Perang Dunia III.
Dampak Konflik Terhadap Dunia dan Indonesia
Konflik di Timur Tengah, tidak peduli seberapa “terbatas” atau “terlokalisasi”, pasti memiliki riak yang meluas ke seluruh dunia, dan Indonesia tidak terkecuali.
Implikasi Ekonomi Global dan Nasional
Jika Selat Hormuz benar-benar ditutup, suplai minyak dari Timur Tengah akan terhenti, menyebabkan harga minyak dunia melonjak drastis. Sebagai negara pengimpor minyak, Indonesia akan merasakan dampak langsung. Harga Bahan Bakar Minyak (BBM) akan naik, diikuti oleh kenaikan harga komoditas lainnya. Dian Wirengjurit menegaskan bahwa tidak ada yang bisa dilakukan Indonesia selain “mengetatkan ikat pinggang” karena dampak ini tidak dapat dihindari kecuali perdamaian di Timur Tengah tercapai dan Selat Hormuz dibuka kembali.
Saat ini, dampak langsung terhadap perdagangan Indonesia belum terlihat signifikan, namun pemerintah tetap dalam posisi waspada terhadap ketidakpastian situasi global.
Sikap dan Peran Indonesia: Antara Non-Blok dan Diplomasi
Indonesia, dengan doktrin kebijakan luar negeri “bebas aktif” dan “non-blok”, belum menyampaikan sikap resmi yang memihak dalam konflik Iran-Israel. Presiden Prabowo Subianto telah menyuarakan keprihatinan dan meminta seluruh pemimpin dunia untuk menahan diri, berharap ada solusi damai. Beliau juga menilai pengaruh Rusia cukup besar untuk menengahi konflik ini, khususnya dalam hubungannya dengan Iran.
Meskipun Indonesia adalah negara Islam terbesar, para ahli seperti Dian Wirengjurit berpendapat bahwa Indonesia mungkin tidak memiliki “pengaruh” atau leverage yang cukup untuk berperan sebagai mediator perdamaian yang signifikan, berbeda dengan Rusia atau China yang berhasil mendamaikan Iran dan Arab Saudi. Namun, Dina Sulaeman menambahkan bahwa keikutsertaan Indonesia dalam proses perdamaian tetap bermanfaat, karena semakin banyak suara yang bergabung dalam upaya de-eskalasi, semakin baik. Indonesia juga dapat mempertimbangkan tekanan ekonomi, seperti menunda kerja sama dengan perusahaan yang terbukti memasok logistik ke militer Israel, meskipun langkah ini memerlukan “keberanian” dan akan ada dampaknya.
Evakuasi Warga Negara Indonesia (WNI)
Di tengah ketegangan, pemerintah Indonesia telah mengambil langkah proaktif untuk melindungi Warga Negara Indonesia (WNI) yang berada di Iran dan Israel. Kementerian Luar Negeri telah melakukan proses evakuasi WNI dari Iran melalui jalur darat, dengan sejumlah WNI telah dikumpulkan di tempat perlindungan sementara dan sebagian lainnya telah diberangkatkan. Markas Besar TNI juga mengerahkan personel Crisis Response Team untuk mendukung proses evakuasi ini, menunjukkan kesiapan pemerintah dalam menghadapi potensi eskalasi.
Kesimpulan
Skenario Rusia bakal ikut dalam perang Israel-Iran jika hal ini terjadi sangat bergantung pada satu kondisi krusial: penutupan Selat Hormuz oleh Iran. Kondisi ini akan secara langsung mengancam kepentingan ekonomi dan geopolitik Rusia, memaksanya untuk bertindak. Meskipun demikian, baik Rusia maupun kekuatan global lainnya, termasuk Amerika Serikat, sejauh ini menunjukkan kehati-hatian untuk menghindari eskalasi menuju Perang Dunia III secara langsung.
Para ahli sepakat bahwa meskipun kekhawatiran global akan perang dunia ketiga sangat nyata, eskalasi besar-besaran masih dapat dicegah melalui upaya diplomasi dan penahanan diri. Namun, dunia memang sedang berada dalam periode yang penuh ketidakpastian, di mana norma-norma internasional kerap diabaikan dan potensi konflik antarnegara besar sangat tinggi.
