Siapa sangka, area Car Free Day (CFD) yang seharusnya jadi ajang sehat-sehatan dengan lari atau bersepeda, kini juga jadi ladang cuan bagi sebagian orang. Bukan untuk jualan makanan atau minuman, melainkan menawarkan jasa unik: joki Strava. Ya, Anda tidak salah dengar. Di tengah gemuruh tren olahraga lari yang makin digandrungi, muncul fenomena di mana seseorang rela membayar orang lain untuk berlari demi merekam aktivitas di aplikasi Strava mereka.
CFD kini bukan hanya untuk kesehatan, tapi juga ladang cuan bagi joki Strava demi eksistensi di media sosial.
Fenomena joki Strava ini belakangan viral dan menjadi perbincangan hangat, terutama di media sosial. Mengapa orang sampai harus menyewa joki untuk aktivitas yang seharusnya menyehatkan ini? Mari kita telusuri lebih dalam tentang apa itu joki Strava, bagaimana mereka meraup untung, dan sisi lain dari tren yang satu ini.
Apa Itu Strava dan Mengapa Ada “Joki”nya?
Bagi para pegiat olahraga, Strava tentu bukan nama asing. Ini adalah aplikasi kebugaran sosial yang populer, dirancang untuk melacak dan merekam berbagai aktivitas fisik seperti lari, bersepeda, hingga hiking, menggunakan data GPS. Hasil rekaman ini mencakup rute, kecepatan (pace), waktu tempuh, dan bahkan detak jantung, yang kemudian bisa dibagikan ke publik atau komunitas di dalam aplikasi itu sendiri. Strava seolah menjadi “buku harian” digital bagi mereka yang aktif bergerak.
Namun, di balik semangat hidup sehat, muncul sisi lain yang ironis: jasa joki Strava. Ini adalah orang-orang yang dibayar untuk menggantikan seseorang berlari, sambil membawa ponsel atau akun Strava milik si penyewa jasa. Tujuannya beragam, namun sebagian besar bermuara pada satu hal: validasi sosial.
“Mereka nitip handphone ke saya, nanti saya bawa lari,” jelas Jason (16), seorang remaja asal Jakarta Barat yang menjadi joki Strava di CFD Bundaran HI.
Ada beberapa alasan mengapa orang rela membayar jasa ini:
- Demi Pencitraan: Ingin terlihat aktif, sporty, dan punya catatan lari yang impresif di media sosial tanpa harus berkeringat sendiri. Ini sering disebut sebagai “kebutuhan narsistik” atau “haus akan pengakuan sosial”.
- Tugas atau Persyaratan: Beberapa perusahaan atau institusi pendidikan mungkin mewajibkan karyawannya untuk aktif berolahraga atau mencapai target kebugaran tertentu, terkadang dengan iming-iming bonus atau tunjangan. Joki Strava jadi jalan pintas.
- Malas Berolahraga: Tentu saja, faktor utama adalah kemalasan. Ingin hasil tanpa usaha.
Mengintip “Ladang Cuan” Para Joki Lari di CFD
Aktivitas joki Strava ini memang terlihat unik, tetapi bagi para pelakunya, ini adalah ladang cuan yang menjanjikan. Dengan memanfaatkan hobi lari mereka, para joki bisa mendapatkan penghasilan tambahan yang lumayan.
Jason, remaja 16 tahun yang ditemui di CFD Bundaran HI, mengaku bisa meraup hingga Rp 300.000 hanya dalam sekali lari sejauh lima kilometer, dengan permintaan pace empat (rata-rata 4 menit per kilometer). “Misalkan minta tolong pace empat, ya bisa sampai Rp 300 ribu setara lima kilometer,” ungkapnya. Jason biasanya membatasi orderan maksimal dua orang setiap Minggu.
Tarif jasa joki Strava bervariasi tergantung permintaan. Joki lain bernama Niko (21), seorang mahasiswa, menjelaskan patokan harganya:
- Pace di bawah 5 menit/km: Rp 6.000 – Rp 7.000 per kilometer.
- Pace di atas 5 menit/km: Rp 5.000 per kilometer.
- Joki elevation gain (lari di tanjakan/bukit) di atas 1.000 meter: Bisa mencapai Rp 10.000 per kilometer, karena medannya lebih sulit.
Satria, lulusan SMA di Bogor, juga mematok harga sekitar Rp 5.000 per kilometer, dengan biaya tambahan jika ada permintaan pace tertentu. “Ya alhamdulillah, pokoknya saya tiap hari Rp 15 ribu sudah kepegang. Buat jajan bisalah,” ujarnya santai, menceritakan penghasilan kecil-kecilan yang lumayan baginya sebagai pelajar.
