Yogyakarta, zekriansyah.com – Hari Bhayangkara, yang seharusnya jadi momen perayaan hari jadi kepolisian, justru diwarnai aksi unjuk rasa di Yogyakarta. Sekelompok massa menyampaikan kritik tajam terhadap Polri, menegaskan bahwa institusi ini dinilai lebih melayani kekuasaan daripada melindungi rakyat. Artikel ini akan membahas lebih dalam mengapa demo ini terjadi, apa saja kritik yang disampaikan, dan tuntutan apa yang dilayangkan massa agar Anda memahami perspektif publik terhadap peran Polri.
Ilustrasi: Massa berorasi di Yogyakarta pada Hari Bhayangkara, menyuarakan kritik tajam terhadap Polri yang dianggap tidak lagi menjadi penjaga rakyat.
Peringatan Hari Bhayangkara yang Berbeda di Yogyakarta
Pada Senin, 1 Juli 2025, sekitar pukul 16.30 WIB, suasana Hari Bhayangkara di Titik Nol Kilometer Yogyakarta terasa berbeda. Sekelompok massa yang tergabung dalam Aliansi Jogja Memanggil menggelar demonstrasi. Mereka tidak datang untuk merayakan, melainkan untuk menyampaikan kritik keras dan sejumlah tuntutan terkait peran Polri dalam demokrasi dan hak asasi manusia.
Koordinator aksi, Bung Koes, menjadi salah satu orator utama yang menyuarakan pandangan kelompoknya. Ia menegaskan bahwa Polri, sejak awal berdirinya, dinilai tidak pernah benar-benar melayani kepentingan rakyat.
“Polri masih melayani kekuasaan, bukan rakyat,” tegas Bung Koes dalam orasinya.
Menguak Sejarah Polri: Dari Kolonial Hingga Kini
Bung Koes dalam orasinya menguraikan sejarah panjang Polri yang, menurutnya, masih membawa jejak masa lalu. Ia menyebut bahwa secara historis, Polri merupakan kelanjutan langsung dari struktur kepolisian kolonial Hindia Belanda.
“Secara historis, Polri sejatinya merupakan kelanjutan langsung dari struktur kepolisian kolonial Hindia Belanda, seperti Veldpolitie dan Politietroepen, yang dibentuk untuk mengamankan kepentingan ekonomi kolonial, menekan pemberontakan rakyat, serta menjaga stabilitas kekuasaan negara kolonial Hindia Belanda,” jelas Bung Koes.
Setelah kemerdekaan, warisan kolonial itu, menurutnya, justru diadopsi dalam bentuk baru di bawah sistem nasional. Bahkan, di era Orde Baru, Polri yang berada dalam struktur ABRI disebut menjadi alat utama rezim untuk menindas gerakan rakyat dan membungkam lawan politik. Meskipun setelah reformasi Polri sudah dipisahkan dari militer, Bung Koes menilai fungsinya sebagai penjaga kekuasaan masih tetap dipertahankan.
Kritik Anggaran Raksasa dan RUU Polri Kontroversial
Aliansi Jogja Memanggil juga menyoroti alokasi anggaran Polri yang dinilai sangat besar. Untuk tahun 2025, anggaran Polri mencapai Rp 126,62 triliun, dengan belanja pegawai lebih dari Rp 59 triliun. Bahkan setelah ada pemotongan anggaran melalui Inpres No. 1 Tahun 2025, realisasinya tetap mencapai Rp 106 triliun.
“Ironisnya, pemotongan tidak menyentuh pos belanja pegawai dan alat-alat represi. Di tengah kondisi rakyat yang makin sulit mengakses kesehatan, pendidikan, dan pekerjaan layak, negara justru terus menyuntikkan dana raksasa untuk memperkuat aparatus represi,” kritik Bung Koes.
Tak hanya itu, mereka juga mengkritik Rancangan Undang-Undang (RUU) Polri yang sedang dibahas. RUU ini dinilai membuka celah untuk penyadapan tanpa izin pengadilan, pembatasan akses informasi, dan penggalangan intelijen tanpa mekanisme akuntabilitas yang jelas.
“Pasal 14 dan 16 memperkuat fungsi Polri dalam mengawasi dunia digital dan mengatur urusan sipil, menjadikannya lembaga superbody yang menyerap peran Kominfo, BSSN, hingga BIN,” tegas Bung Koes, khawatir hal ini akan menyebabkan tumpang tindih birokrasi dan memperbesar kekuasaan Polri tanpa kontrol publik.
Kekerasan dalam Pengamanan Aksi: Demokrasi Terancam?
Salah satu poin penting yang disuarakan Aliansi Jogja Memanggil adalah kekerasan yang kerap terjadi terhadap massa aksi di berbagai daerah. Mereka menyoroti sejumlah insiden di tahun 2025, antara lain:
- Semarang: Massa aksi diserang gas air mata, empat orang ditangkap.
- Jakarta, Bandung, Malang, Bojonegoro, Jember: Puluhan aktivis dan relawan ditangkap, termasuk tim dokumentasi dan tim medis yang mengalami kekerasan.
Bung Koes menegaskan bahwa kekerasan semacam ini mengancam demokrasi.
“Demokrasi kerakyatan tidak akan pernah lahir di bawah bayang-bayang gas air mata dan borgol,” ujarnya.
Maka dari itu, bagi mereka, Hari Bhayangkara bukanlah hari yang patut dirayakan.
“Kami menegaskan bahwa Hari Bhayangkara bukanlah hari agung yang perlu dirayakan. Ia adalah pengingat atas darah, air mata, dan ketakutan yang terus ditanamkan oleh aparat bersenjata kepada rakyat,” pungkasnya.
Tujuh Tuntutan Mendesak dari Aliansi Jogja Memanggil
Dalam aksinya, Aliansi Jogja Memanggil menyampaikan tujuh tuntutan utama kepada pemerintah dan institusi Polri:
- Lawan balik brutalitas polisi.
- Bebaskan tanpa syarat pejuang demokrasi dan lingkungan yang dijadikan tersangka.
- Usut tuntas kekerasan yang dilakukan Polri dalam pengamanan aksi demonstrasi.
- Usut tuntas kekerasan seksual oleh aparat saat aksi May Day di Jakarta.
- Usut tuntas Tragedi Kanjuruhan.
- Hentikan kriminalisasi terhadap gerakan rakyat.
- Gagalkan RUU Polri.
Kesimpulan
Aksi demonstrasi di Yogyakarta pada Hari Bhayangkara 2025 menjadi pengingat penting bahwa publik menuntut reformasi dan akuntabilitas dari institusi Polri. Kritik tajam mengenai peran historis, penggunaan anggaran, RUU kontroversial, hingga dugaan kekerasan dalam penanganan demonstrasi, menunjukkan adanya harapan besar dari masyarakat agar Polri benar-benar menjadi pelindung dan pelayan rakyat, bukan alat kekuasaan. Tuntutan yang disampaikan oleh Aliansi Jogja Memanggil mencerminkan keinginan kuat untuk mewujudkan demokrasi yang partisipatif dan adil, di mana suara rakyat didengar dan hak asasi dihormati.