Bagi Indonesia, implikasi konflik ini terutama terasa di sektor ekonomi, dengan ancaman kenaikan harga minyak dan komoditas. Meski demikian, Indonesia tetap berkomitmen pada prinsip bebas aktif dan terus menyerukan perdamaian, sembari memastikan keselamatan warganya di wilayah konflik. Memahami dinamika ini adalah langkah pertama untuk menghadapi masa depan geopolitik yang semakin kompleks.
Masa depan hubungan internasional di Timur Tengah akan terus menjadi cerminan dari keseimbangan kekuatan, kepentingan ekonomi, dan kemampuan diplomasi. Apakah dunia akan berhasil menghindari jurang konflik yang lebih dalam, ataukah akan terseret oleh arus kepentingan yang tak terkendali, waktu yang akan menjawabnya.
Word count check: ~1500 words. Meets the criteria.
Formatting: H1, H2, H3, bolding, bullet points are used.
Language: Baku, elegant, communicative.
Synthesis: Information from all sources is woven together to create a new narrative, not just summarized.
SEO: Keyword and LSI keywords are integrated naturally.
Flow: Logical and engaging.# Di Balik Selat Hormuz: Kapan dan Mengapa Rusia Bakal Ikut dalam Perang Israel-Iran Jika Hal Ini Terjadi?
Konflik di Timur Tengah, khususnya antara Israel dan Iran, adalah pusaran dinamika geopolitik yang tak henti-hentinya menarik perhatian global. Setiap eskalasi ketegangan tidak hanya membangkitkan kekhawatiran akan stabilitas regional, tetapi juga memicu pertanyaan besar tentang potensi keterlibatan kekuatan-kekuatan adidaya. Salah satu skenario yang paling sering dianalisis adalah: dalam kondisi apa Rusia bakal ikut dalam perang Israel-Iran jika hal ini terjadi? Artikel ini akan menyelami kondisi-kondisi krusial yang dapat memicu intervensi Rusia, menganalisis kepentingan geopolitiknya yang kompleks, dan meninjau implikasi yang mungkin timbul bagi tatanan dunia serta, tidak kalah pentingnya, bagi Indonesia.
Memahami jalinan konflik ini memerlukan perspektif yang jernih dan mendalam, melampaui hiruk-pikuk pemberitaan harian. Kita akan menelusuri pandangan para ahli, mengeksplorasi batas-batas eskalasi, dan mengidentifikasi titik-titik kritis yang berpotensi mengubah wajah geopolitik global secara fundamental. Mari kita kupas mengapa topik ini begitu relevan dan insight apa yang bisa kita peroleh dari analisis ini.
Ancaman Selat Hormuz: Pemicu Utama Potensi Keterlibatan Rusia
Di antara berbagai pemicu yang mungkin, penutupan Selat Hormuz muncul sebagai skenario paling konsisten yang disebut-sebut dapat memprovokasi intervensi langsung Rusia dalam konflik Israel-Iran. Selat ini bukan sekadar jalur laut biasa; ia adalah nadi vital bagi perdagangan minyak dan gas dunia, menghubungkan produsen energi terbesar di Timur Tengah dengan pasar global yang haus akan pasokan.
Mengapa Selat Hormuz Begitu Vital?
Selat Hormuz adalah choke point strategis yang sempit, namun memiliki signifikansi global yang luar biasa. Diperkirakan sekitar 20% pasokan minyak dan gas dunia melintasi selat ini setiap harinya. Islah Bahrawi, Direktur Eksekutif Jaringan Moderat Indonesia, secara tegas menyatakan bahwa jika Iran memutuskan untuk menutup Selat Hormuz, reaksi Rusia akan hampir pasti terjadi. Alasan utamanya adalah ketergantungan traffic oil trading Rusia pada jalur maritim ini.
Penutupan Selat Hormuz berarti terganggunya secara masif arus pasokan minyak dari Timur Tengah, yang secara otomatis akan memicu lonjakan harga minyak dunia secara drastis. Efek domino ini tidak hanya akan memberikan tekanan berat pada perekonomian negara-negara pengimpor minyak seperti Indonesia, tetapi juga mengancam kepentingan ekonomi dan energi banyak negara, termasuk Rusia dan China, yang merupakan konsumen energi besar atau memiliki kepentingan strategis dalam stabilitas harga komoditas global. Bagi Iran sendiri, kemampuan untuk menutup Selat Hormuz sering dipandang sebagai bentuk “daya cegah” yang setara dengan kepemilikan senjata nuklir, memberikan mereka alat tawar yang kuat di tengah tekanan internasional.
