Dedi Mulyadi Fasilitasi Restorative Justice Mahasiswi Unpad: Keadilan Berbasis Nurani

Dipublikasikan 27 Juni 2025 oleh admin
Sosial Politik

Kasus pencurian motor seringkali berakhir dengan proses hukum yang panjang dan rumit. Namun, bagaimana jika ada jalan lain yang mengedepankan perdamaian dan kemanusiaan? Artikel ini akan membahas peran Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, dalam memfasilitasi “restorative justice” (keadilan restoratif) untuk seorang mahasiswi Universitas Padjadjaran (Unpad) yang kehilangan motornya.

Dedi Mulyadi Fasilitasi Restorative Justice Mahasiswi Unpad: Keadilan Berbasis Nurani

Anda akan memahami bagaimana sistem hukum bisa lebih fleksibel, serta melihat pentingnya memaafkan demi masa depan banyak orang. Kisah ini mengajarkan kita tentang empati, kebijaksanaan, dan bagaimana keadilan bisa berpihak pada hati nurani.

Awal Mula Kasus: Motor Hilang, Penadah Terjerat Hukum

Kisah ini bermula pada 17 April 2025, saat Yusra (19), seorang mahasiswi Unpad asal Cibinong, Bogor, kehilangan sepeda motor Beat karburator miliknya. Motor tersebut raib dari parkiran kos-kosannya di kawasan Jatinangor pada dini hari.

Yusra sempat bingung dan baru melapor ke Polsek Jatinangor pada 20 April 2025. Namun, tak disangka, pelaku pencurian sudah tertangkap lebih dulu. Setelah dicocokkan dengan dokumen dan ciri-ciri, motor Yusra ternyata telah dijual oleh pelaku utama, Taufik, kepada seorang warga Garut bernama Usep Rohimat. Usep pun ditetapkan sebagai penadah barang curian.

Saat bertemu langsung dengan Usep di Kejaksaan, Yusra mengaku merasa iba. Usep adalah seorang kepala keluarga dengan tiga anak kecil, dan ia membeli motor tersebut tanpa menyadari bahwa itu adalah barang curian.

“Saya pribadi tidak tega. Apalagi setelah tahu kondisi Pak Usep yang hanya ingin punya motor untuk kerja dan tidak tahu asal-usul motornya,” kata Yusra yang didampingi ibunya.

Restorative Justice: Ketika Hati Nurani Berbicara

Melihat sisi kemanusiaan dalam kasus Usep Rohimat, Dedi Mulyadi turun tangan. Ia mendorong pendekatan Restorative Justice (RJ) dalam proses hukum yang berlangsung di Kejaksaan Negeri Sumedang.

Dedi menjelaskan bahwa dalam pemahaman umum, penadah adalah orang yang sadar menampung atau membeli barang hasil kejahatan. Namun, kasus Usep memiliki kekhususan.

“Usep beli motor murah tanpa surat karena memang ingin punya kendaraan untuk kerja. Tapi ketidaktahuan bukan berarti membenarkan. Makanya saya tanya langsung ke Teteh Yusra, apakah bersedia memaafkan?” kata Dedi.

Yusra pun menjawab dengan mantap:

“Saya ikhlas memaafkan, Pak. Saya berharap ini bisa jadi pelajaran buat Pak Usep, dan semoga beliau ke depan lebih hati-hati.”

Dedi Mulyadi menegaskan bahwa dengan memaafkan, Yusra telah menyelamatkan masa depan satu keluarga kecil.

“Kalau Usep diproses dan divonis dua tahun, berarti seorang ibu dan tiga anak kecil kehilangan tumpuan. Tapi dengan Restorative Justice dan niat baik Teteh Yusra, semuanya bisa selesai lebih adil dan manusiawi.”

Apa Itu Restorative Justice (RJ)?

Restorative Justice (RJ) atau Keadilan Restoratif adalah pendekatan dalam sistem hukum yang fokus pada pemulihan hubungan antara korban, pelaku, dan masyarakat, alih-alih hanya menghukum pelaku.

