Penerimaan siswa baru selalu jadi momen yang penuh cerita. Di Jawa Barat, tahun ini ada satu kebijakan yang cukup menyita perhatian, bahkan memicu pro dan kontra: kebijakan rombel 50. Ini adalah keputusan Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, yang mengizinkan sekolah menengah atas dan kejuruan (SMA/SMK) negeri menampung hingga 50 siswa per kelas. Nah, kebijakan ini rupanya memunculkan keluhan dari sekolah swasta yang merasa dirugikan. Lalu, bagaimana tanggapan Dedi Mulyadi soal polemik ini? Mari kita bedah bersama.
Berikut adalah beberapa pilihan caption dalam Bahasa Indonesia yang memenuhi kriteria Anda: * **Opsi 1 (Menyoroti kontroversi dan pembelaan):** Gubernur Jabar Dedi Mulyadi tegaskan kebijakan rombel 50 di sekolah negeri demi pemerataan pendidikan, meski menuai keluhan dari pihak sekolah swasta. * **Opsi 2 (Lebih fokus pada alasan di balik kebijakan):** Atasi potensi putus sekolah, Gubernur Jabar pertahankan kebijakan rombel 50 demi hak setiap anak bersekolah, meski dikritik sekolah swasta. * **Opsi 3 (Singkat dan padat):** Kebijakan rombel 50 sekolah negeri dibela Gubernur Jabar sebagai solusi pendidikan, ditanggapi keluhan sekolah swasta. Ketiga opsi tersebut singkat, relevan dengan judul dan ringkasan artikel, informatif, serta menggunakan gaya bahasa berita yang umum. Anda bisa memilih yang paling sesuai dengan penekanan yang ingin diberikan.
Baca juga: Ramai-ramai Jam Masuk Sekolah Pukul 06.30 WIB: Kebijakan Dedi Mulyadi dan Respons di Jawa Barat
Kebijakan Rombel 50: Solusi Darurat untuk Masa Depan Pendidikan
Gubernur Dedi Mulyadi mengeluarkan Keputusan Gubernur Nomor 463.1/Kep.323-Disdik/2025 yang memungkinkan penambahan kapasitas rombongan belajar (rombel) hingga maksimal 50 siswa per kelas di SMA dan SMK negeri. Keputusan ini, menurut Dedi, adalah langkah darurat yang diambil demi menjamin hak pendidikan seluruh anak di Jawa Barat.
“Negara tidak boleh menelantarkan warganya, sehingga tidak bersekolah,” tegas Dedi Mulyadi. Ia menambahkan bahwa sistem zonasi dalam Seleksi Penerimaan Murid Baru (SPMB) sering kali membuat banyak anak terhambat masuk sekolah negeri, terutama mereka yang memiliki keterbatasan ekonomi atau jarak rumah yang jauh. Dengan menambah kuota siswa per kelas, diharapkan angka anak putus sekolah di Jawa Barat bisa ditekan. “Daripada rakyat tidak sekolah lebih baik sekolah, daripada mereka nongkrong di pinggir jalan kemudian berbuat sesuatu yang tidak sesuai usianya, lebih baik dia sekolah walaupun sederhana, itu prinsip saya,” ujarnya.
Protes dan Keluhan dari Sekolah Swasta: Merasa Dirugikan dan ‘Dianaktirikan’
Tak lama setelah kebijakan ini digulirkan, suara-suara keberatan mulai muncul dari pengelola sekolah swasta di Jawa Barat. Mereka merasa kebijakan rombel 50 ini menyebabkan minimnya pendaftar di sekolah mereka, bahkan ada yang menuding sekolah negeri melakukan “bajak-membajak siswa”.
Contohnya, SMA/SMK Pasundan 2 Tasikmalaya yang biasanya menerima puluhan pendaftar, pada tahun ajaran ini baru menerima enam calon siswa baru. Situasi serupa juga dirasakan SMA Mekarwangi di Lembang, Bandung Barat, yang hingga kini baru menerima 10 pendaftar, padahal sudah berakreditasi A dan bahkan menggratiskan siswa tidak mampu. Ketua Yayasan Mekarwangi Lembang, Ayi Enoh, mengaku khawatir para guru terancam menganggur jika kondisi ini terus dibiarkan.