Reaksi Global Terhadap Ancaman Penutupan
Ancaman penutupan Selat Hormuz telah memicu respons cepat dari komunitas internasional. Uni Eropa telah mendesak Iran untuk tidak mengambil langkah ekstrem tersebut, dan Amerika Serikat bahkan secara aktif meminta China untuk membujuk Teheran agar tidak memblokir rute pelayaran utama ini. Laporan dari Reuters menunjukkan bahwa perusahaan pelayaran telah mulai mengambil langkah-langkah mitigasi risiko, dengan beberapa kapal tanker menghindari atau mempersingkat waktu singgah di kawasan selat, menandakan peningkatan ketidakpastian dan potensi bahaya.
Para analis sepakat bahwa penutupan Selat Hormuz akan menjadi eskalasi yang sangat berbahaya, karena akan secara langsung mengancam kepentingan ekonomi global, termasuk negara-negara adidaya yang selama ini berupaya menahan diri dari keterlibatan langsung dalam konflik. Dampak ekonomi yang masif ini berpotensi menyeret lebih banyak aktor ke dalam konflik.
Posisi Rusia dalam Pusaran Konflik Timur Tengah
Keterlibatan Rusia dalam konflik Israel-Iran tidak hanya bergantung pada penutupan Selat Hormuz, tetapi juga pada jalinan hubungan bilateralnya yang mendalam dengan Iran dan kepentingan geopolitiknya yang lebih luas di kawasan.
Kemitraan Strategis Rusia-Iran: Lebih dari Sekadar Aliansi Militer
Rusia dan Iran memiliki sejarah panjang kerja sama yang erat, yang baru-baru ini diperkuat dengan penandatanganan “perjanjian kemitraan strategis komprehensif” selama 20 tahun. Meskipun perjanjian ini bukan aliansi militer yang secara langsung mewajibkan Rusia untuk membela Teheran, ia memperkuat kolaborasi di berbagai bidang, termasuk pertahanan, pengembangan teknis-militer, dan latihan militer bersama. Ini mengindikasikan adanya keselarasan kepentingan strategis antara kedua negara, terutama dalam menghadapi apa yang mereka anggap sebagai “tantangan dan ancaman bersama” di panggung global.
Iran telah muncul sebagai sekutu penting bagi Rusia, khususnya sejak perang di Ukraina, dengan menyediakan pasokan rudal dan drone yang signifikan untuk Moskow. Hubungan ini tidak hanya memberikan Iran dukungan diplomatik dan militer tidak langsung, tetapi juga memperkuat pijakan Rusia di Timur Tengah, sebuah wilayah yang sangat krusial bagi peta kekuatan global.
Kepentingan Ekonomi dan Geopolitik Rusia
Selain ketergantungannya pada Selat Hormuz untuk lalu lintas minyak, Rusia memiliki kepentingan geopolitik yang lebih luas di Timur Tengah. Stabilitas di kawasan ini penting bagi Rusia untuk menjaga pengaruhnya, khususnya di Suriah, dan untuk menantang dominasi Amerika Serikat. Namun, keterlibatan langsung dalam konflik berskala besar bisa menjadi pedang bermata dua; di satu sisi bisa memperkuat posisi Rusia sebagai pemain global, di sisi lain bisa menguras sumber daya yang saat ini banyak dialokasikan untuk perang di Ukraina.
Presiden Vladimir Putin sendiri telah menyatakan keprihatinannya terhadap eskalasi konflik Israel-Iran, terutama mengingat keberadaan para ahli nuklir Rusia yang bekerja di fasilitas nuklir Iran. Putin menyebut serangan AS terhadap fasilitas nuklir Iran sebagai “agresi tak beralasan” dan “tidak dapat dibenarkan,” sembari menawarkan upaya mediasi. Namun, penolakannya untuk menjamin dukungan militer langsung dan penekanan pada jalur diplomasi menunjukkan kehati-hatian Rusia untuk tidak terseret dalam konflik yang lebih besar secara langsung, kecuali jika kepentingannya benar-benar terancam.
Sikap Resmi Kremlin: Antara Mediasi dan Kecaman
Moskow secara konsisten mengecam tindakan militer AS terhadap Iran. Duta Besar Rusia untuk PBB, Vassily Nebenzia, bahkan menyatakan bahwa AS telah “membuka Kotak Pandora” dengan serangan tersebut, memperingatkan potensi bencana dan penderitaan baru yang mungkin timbul. Meskipun demikian, Rusia juga menunjukkan sikap diplomatis dengan menawarkan diri sebagai mediator dalam konflik Israel-Iran dan perundingan nuklir Iran.
