Yogyakarta, zekriansyah.com – Kabar terbaru kembali menyelimuti dunia media nasional, khususnya terkait Jawa Pos dan sosok legendarisnya, Dahlan Iskan. Sengketa hukum yang melibatkan sengketa kepemilikan aset dan dugaan penggelapan dividen kini semakin meruncing. Yang menarik, pengacara Dahlan Iskan sebut Direksi Jawa Pos yang baru tidak memahami sejarah panjang perusahaan, sehingga langkah hukum yang diambil dianggap gegabah. Yuk, kita bedah lebih dalam duduk perkara yang cukup kompleks ini!
Pengacara Dahlan Iskan kritik direksi Jawa Pos terkait pemahaman sejarah aset dan dividen yang memicu memanasnya konflik.
Artikel ini akan membantu Anda memahami akar masalah dari perseteruan antara dua entitas yang dulunya tak terpisahkan: Dahlan Iskan dan Jawa Pos, serta bagaimana klaim demi klaim bermunculan dari kedua belah pihak.
Awal Mula Sengketa: Dari Praktik “Titip Nama” hingga Klaim Kepemilikan Aset
Konflik ini berakar dari praktik yang lazim di industri media era Orde Baru, yaitu adanya sistem nominee atau “titip nama”. Dulu, Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) wajib diterbitkan atas nama pribadi, bukan perusahaan. Alhasil, banyak aset dan saham perusahaan, termasuk milik Jawa Pos, dicatatkan atas nama direksi atau individu tertentu.
Salah satu aset yang kini menjadi pusat sengketa adalah PT Dharma Nyata Press (DNP), penerbit Majalah Nyata. Direksi Jawa Pos Holding, Hidayat Jati, menjelaskan bahwa sejak wafatnya pendiri Eric Samola pada tahun 2000, upaya penertiban aset dimulai pada 2001. Banyak aset yang sebelumnya atas nama Dahlan Iskan maupun Nany Wijaya (mantan direktur Jawa Pos yang juga terseret dalam kasus ini) berhasil dikembalikan. Namun, kepemilikan DNP justru menjadi kendala. Pihak Jawa Pos mengklaim bahwa DNP adalah anak perusahaan mereka sejak awal pendiriannya pada tahun 1991, dan ini didukung oleh berbagai dokumen serta akta.
Di sisi lain, Dahlan Iskan dan kuasa hukumnya punya pandangan berbeda. Mereka menegaskan bahwa Majalah Nyata dibangun dengan usaha sendiri oleh Dahlan Iskan. Mereka pun menantang Jawa Pos untuk menunjukkan bukti pembelian PT DNP jika memang ada pengalihan yang sah.
Dividen Miliaran Rupiah yang “Hilang” dan Laporan Polisi
Pihak Jawa Pos mengungkapkan adanya dugaan penggelapan dividen dari PT DNP senilai Rp 89 miliar. Dividen ini merupakan perolehan dari tahun 2014-2016 yang seharusnya disetorkan kepada Jawa Pos sebagai induk perusahaan. Namun, menurut mereka, penyerahan dividen ini mulai macet pada tahun 2017, tepatnya setelah Nany Wijaya dicopot dari posisi direktur holding.
“Diduga kuat terdapat dividen sejumlah kurang lebih Rp89 miliar yang ditarik di PT DNP tanpa sepengetahuan dan tidak diserahkan ke Jawa Pos. Padahal sebelumnya secara rutin DNP memberikan dividen kepada Jawa Pos,” ujar Tonic Tangkau, salah satu kuasa hukum Jawa Pos.
Alhasil, Jawa Pos melaporkan Nany Wijaya ke Polda Jatim terkait dugaan pemalsuan surat dan atau penggelapan dalam jabatan. Kabar yang sempat beredar menyebutkan Dahlan Iskan juga ikut ditetapkan sebagai tersangka, berdasarkan surat dari Ditreskrimum Polda Jatim tertanggal 7 Juli 2025.
Direksi Jawa Pos menegaskan bahwa langkah hukum ini adalah bagian dari komitmen perusahaan untuk merapikan aset-aset lama demi kepastian legalitas kepemilikan dan karena aset perusahaan harus diselamatkan serta hukum harus dipatuhi.
Bantahan Keras dari Kubu Dahlan Iskan: “Pembunuhan Karakter!”
