Pondok pesantren, sebagai institusi pendidikan Islam tertua dan paling fundamental di Indonesia, telah lama menjadi tiang penyangga moral, intelektual, dan spiritual bangsa. Dari rahim pesantren lahir jutaan ulama, cendekiawan, dan pemimpin yang membentuk wajah keindonesiaan. Namun, di tengah perannya yang begitu sentral, muncul seruan tegas dari Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Partai Kebangkitan Bangsa (DPP PKB), Muhaimin Iskandar, atau yang akrab disapa Cak Imin. Ia menyerukan agar cak imin: pesantren harus bebas dari 3 dosa besar pendidikan. Seruan ini bukan sekadar peringatan, melainkan panggilan serius untuk menjaga integritas, keamanan, dan kemuliaan institusi pendidikan berbasis agama ini demi menjamin masa depan gemilang para santri dan citra pesantren itu sendiri.
Mengapa seruan ini menjadi sangat krusial saat ini? Apa saja sebenarnya “tiga dosa besar” yang dimaksud, dan bagaimana dampaknya terhadap ekosistem pendidikan pesantren serta para santri? Artikel ini akan mengupas tuntas visi Cak Imin, menganalisis akar masalah dari ketiga dosa tersebut, serta menyoroti langkah-langkah konkret yang diusulkan untuk mewujudkan pesantren yang aman, inklusif, dan berintegritas.
Mengontekstualisasikan Seruan Cak Imin: Komitmen PKB untuk Transformasi Pesantren
Pernyataan Muhaimin Iskandar mengenai tiga dosa besar pendidikan di pesantren bukan muncul tanpa konteks. Seruan ini disampaikan dalam berbagai kesempatan, termasuk saat membuka International Conference of the Transformation of Pesantren (ICTP) di Jakarta pada 24 Juni 2025. Konferensi ini sendiri mengusung tema ambisius: “Pesantren Berkelas Menuju Indonesia Emas: Menyatukan Tradisi, Inovasi, dan Kemandirian.” Hal ini menunjukkan bahwa visi Cak Imin adalah bagian integral dari komitmen PKB untuk mendorong reformasi dan penguatan pesantren di era modern.
Sebagai Menteri Koordinator Bidang Pemberdayaan Masyarakat, Cak Imin memiliki keprihatinan mendalam terhadap berbagai isu sosial yang merongrong institusi pendidikan. Ia melihat bahwa meskipun jumlah pesantren di Indonesia mencapai puluhan ribu – dengan sekitar 39 ribu pesantren resmi dan banyak lagi yang beroperasi di luar radar – tidak semuanya menjalankan fungsi pendidikan dengan semestinya. Beberapa di antaranya bahkan disinyalir menjadi sarang praktik-praktik menyimpang yang mencoreng nama baik pesantren secara keseluruhan.
Komitmen PKB tidak berhenti pada seruan semata. Cak Imin menegaskan bahwa partainya telah membentuk satuan tugas (satgas) khusus untuk menanggulangi masalah ini, khususnya terkait kekerasan seksual. Inisiatif ini menunjukkan keseriusan dalam mengidentifikasi dan memberantas fenomena yang merusak citra mulia pesantren, memastikan bahwa lingkungan belajar bagi santri benar-benar aman dan kondusif.
Memahami Tiga Dosa Besar Pendidikan di Pesantren
Cak Imin secara eksplisit menyebutkan tiga “dosa besar” yang harus diberantas dari lingkungan pesantren. Ketiga dosa ini, jika dibiarkan, tidak hanya merusak citra institusi, tetapi juga mengancam masa depan dan psikologis para santri.
Dosa Pertama: Perundungan (Bullying)
Perundungan, atau bullying, adalah masalah universal yang terjadi di berbagai lembaga pendidikan, tak terkecuali pesantren. Cak Imin menyoroti bahwa perundungan bisa terjadi antara sesama santri maupun dari guru kepada murid. Lingkungan asrama atau boarding school seperti pesantren, dengan interaksi intensif 24 jam sehari, menjadikan santri sangat rentan terhadap praktik perundungan. Kasus-kasus tragis, di mana perundungan bahkan sampai menghilangkan nyawa santri, menjadi alarm keras bagi semua pihak.
Perundungan dapat bermanifestasi dalam berbagai bentuk: kekerasan fisik, verbal, psikologis, hingga siber. Dampaknya tidak main-main. Korban perundungan seringkali mengalami trauma mendalam, gangguan kecemasan, depresi, kesulitan belajar, hingga hilangnya rasa percaya diri. Lebih jauh, budaya perundungan yang tidak tertangani dapat menciptakan lingkungan yang penuh ketakutan, menghambat proses belajar-mengajar, dan merusak tujuan mulia pendidikan yang seharusnya menumbuhkan akhlak mulia dan kasih sayang. Sebuah lingkungan pendidikan yang seharusnya menjadi tempat aman untuk tumbuh kembang, malah menjadi arena yang menakutkan.
Dosa Kedua: Kekerasan Seksual dan Fenomena “Pesantren Palsu”
Dosa kedua yang disoroti Cak Imin adalah kekerasan seksual, sebuah isu yang paling memprihatinkan dan kerap mencuat ke permukaan. Ia mengungkapkan keprihatinan mendalam atas banyaknya kasus pelecehan seksual yang terjadi di beberapa lembaga pendidikan yang mengatasnamakan pesantren. Mirisnya, kasus-kasus semacam ini seringkali muncul di lembaga pendidikan kecil yang berkedok yayasan anak yatim, lembaga tahfidz, atau sejenisnya, yang luput dari pengawasan ketat.