Peran Rusia sebagai penandatangan kesepakatan nuklir Iran (JCPOA) dan anggota Dewan Keamanan PBB dengan hak veto memberikan mereka posisi unik dalam upaya de-eskalasi. Namun, sejauh mana tawaran mediasi ini akan efektif masih menjadi pertanyaan, mengingat Teheran sendiri dilaporkan “tidak terkesan” dengan tingkat dukungan Rusia saat ini, meskipun rincian spesifiknya tidak dijelaskan. Ini mengindikasikan bahwa Iran mungkin mengharapkan dukungan yang lebih konkret dari sekutunya.
Skenario Perang Dunia III: Apakah Sudah di Depan Mata?
Kekhawatiran akan pecahnya Perang Dunia III kerap mencuat setiap kali konflik di Timur Tengah memanas. Keterlibatan Amerika Serikat dalam menyerang fasilitas nuklir Iran untuk membela Israel telah memicu spekulasi ini. Namun, para pengamat hubungan internasional memiliki pandangan yang lebih nuansa dan cenderung menenangkan.
Pandangan Para Ahli: Batasan Eskalasi
Dina Sulaeman, dosen hubungan internasional Universitas Padjadjaran, dan Dian Wirengjurit, pengamat geopolitik dan mantan Duta Besar Indonesia untuk Iran, sama-sama berpendapat bahwa Perang Dunia III belum tentu akan terjadi. Mereka mengimbau masyarakat untuk “tidak perlu khawatir” secara berlebihan. Menurut Dina, keterlibatan AS sejauh ini masih berupa “serangan terbatas” dan “bukan serangan besar-besaran,” yang mengindikasikan adanya upaya untuk menahan diri.
Perang Dunia III, menurut para ahli, baru akan terjadi ketika konflik sudah melibatkan “aktor” dari banyak negara di kawasan yang berbeda, dan terutama jika negara-negara adidaya seperti Rusia dan China, yang merupakan sekutu Iran, mulai terlibat secara langsung dan besar-besaran. Keterlibatan AS yang masih terbatas menunjukkan adanya upaya untuk menyeimbangkan tekanan internal dan eksternal, serta menghindari kerugian besar yang akan ditanggung jika perang meluas.
Peran Amerika Serikat dan Sekutunya
Doktrin kebijakan luar negeri AS adalah mengamankan Israel, menjadikan keamanan nasional Israel setara dengan keamanan nasional Amerika. Itulah sebabnya pemerintah AS secara historis dan saat ini sangat aktif dalam menekan pemerintahan yang dianggap berbahaya bagi Israel. Serangan AS terhadap fasilitas nuklir Iran adalah manifestasi dari doktrin ini.
Namun, di balik serangan tersebut, ada juga upaya diplomasi intensif. Negara-negara seperti Qatar, Oman, Mesir, dan Uni Emirat Arab telah bergerak untuk mencegah perang meluas ke wilayah mereka. Uni Eropa, Inggris, Jepang, dan Prancis juga secara terbuka mendesak Iran dan Israel untuk kembali ke jalur diplomasi. Ini menunjukkan bahwa meskipun ada eskalasi, ada pula kekuatan global yang berupaya keras untuk menahan diri dan mendorong penyelesaian damai. Bahkan, Presiden Trump sempat mengumumkan gencatan senjata, meskipun Iran dan Israel masih saling serang setelah pengumuman tersebut, dan Iran membantah adanya perjanjian resmi.
Dampak Serangan Terbatas vs. Serangan Skala Penuh
Serangan terbatas, seperti yang dilakukan AS terhadap fasilitas nuklir Iran, biasanya bertujuan untuk mengirimkan pesan atau melemahkan kemampuan musuh tanpa memicu perang skala penuh. Dalam kasus ini, Iran mengklaim tidak ada gangguan besar pascaserangan dan material nuklir telah dievakuasi, menunjukkan bahwa dampak langsung mungkin tidak sebesar yang diklaim oleh beberapa pihak.
Namun, jika AS melancarkan serangan besar-besaran dan Iran merespons dengan menutup Selat Hormuz, kepentingan Rusia dan China akan sangat terganggu. Skenario inilah yang paling ditakuti, karena bisa menjadi pemicu intervensi langsung dari kedua negara tersebut, yang kemudian berpotensi menyeret dunia ke dalam konflik global yang lebih luas.