Para joki ini biasanya menerima ponsel pelanggan yang akan mereka bawa saat berlari. Setelah selesai, data aktivitas di Strava akan terekam, seolah-olah si pemilik ponsel yang telah berlari. Uang yang didapat para joki ini pun beragam penggunaannya, mulai dari jajan, beli kopi, hingga menabung.
Sisi Lain Fenomena Joki Strava: Antara Validasi dan Etika
Meskipun menjadi ladang cuan bagi para joki, fenomena ini tak lepas dari sorotan dan kritik. Banyak pelari sejati yang mengaku heran dan tidak setuju dengan praktik ini.
“Kalau hal seperti itu tentu kurang baik ya, nggak setuju saya. Artinya untuk dirinya sendiri aja nipu apalagi buat orang lain, ya kan. Ya itu emang dia niatnya nggak olahraga hanya eksistensi aja itu. Sangat tidak bagus, lalu apa sih keuntungannya kalau gitu eksis doang kan?” kata Racha (58), seorang pelari di CFD Bundaran HI.
Pelari lain, Jafar (23), juga berpendapat senada. Menurutnya, menyewa joki Strava adalah tindakan yang “cupu” (payah) karena tidak ada manfaat nyata bagi kesehatan si penyewa. “Jadi lo kan mau ngasih tau ke orang kalau lu abis lari kayak gitu. Kalau saya sih biasanya sendiri saja kalau mau lari, kalau mau pakai Strava dinyalain sendiri aja,” ujarnya.
Dari sisi etika, praktik joki Strava menimbulkan pertanyaan tentang kejujuran dan integritas di era digital. Kebutuhan akan validasi sosial di media sosial memang kuat, namun memalsukan data aktivitas fisik demi “pencitraan” dianggap merusak esensi olahraga itu sendiri, yang seharusnya tentang kesehatan dan pencapaian pribadi. Beberapa pakar bahkan menilai fenomena ini bertentangan dengan prinsip-prinsip kejujuran dan transparansi.
Apakah Tren Joki Strava Akan Bertahan Lama?
Melihat popularitasnya yang meroket, timbul pertanyaan, apakah tren joki Strava ini akan bertahan lama? Satria, salah satu joki muda, punya pandangan sendiri. Ia meyakini tren ini tidak akan bertahan lama, sebab kebanyakan orang hanya ikut-ikutan, sementara mereka yang benar-benar berniat lari tidak akan memakai jasa joki.
Terlepas dari perdebatan etika, fenomena joki Strava adalah cerminan menarik dari bagaimana teknologi dan media sosial membentuk perilaku manusia. Di satu sisi, ia membuka peluang bisnis baru bagi mereka yang jeli melihat celah. Di sisi lain, ia juga menyoroti kebutuhan manusia akan pengakuan dan eksistensi, bahkan jika itu berarti harus memanipulasi kenyataan.
Mari Berlari dengan Otentik!
Fenomena cfd jadi ladang cuan joki strava lari ini memang unik dan menarik untuk diamati. Meski menawarkan jalan pintas untuk “terlihat sporty”, manfaat kesehatan dan kebanggaan akan pencapaian pribadi hanya bisa diraih dengan usaha dan kejujuran. Jadi, daripada menyewa joki, mengapa tidak mencoba sepatu lari Anda sendiri dan merasakan nikmatnya keringat serta bangganya mencapai garis finish dengan kaki sendiri? Itu baru ladang cuan sejati untuk kesehatan dan kebahagiaan Anda!
FAQ
Tanya: Apa itu joki Strava dan mengapa orang menyewanya?
Jawab: Joki Strava adalah orang yang dibayar untuk berlari menggantikan orang lain demi merekam aktivitas di aplikasi Strava. Fenomena ini muncul karena adanya tekanan sosial dan keinginan untuk terlihat aktif di media sosial.
Tanya: Bagaimana cara kerja joki Strava dalam mendapatkan “cuan”?
Jawab: Joki Strava mendapatkan bayaran dari klien yang menyewa jasa mereka untuk berlari dan mencatatkan aktivitas di aplikasi Strava.
Tanya: Apa saja risiko atau sisi negatif dari fenomena joki Strava ini?
Jawab: Fenomena ini mengikis esensi olahraga sebagai aktivitas sehat dan jujur, serta bisa menimbulkan persepsi negatif tentang pencapaian kebugaran.