  • Tujuan utama RJ adalah memperbaiki kerugian yang terjadi akibat tindak pidana, mencegah kejahatan berulang, serta membangun kembali harmoni dalam masyarakat. Proses ini seringkali melibatkan dialog, mediasi, dan kesepakatan damai antara semua pihak yang terlibat.
  • RJ bukan hal baru dalam sistem hukum Indonesia. Nilai-nilai perdamaian dan kekeluargaan sudah terkandung dalam kearifan lokal dan hukum adat kita sejak lama.
  • Penerapan RJ umumnya dipertimbangkan untuk kasus-kasus tindak pidana ringan, seperti pencurian dengan nilai kerugian di bawah Rp10 juta, di mana pelaku bukan residivis dan ada niat baik dari korban untuk berdamai. Kejaksaan Agung sendiri memiliki kebijakan ini untuk membantu warga kecil.

Apresiasi Dedi Mulyadi: Motor Baru dan Bantuan Keluarga

Sebagai bentuk apresiasi atas keikhlasan dan empati Yusra, Dedi Mulyadi menghadiahi sebuah motor baru jenis Honda Scoopy lengkap dengan STNK dan BPKB. Yusra dan ibunya pun menangis haru menerima rezeki tak terduga ini.

“Setiap peristiwa ada hikmahnya. Usep membeli motor untuk menafkahi keluarga. Yusra kehilangan motor, tapi karena ikhlas, sekarang dapat rezeki baru. Ini keadilan yang berpihak pada nurani,” tutur Dedi.

Tak hanya itu, Dedi juga menunjukkan empatinya kepada keluarga Usep. Sebelumnya, beredar video viral di TikTok dari Yanti, kakak Usep, yang mengeluhkan adiknya ditahan dan ada permintaan uang Rp 20 juta untuk pembebasan. Dedi Mulyadi mengklarifikasi bahwa informasi permintaan uang itu tidak jelas dan berpotensi hoaks.

Meski demikian, Dedi tetap memberikan bantuan sebesar Rp 10 juta untuk anak dan istri Usep. Ia juga berjanji akan menanggung biaya hidup istri dan ketiga anak Usep selama proses hukum berlangsung sampai Usep keluar dari tahanan.

Perlu dicatat, perlakuan Restorative Justice ini tidak berlaku untuk pelaku pencurian utama, Taufik, yang disebut Dedi sebagai residivis atau pelaku kejahatan berulang.

Polemik dan Gagasan Keadilan Dedi Mulyadi

Kasus Usep Rohimat ini memperlihatkan konsistensi Dedi Mulyadi dalam pandangannya tentang keadilan untuk kasus-kasus kecil. Dedi memang punya gagasan unik terkait kejahatan ringan, yaitu mengusulkan agar pelaku pencurian dengan kerugian di bawah Rp10 juta tidak dipenjara, melainkan dimasukkan ke “barak militer” untuk diberi pelatihan fisik dan kerja sosial, seperti kuli atau bertani.

Menurut Dedi, proses hukum konvensional untuk pencurian kecil sering menimbulkan ironi, di mana biaya hukum bisa jauh lebih besar dari kerugian yang ditimbulkan, dan pemenjaraan pelaku bisa menciptakan kemiskinan baru bagi keluarganya.

Namun, gagasan ini menuai pro dan kontra dari praktisi hukum. Mereka menilai bahwa ide “barak militer” ini, meskipun bertujuan baik, perlu didukung oleh regulasi yang jelas agar tidak menabrak aturan hukum yang sudah ada.

Meski begitu, penting untuk diingat bahwa pendekatan Restorative Justice menurut Dedi Mulyadi tidak bisa diterapkan untuk semua jenis kejahatan. Dalam kasus kekerasan seksual oleh oknum dokter residen Unpad di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS), Dedi Mulyadi justru meminta agar hukum ditegakkan secara tegas dan menolak adanya perdamaian. Ia menekankan pentingnya membangun kembali kepercayaan publik terhadap institusi pendidikan dan kedokteran, serta memastikan kejadian serupa tidak terulang.

Kesimpulan

Kasus mahasiswi Unpad dan penadah motor ini menjadi contoh nyata bagaimana Restorative Justice, dengan dukungan tokoh masyarakat seperti Dedi Mulyadi, bisa menjadi jalan keluar yang lebih manusiawi dalam sistem hukum kita. Bukan hanya soal menghukum, tapi juga memberi kesempatan kedua, memulihkan hubungan, dan membangun keadilan yang berpihak pada nurani. Semoga kasus ini bisa menjadi pembelajaran bagi kita semua tentang pentingnya empati dan kebijaksanaan dalam menghadapi persoalan hukum.