Chris Mason: Mengapa Labour Butuh ‘Bujukan Besar’ di Parlemen Inggris?

Dipublikasikan 1 Juli 2025 oleh admin
Sosial Politik

Yogyakarta, zekriansyah.com – Baru setahun berkuasa dengan mayoritas kursi yang sangat besar, Partai Buruh (Labour Party) di Inggris seharusnya bisa melenggang mulus menjalankan kebijakannya. Namun, pandangan dari Editor Politik BBC, Chris Mason, justru menyiratkan hal sebaliknya. Menurut Mason, Labour masih menghadapi “pekerjaan membujuk yang besar” – sebuah tantangan yang mungkin terdengar aneh untuk partai yang baru saja memenangkan pemilu secara telak.

Chris Mason: Mengapa Labour Butuh 'Bujukan Besar' di Parlemen Inggris?

Ilustrasi: Politisi Partai Buruh Inggris berdiskusi strategi di Westminster, menyikapi kebutuhan bujukan besar untuk meraih dukungan parlemen.

Artikel ini akan mengupas tuntas mengapa Labour, di bawah kepemimpinan Perdana Menteri Keir Starmer, masih harus berjuang meyakinkan banyak pihak, termasuk para anggota parlemennya sendiri, tentang arah kebijakan mereka. Dengan membaca ini, Anda akan memahami dinamika politik Inggris yang rumit, bahkan ketika satu partai memegang kendali penuh.

Mengapa Labour Perlu ‘Membujuk’?

Kemenangan Labour dalam pemilihan umum lalu memang spektakuler. Mereka berhasil meraih mayoritas 165 kursi di parlemen, sebuah angka yang seharusnya memberikan keleluasaan dalam membuat keputusan. Namun, seperti yang diungkapkan Chris Mason, situasi di lapangan tidak sesederhana itu.

“Saya belum pernah memiliki waktu berkualitas sebanyak ini dengan kolega-kolega saya sejak perang Brexit,” ujar seorang menteri kepada Mason sambil tersenyum kecut.

Pernyataan ini menggambarkan adanya gesekan internal, khususnya terkait masalah tunjangan kesejahteraan. Meski sudah melakukan “U-turn” besar sebelumnya (berbalik arah pada kebijakan tertentu), pemerintahan Labour masih harus menghadapi tugas berat untuk meyakinkan banyak pihak. Ini adalah situasi yang tidak lazim terjadi pada pemerintahan yang baru setahun berkuasa dengan mayoritas sebesar itu.

Perdana Menteri Keir Starmer sendiri harus turun tangan untuk menjelaskan bahwa perubahan-perubahan yang diusulkan tidak hanya sejalan dengan nilai-nilai Labour, tetapi juga penting untuk memastikan stabilitas jangka panjang sistem kesejahteraan negara.

Polemik Personal Independence Payment (PIP) yang Menguras Energi

Salah satu isu utama yang memicu gejolak internal adalah rencana perubahan pada Personal Independence Payment (PIP). PIP adalah tunjangan utama bagi penyandang disabilitas di Inggris.

Rencananya, mulai November 2026, kriteria kelayakan untuk mendapatkan tunjangan PIP akan diperketat. Anggota parlemen Labour dan bahkan beberapa menteri berharap tinjauan terhadap PIP, yang dipimpin oleh Menteri Kesejahteraan dan Pensiun Sir Stephen Timms, dapat meyakinkan kolega mereka bahwa niat pemerintah bisa didukung.

Namun, berulang kali di parlemen, kekhawatiran muncul bahwa jangka waktu tinjauan—yang baru akan dilaporkan pada musim gugur tahun depan—akan terlalu terlambat untuk memengaruhi kriteria kelayakan PIP yang akan mulai berlaku pada November 2026.

Di balik kekhawatiran ini, ada kritik mendasar: bahwa alasan rencana pengetatan ini tetap berjalan adalah karena cara tersebut membuat Menteri Keuangan Rachel Reeves lebih mudah menyeimbangkan anggaran. Ini juga memudahkan Office for Budget Responsibility (OBR) untuk “menilai” langkah-langkah ini dalam perkiraan mereka, yang sangat penting bagi pengelolaan ekonomi pemerintah.

