Yogyakarta, zekriansyah.com – Pernah dengar istilah ‘resesi seks’? Ini bukan soal ekonomi lesu, tapi tentang orang-orang yang makin ogah menikah atau punya anak. Nah, fenomena ini lagi bikin pusing tujuh keliling negara raksasa seperti China. Angka kelahiran di sana terus anjlok, padahal populasi produktif adalah kunci pertumbuhan ekonomi jangka panjang.
Ilustrasi: Pemerintah China berupaya keras mengembalikan semangat generasi muda untuk memiliki lebih banyak anak melalui berbagai insentif.
Pemerintah China kini tidak tinggal diam. Mereka menyiapkan berbagai ‘jurus baru’ yang cukup ekstrem untuk mendorong warganya agar mau punya momongan lagi. Dari subsidi uang tunai jutaan rupiah, sampai program-program pendukung lainnya. Penasaran apa saja jurus-jurusnya dan kenapa ini penting buat China? Yuk, kita bedah tuntas di artikel ini!
Apa Itu ‘Resesi Seks’ yang Bikin China Pusing Tujuh Keliling?
Istilah ‘resesi seks’ merujuk pada kondisi di mana angka kelahiran suatu negara menurun drastis karena banyak warganya yang enggan menikah, berhubungan seks, atau memiliki anak. Di China, kondisi ini sudah parah. Pada tahun 2021, angka kelahiran di sana merosot ke level terendah sejak tahun 1949, yaitu cuma 7,52 kelahiran per 1.000 penduduk.
Akibatnya, populasi China sudah menyusut selama tiga tahun berturut-turut. Bahkan, pada tahun 2023, China harus rela kehilangan gelarnya sebagai negara dengan populasi terbanyak di dunia, kini digeser oleh India. Proyeksi PBB bahkan lebih mengkhawatirkan: jika tren ini terus berlanjut, populasi China yang saat ini 1,4 miliar jiwa bisa turun di bawah 800 juta jiwa pada tahun 2100.
Penurunan populasi usia produktif ini jelas jadi ancaman serius bagi perekonomian China. Siapa yang akan bekerja dan membayar pajak jika sebagian besar penduduknya adalah lansia?
Bukan Cuma China, Negara Lain Juga Ikut ‘Resesi Seks’
Fenomena ‘resesi seks’ ini ternyata tidak hanya melanda China. Beberapa negara maju lainnya juga menghadapi masalah serupa:
- Jepang: Banyak pria muda yang mengaku belum pernah berhubungan seksual, dan angka kelahiran pada 2021 menjadi yang terendah sejak 1899.
- Singapura: Angka perkawinan dan kelahiran juga menurun drastis.
- Amerika Serikat: Sejak pandemi COVID-19, banyak pasangan menunda pernikahan dan keinginan memiliki anak.
Ini menunjukkan bahwa ‘resesi seks’ adalah tantangan global yang kompleks.
Biaya Hidup Tinggi Jadi Alasan Utama Enggan Punya Anak
Lalu, apa sih yang bikin orang-orang di China (dan negara lain) jadi ogah punya anak? Ternyata, alasannya cukup “membumi” dan relevan dengan kehidupan kita sehari-hari:
- Biaya Hidup dan Membesarkan Anak Mahal: Ini jadi alasan nomor satu. Biaya pendidikan, kesehatan, dan perumahan yang terus melambung di kota-kota besar membuat pasangan berpikir dua kali untuk menambah anak. Membesarkan satu anak saja sudah butuh “mati-matian” kata warga China.
- Diskriminasi di Tempat Kerja: Banyak wanita takut hamil karena khawatir akan dipecat atau sulit mencari pekerjaan. Lingkungan kerja yang belum ramah ibu hamil dan orang tua menjadi penghalang besar.
- Gaya Hidup dan Budaya Kerja: Budaya kerja “9-9-6” (kerja dari jam 9 pagi sampai 9 malam, 6 hari seminggu) membuat pasangan tidak punya waktu dan energi untuk keluarga.
- Persepsi Baru tentang Pernikahan: Semakin banyak wanita muda yang menganggap pernikahan dan memiliki keluarga tidak lagi menjadi prioritas utama atau bahkan tidak penting sama sekali.
Jurus Baru Pemerintah China: Subsidi Uang Tunai Nasional!
Melihat kondisi yang makin genting, Pemerintah China kini meluncurkan jurus paling baru dan konkret: memberikan insentif uang tunai nasional bagi keluarga dengan bayi baru lahir mulai tahun 2025.
Menurut laporan, tunjangan ini akan diberikan sebesar 3.600 yuan (sekitar Rp 8,1 juta) per anak per tahun, dan akan terus diberikan hingga anak tersebut berusia tiga tahun. Kebijakan ini berlaku untuk bayi yang lahir mulai 1 Januari 2025.