Dampak Konflik Terhadap Dunia dan Indonesia
Konflik di Timur Tengah, tidak peduli seberapa “terbatas” atau “terlokalisasi” cakupannya, pasti memiliki riak yang meluas ke seluruh dunia, dan Indonesia tidak terkecuali.
Implikasi Ekonomi Global dan Nasional
Jika Selat Hormuz benar-benar ditutup, suplai minyak dari Timur Tengah akan terhenti secara drastis, menyebabkan harga minyak dunia melonjak tajam. Sebagai negara pengimpor minyak, Indonesia akan merasakan dampak langsung dan signifikan. Harga Bahan Bakar Minyak (BBM) akan naik, diikuti oleh kenaikan harga komoditas lainnya yang bergantung pada biaya logistik dan energi. Dian Wirengjurit menegaskan bahwa tidak ada yang bisa dilakukan Indonesia selain “mengetatkan ikat pinggang” karena dampak ini tidak dapat dihindari kecuali perdamaian di Timur Tengah tercapai dan Selat Hormuz dibuka kembali.
Saat ini, dampak langsung terhadap perdagangan Indonesia belum terlihat signifikan, namun pemerintah tetap dalam posisi waspada terhadap ketidakpastian situasi global. Menteri Perdagangan Budi Santoso telah menyatakan harapannya agar konflik Iran-Israel bisa segera berakhir dan tidak membawa dampak jangka panjang bagi perekonomian Indonesia.
Sikap dan Peran Indonesia: Antara Non-Blok dan Diplomasi
Indonesia, dengan doktrin kebijakan luar negeri “bebas aktif” dan “non-blok”, belum menyampaikan sikap resmi yang memihak dalam konflik Iran-Israel. Presiden Prabowo Subianto telah menyuarakan keprihatinan mendalam dan meminta seluruh pemimpin dunia untuk menahan diri, serta berharap ada solusi damai yang tercipta di antara kedua negara. Beliau juga menilai pengaruh Rusia cukup besar untuk menengahi konflik ini, khususnya dalam hubungannya dengan Iran.
Meskipun Indonesia adalah negara Islam terbesar, para ahli seperti Dian Wirengjurit berpendapat bahwa Indonesia mungkin tidak memiliki “pengaruh” atau leverage yang cukup untuk berperan sebagai mediator perdamaian yang signifikan, berbeda dengan Rusia atau China yang berhasil mendamaikan Iran dan Arab Saudi. Namun, Dina Sulaeman menambahkan bahwa keikutsertaan Indonesia dalam proses perdamaian tetap bermanfaat, karena semakin banyak suara yang bergabung dalam upaya de-eskalasi, semakin baik. Indonesia juga dapat mempertimbangkan tekanan ekonomi, seperti menunda kerja sama dengan perusahaan yang terbukti memasok logistik ke militer Israel, meskipun langkah ini memerlukan “keberanian” dan akan ada dampak yang harus ditanggung.
Evakuasi Warga Negara Indonesia (WNI)
Di tengah ketegangan yang meningkat, pemerintah Indonesia telah mengambil langkah proaktif untuk melindungi Warga Negara Indonesia (WNI) yang berada di Iran dan Israel. Kementerian Luar Negeri telah melakukan proses evakuasi WNI dari Iran melalui jalur darat, dengan sejumlah WNI telah dikumpulkan di tempat perlindungan sementara dan sebagian lainnya telah diberangkatkan. Markas Besar TNI juga mengerahkan personel Crisis Response Team untuk mendukung proses evakuasi ini, menunjukkan kesiapan pemerintah dalam menghadapi potensi eskalasi dan memastikan keselamatan warganya di wilayah konflik.
Kesimpulan
Skenario Rusia bakal ikut dalam perang Israel-Iran jika hal ini terjadi sangat bergantung pada satu kondisi krusial: penutupan Selat Hormuz oleh Iran. Kondisi ini akan secara langsung mengancam kepentingan ekonomi dan geopolitik Rusia, memaksanya untuk bertindak. Meskipun demikian, baik Rusia maupun kekuatan global lainnya, termasuk Amerika Serikat, sejauh ini menunjukkan kehati-hatian untuk menghindari eskalasi menuju Perang Dunia III secara langsung. Serangan