Forum Kepala Sekolah Swasta (FKSS) Jawa Barat bahkan berencana menggugat keputusan gubernur ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Mereka menilai, kebijakan ini bertentangan dengan peraturan yang ada dan bisa menyebabkan banyak sekolah swasta gulung tikar karena kehilangan calon siswa.
Jawaban Tegas Dedi Mulyadi: Bukan “Anak Tiri” dan Siap Tanggung Jawab
Menanggapi berbagai keluhan ini, Dedi Mulyadi memberikan jawaban yang lugas. Ia membantah adanya praktik “bajak-membajak siswa” oleh sekolah negeri. “Tidak ada bajak-membajak siswa. Tugas gubernur itu menjaga stabilitas pendidikan. Terpenting bagi saya, rakyat saya bisa sekolah dengan baik dan bisa dijamin biayanya oleh pemerintah,” ujar Dedi.
Dedi bahkan menyebut bahwa banyak sekolah swasta yang mampu mengelola pendidikannya dengan baik justru tetap diminati dan jumlah siswanya penuh, bahkan lebih dulu mendaftar dibanding ke negeri meskipun iurannya mahal. “Artinya, tergantung kualifikasi swastanya,” ucapnya.
Saat ditanya soal anggapan bahwa sekolah swasta seperti dianaktirikan pemerintah daerah, Dedi menjawab singkat, “Saya tidak punya anak tiri.” Ia menekankan bahwa dalam keadaan tertentu, dirinya harus mengambil langkah taktis demi menyelamatkan masa depan pendidikan anak-anak.
Lebih lanjut, Dedi Mulyadi juga memastikan bahwa kebijakan rombel 50 ini bersifat sementara. Pemerintah Provinsi Jawa Barat berkomitmen untuk membangun ruang-ruang kelas baru agar jumlah siswa per kelas bisa kembali normal dalam waktu dekat, ditargetkan paling lama hingga Januari 2026.
Ijazah Tertahan dan Kompensasi: Bentuk Tanggung Jawab Pemerintah
Dalam kesempatan lain, Dedi Mulyadi juga menyoroti masalah ijazah siswa yang seringkali tertahan di sekolah swasta karena tunggakan biaya. Ia menegaskan bahwa sekolah, termasuk swasta, tidak boleh menahan ijazah siswa.
“Seluruh tunggakan siswa di Jawa Barat yang ijazahnya ditahan oleh sekolah, dicatatkan berapa tunggakannya,” jelas Dedi Mulyadi. Ia berjanji, Pemerintah Provinsi Jawa Barat akan melakukan verifikasi dan memberikan kompensasi kepada sekolah-sekolah tersebut, terutama yang belum mendapat bantuan dari Pemda kabupaten/kota atau provinsi. “Kami bertanggung jawab terhadap biaya yang ditimbulkan, karena itu merupakan kewajiban negara,” tegasnya. Ini menunjukkan komitmen pemerintah untuk memastikan hak pendidikan anak tidak terhambat oleh masalah administrasi.
Kesimpulan
Polemik kebijakan rombel 50 dan keluhan dari sekolah swasta memang menjadi isu hangat di dunia pendidikan Jawa Barat. Namun, Gubernur Dedi Mulyadi telah memberikan penjelasannya. Ia menegaskan bahwa kebijakan ini adalah langkah darurat yang bertujuan utama untuk memastikan semua anak di Jawa Barat mendapatkan akses pendidikan yang layak, terutama mereka yang rentan putus sekolah.
Meskipun ada kekhawatiran dari pihak swasta, Dedi Mulyadi optimis bahwa sekolah berkualitas akan tetap diminati dan pemerintah siap mencari solusi bagi yang terdampak. Komitmen untuk membangun ruang kelas baru dan memberikan kompensasi atas ijazah yang tertahan juga menjadi bukti bahwa pemerintah berupaya mencari jalan tengah demi kebaikan bersama dalam dunia pendidikan.