Kabar mengenai status tersangka yang menyeret nama Dahlan Iskan langsung dibantah keras oleh kuasa hukumnya, Johanes Dipa Widjaja. Ia menyebut kabar tersebut sebagai “hoax” dan “pembunuhan karakter”.
“Hingga saat ini, kami tidak pernah menerima pemberitahuan resmi apa pun dari pihak Polda Jawa Timur mengenai status hukum klien kami sebagai tersangka,” tegas Johanes.
Johanes Dipa juga mengkritik direksi baru Jawa Pos, khususnya Hidayat Jati, yang dinilai tidak memahami sejarah dan peran besar Dahlan Iskan dalam membangun Jawa Pos dari perusahaan kecil hingga menjadi raksasa media. “Masyarakat Indonesia sudah pada tahu bahwa Jawa Pos adalah Pak Dahlan Iskan dan Dahlan Iskan adalah Jawa Pos. Jawa Pos bisa sebesar itu tidak mungkin bisa dihapus, karena perannya Pak Dahlan Iskan,” imbuhnya.
Di tengah perseteruan pidana ini, Dahlan Iskan justru telah mengajukan gugatan perdata berupa permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) terhadap Jawa Pos di Pengadilan Negeri Surabaya. Gugatan ini dilayangkan karena Dahlan Iskan merasa memiliki hak atas dokumen-dokumen terkait Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) yang tidak diberikan oleh Jawa Pos, serta adanya dividen sebesar Rp 54,5 miliar yang belum dibayarkan kepadanya sebagai pemegang saham.
Masing-Masing Pihak Saling Klaim Bukti Kuat
Dalam pusaran konflik ini, kedua belah pihak saling mengklaim memiliki bukti kuat:
- Pihak Jawa Pos: Menegaskan adanya akta yang dibuat oleh Dahlan Iskan pada 2002 yang menyatakan DNP adalah milik Jawa Pos. Selain itu, dokumen serupa juga dibuat oleh Nany Wijaya pada 2008. Mereka juga menyebut DNP rutin membagikan dividen ke Jawa Pos selama bertahun-tahun.
- Pihak Dahlan Iskan: Menyatakan bahwa DNP didirikan tanpa sepeser pun uang dari Jawa Pos. Surat pernyataan yang ditandatangani Nany Wijaya pada 2008, yang menyatakan saham DNP milik Jawa Pos, disebut dibuat dalam rangka rencana go public Jawa Pos yang tidak pernah terwujud. Data AHU (Administrasi Hukum Umum) pun disebut masih mencatat Dahlan Iskan dan Nany Wijaya sebagai pemegang saham sah DNP hingga saat ini, bukan Jawa Pos.
“Tunjukkan bukti pembayaran kepada Bapak Dahlan jika memang ada pengalihan (PT DNP ke Jawa Pos) yang sah. Jika tidak ada, maka klaim tersebut adalah tindakan sepihak dan tidak tahu malu,” tantang Johanes Dipa.
Mediasi Alot, Proses Hukum Terus Berjalan
Meskipun Jawa Pos menyatakan selalu terbuka untuk dialog, pihak Dahlan Iskan justru menyebut bahwa saat upaya perundingan sedang diupayakan, Jawa Pos malah membuat laporan pidana ke Polda Jatim. Hal ini menunjukkan bahwa upaya mediasi berjalan alot dan menemui jalan buntu.
Kini, sengketa ini bergulir di dua ranah hukum: proses pidana di Polda Jatim dan gugatan perdata PKPU di Pengadilan Negeri Surabaya. Masing-masing pihak berupaya membuktikan kebenaran klaimnya di hadapan hukum.
Mengungkap Kebenaran di Balik Sengketa yang Memanas
Kasus ini memang rumit, melibatkan sejarah panjang sebuah perusahaan media besar dan peran vital seorang tokoh seperti Dahlan Iskan. Klaim pengacara Dahlan Iskan sebut Direksi Jawa Pos tidak memahami sejarah mungkin saja menjadi kunci untuk memahami mengapa sengketa ini begitu memanas.
Pada akhirnya, hanya proses hukum yang akan membuktikan siapa yang benar dan siapa yang salah dalam sengketa kepemilikan aset dan penggelapan dividen ini. Kita tunggu saja bagaimana kelanjutan dari drama hukum yang melibatkan dua nama besar di jagat media Indonesia ini.