Bagi banyak anggota parlemen Labour, pendekatan ini dianggap keliru, terbalik, dan semakin sulit dipertahankan dalam pemerintahan. Namun, ada pula anggota Labour yang lebih tenang dan berpendapat bahwa perdebatan ini tidak perlu dan naif. Mereka berargumen bahwa adalah tugas Labour untuk mengatasi pembengkakan tagihan tunjangan yang terus meningkat. Sir Keir Starmer dan Rachel Reeves sendiri telah lama berpendapat bahwa kredibilitas Labour sebagai pengelola ekonomi adalah fondasi bagi semua kebijakan lainnya.

Tantangan Internal dan Sejarah Pemberontakan di Labour

Meskipun Labour memiliki mayoritas yang kuat, ada perkiraan 40 hingga 50 anggota parlemen Labour yang menentang kebijakan tunjangan ini. Untuk mengalahkan pemerintah, para pemberontak ini membutuhkan sekitar 80 suara dari rekan-rekan mereka. Namun, faktor kunci bisa jadi adalah berapa banyak yang memilih untuk abstain dalam pemungutan suara.

Sebagai perbandingan:

  • Pemberontakan Terbesar Keir Starmer: Sejauh ini, pemberontakan terbesar yang dialami Sir Keir Starmer adalah 16 anggota.
  • Pemberontakan Tony Blair: Pada tahun pertama Tony Blair menjabat sebagai Perdana Menteri, pemberontakan terbesar adalah 47 anggota, juga terkait masalah tunjangan bagi orang tua tunggal.

Ketua Fraksi (Chief Whip) Labour, Sir Alan Campbell, telah mengeluarkan seruan untuk persatuan—sesuatu yang hanya terjadi ketika persatuan itu menipis—dan mengatakan kepada anggota parlemen Labour bahwa mereka harus “bertindak sebagai tim”. Ia menekankan bahwa partai harus kembali bersatu setelah pemungutan suara yang sulit ini.

Peran Chris Mason dalam Mengurai Dinamika Politik Inggris

Chris Mason dikenal sebagai Editor Politik BBC yang memiliki kemampuan luar biasa dalam menjelaskan situasi politik yang kompleks kepada publik. Ia dipandang sebagai sosok yang “aman” dan dapat diandalkan, dengan kemampuan untuk menjaga audiens tetap terlibat bahkan saat melaporkan dari lapangan dalam kondisi sulit.

Mason adalah pengamat tajam yang melihat bahwa meskipun Labour memenangkan pemilu secara besar-besaran, perjalanan mereka di pemerintahan menjadi sulit dan cepat. Ia mengamati bagaimana Labour mencoba menyalahkan pemerintahan Konservatif sebelumnya atas masalah yang mereka hadapi, seperti kekurangan tempat di penjara atau isu Kepulauan Chagos. Namun, Mason mempertanyakan seberapa efektif strategi “menyalahkan pendahulu” ini akan terus berlanjut seiring berjalannya waktu pemerintahan Labour.

Analisisnya menyoroti paradoks: kemenangan besar tidak otomatis berarti pemerintahan yang mudah. Tantangan ekonomi dan perdebatan internal, seperti yang terjadi pada kebijakan kesejahteraan, menunjukkan bahwa Labour masih harus menunjukkan kemampuan persuasif yang kuat, baik kepada publik maupun kepada anggota partainya sendiri.

Kesimpulan

Kemenangan besar Partai Labour di bawah kepemimpinan Keir Starmer memang bersejarah, namun seperti yang dianalisis oleh Chris Mason, hal itu tidak serta merta menghilangkan semua tantangan. Partai ini masih menghadapi “pekerjaan membujuk yang besar,” terutama dalam isu-isu sensitif seperti perubahan tunjangan kesejahteraan Personal Independence Payment (PIP).

Perdebatan internal mencerminkan tarik ulur antara keharusan menjaga stabilitas ekonomi dan komitmen terhadap nilai-nilai inti partai. Ini menunjukkan bahwa politik adalah tentang manusia, emosi, dan kompromi, bahkan bagi partai yang memegang mayoritas kuat. Labour harus membuktikan bahwa mereka adalah “penjaga kredibel ekonomi” sambil tetap melayani kebutuhan rakyat.

Dinamika politik Inggris ini akan terus menarik untuk diikuti. Akankah Labour berhasil membujuk para penentang internalnya dan membuktikan bahwa mereka mampu mengelola negara di tengah berbagai tantangan? Hanya waktu yang akan menjawabnya.