“Ini adalah langkah ke arah yang benar,” kata Michelle Lam, ekonom China di Societe Generale, dikutip dari Bloomberg. Ia menambahkan bahwa insentif ini, meski terkesan kecil, menandakan perubahan pola pikir pemerintah dan membuka jalan bagi stimulus lebih lanjut.
Keberhasilan insentif tunai ini sudah terlihat di beberapa daerah. Contohnya di kota Tianmen, Provinsi Hubei, yang mencatat lonjakan kelahiran setelah menerapkan insentif serupa. He Yafu, seorang demografer independen, berpendapat:
“Kasus Tianmen membuktikan bahwa insentif tunai membuat perbedaan. Jika subsidi melahirkan tidak berpengaruh, itu karena subsidi tersebut terlalu kecil dan perlu ditingkatkan.”
Tak Cuma Uang Tunai, Ini Berbagai Jurus Lain China untuk Genjot Kelahiran
Selain subsidi uang tunai, China juga sudah dan akan terus menerapkan berbagai kebijakan lain untuk mengatasi ‘resesi seks’ ini:
- Subsidi IVF dan Perawatan Kesehatan Ibu-Anak:
- Pemerintah mensubsidi biaya fertilisasi in vitro (IVF) untuk pasangan yang kesulitan memiliki anak.
- Rumah sakit tingkat tersier diwajibkan menyediakan anestesi epidural saat persalinan untuk mengurangi rasa sakit ibu melahirkan.
- Meningkatkan layanan perawatan ibu dan anak secara umum.
- Bantuan Biaya Perawatan Anak:
- Pemerintah berjanji menambah subsidi perawatan anak dan menyediakan layanan penitipan bayi/anak yang lebih baik.
- Beberapa pemerintah daerah bahkan menawarkan subsidi besar untuk anak kedua atau ketiga, seperti di Hohhot yang memberi Rp 113 juta untuk anak kedua dan Rp 226 juta untuk anak ketiga.
- Kebijakan Pro-Keluarga di Tempat Kerja:
- Mendorong pembangunan lingkungan kerja yang ramah kehamilan dan ramah keluarga.
- Mendorong praktik kerja yang fleksibel.
- Melindungi hak dan kepentingan tenaga kerja dan ketenagakerjaan orang tua.
- Memperluas cakupan asuransi bersalin.
- Insentif Pajak dan Perumahan:
- Menjanjikan insentif pajak dan perumahan bagi pasangan yang memiliki anak.
- Reformasi Pendidikan:
- Pada tahun 2021, pemerintah menutup ratusan ribu les privat untuk memangkas beban pekerjaan rumah dan kegiatan pendidikan di luar jam sekolah, agar anak-anak dan orang tua memiliki lebih banyak waktu luang.
- Revisi Kebijakan Populasi:
- Setelah kebijakan satu anak (yang diakhiri 2016) dan dua anak, China kini menerapkan kebijakan tiga anak per rumah tangga.
- Menaikkan Usia Pensiun:
- Perdana Menteri Li Keqiang berencana menaikkan usia pensiun secara bertahap untuk menjaga jumlah tenaga kerja produktif.
Berbagai jurus ini menunjukkan betapa seriusnya China menghadapi krisis demografi yang mengancam masa depan ekonominya.
Kesimpulan
‘Resesi seks’ adalah tantangan besar bagi China, yang dampaknya bisa terasa hingga ke stabilitas ekonomi dan posisi globalnya. Dengan berbagai jurus baru, terutama subsidi uang tunai nasional, serta dukungan komprehensif dari perawatan kesehatan hingga lingkungan kerja yang ramah keluarga, China berharap bisa membalikkan tren penurunan angka kelahiran ini. Ini adalah perjuangan besar sebuah negara demi masa depannya, sekaligus cerminan tantangan yang dihadapi banyak generasi muda di seluruh dunia saat ini.
FAQ
Tanya: Apa yang dimaksud dengan “resesi seks” di China?
Jawab: Resesi seks adalah istilah yang menggambarkan penurunan drastis angka kelahiran akibat keengganan masyarakat untuk menikah atau memiliki anak. Di China, ini menyebabkan angka kelahiran anjlok dan populasi menyusut.
Tanya: Mengapa penurunan angka kelahiran menjadi masalah besar bagi China?
Jawab: Penurunan angka kelahiran mengancam pertumbuhan ekonomi jangka panjang China karena berkurangnya populasi usia produktif. Hal ini juga menyebabkan China kehilangan status negara berpopulasi terbanyak di dunia.
Tanya: Jurus baru apa saja yang disiapkan pemerintah China untuk mengatasi resesi seks?
Jawab: Pemerintah China menyiapkan berbagai jurus baru seperti subsidi uang tunai jutaan rupiah dan program pendukung lainnya untuk mendorong warganya agar memiliki lebih banyak anak.