Pelaku kekerasan seksual, terutama di lembaga-lembaga “pesantren palsu” ini, seringkali adalah pengasuh atau figur otoritas yang seharusnya melindungi dan mendidik santri. Mereka memanfaatkan posisi dan kepercayaan untuk melakukan tindakan keji, dengan berbagai dalih yang tidak masuk akal, seperti “menyembuhkan penyakit” atau “transfer ilmu.” Fenomena “pesantren palsu” ini menjadi perhatian khusus, terutama dengan banyaknya kasus yang terungkap di wilayah seperti Jawa Barat. Cak Imin dengan tegas menyebut lembaga-lembaga ini sebagai “pesantren sesat yang harus ditindak,” bahkan berjanji akan melakukan “razia” untuk membersihkan praktik-praktik semacam itu.
Kekerasan seksual tidak hanya menghancurkan korban secara fisik dan mental, tetapi juga mencoreng nama baik pesantren secara keseluruhan. Ini mengikis kepercayaan masyarakat terhadap institusi pendidikan agama dan menimbulkan keraguan akan keamanan anak-anak mereka di lingkungan pesantren. Membangun kembali kepercayaan ini membutuhkan upaya kolektif dan penindakan tegas terhadap para pelaku.
Dosa Ketiga: Intoleransi
Dosa ketiga yang tak kalah penting adalah intoleransi. Cak Imin menekankan bahwa lembaga pendidikan agama seperti pesantren sama sekali tidak boleh mengajarkan cara pandang ekstrem yang merendahkan kelompok manusia lain, baik dalam konteks agama maupun bernegara, dan justru meninggikan sebagian kelompok secara berlebihan. Pesantren, sebagai mercusuar Islam moderat di Indonesia, harus menjadi garda terdepan dalam menyemai nilai-nilai keberagaman, toleransi, dan persatuan.
Intoleransi dapat bermanifestasi dalam bentuk doktrinasi eksklusif, ujaran kebencian terhadap kelompok minoritas, atau penolakan terhadap Pancasila dan nilai-nilai kebangsaan. Ini sangat berbahaya karena dapat melahirkan generasi yang sempit pandangannya, radikal, dan tidak mampu beradaptasi dengan kemajemukan masyarakat Indonesia. Pesantren seharusnya menjadi tempat di mana santri diajarkan untuk menghargai perbedaan, menjunjung tinggi persatuan, dan menjadi agen perdamaian di tengah masyarakat. Pernyataan Cak Imin yang tegas, “Tidak boleh pesantren kita mengajar intoleransi, baik dalam cara pandang agama maupun cara pandang bernegara,” menggarisbawahi urgensi pencegahan dosa ini.
Langkah Konkret dan Komitmen Menuju Pesantren Aman dan Berkelas
Untuk mencegah ketiga dosa besar tersebut terjadi dan memastikan pesantren kembali ke marwahnya sebagai lembaga pendidikan yang luhur, Cak Imin mengusulkan dan mendorong beberapa langkah konkret:
1. Peran Forum Komunikasi dan Kerjasama Lintas Lembaga
Cak Imin menekankan pentingnya pesantren memiliki forum komunikasi yang kuat. Forum ini akan berfungsi sebagai wadah untuk saling mengawasi, berbagi praktik baik, dan memastikan lingkungan belajar yang aman bagi santri. Selain itu, pesantren juga harus intensif bekerja sama dan berkomunikasi dengan lembaga-lembaga negara terkait, seperti:
- Kepolisian: Untuk penegakan hukum dan penanganan kasus-kasus kekerasan.
- Dinas Sosial: Untuk rehabilitasi korban dan penanganan dampak sosial.
- Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI): Untuk advokasi dan perlindungan hak-hak anak/santri.
Kerja sama lintas sektor ini esensial untuk menciptakan sistem pengawasan dan penanganan yang komprehensif, sehingga tidak ada lagi kasus yang tersembunyi atau tidak tertangani.
2. Pembentukan Satuan Tugas (Satgas) Khusus
Sebagai wujud nyata komitmen, Cak Imin telah membentuk satuan tugas (satgas) khusus untuk menangani kekerasan seksual di pesantren, yang dipimpin oleh Hindun Anisah. Satgas ini tidak hanya menerima aduan, tetapi juga diharapkan aktif dalam melakukan investigasi dan koordinasi dengan pihak berwenang. Kehadiran satgas ini menjadi harapan baru bagi korban dan keluarga untuk mendapatkan keadilan serta memastikan penindakan tegas terhadap pelaku.
3. Mendorong Registrasi dan Review Ulang Pesantren
Fenomena “pesantren palsu” yang memanfaatkan nama baik pesantren untuk tujuan eksploitatif menjadi perhatian serius. Cak Imin berharap Kementerian Agama (Kemenag) dan pemerintah daerah, didukung aparat kepolisian, dapat benar-benar meregistrasi dan melakukan review ulang terhadap puluhan ribu pesantren di Indonesia. Proses ini bertujuan untuk mendeteksi dan menindak pesantren-pesantren yang tidak memenuhi standar, melakukan praktik eksploitasi, atau menyalahgunakan nama pesantren. Ini adalah langkah fundamental untuk memfilter dan memastikan hanya institusi yang benar-benar berintegritas yang beroperasi.
4. Membangun Sinergi dengan Masyarakat Sekitar dan Dunia Usaha
Pesantren tidak boleh tercerabut dari masyarakat di sekelilingnya. Keterlibatan dan pengawasan masyarakat adalah kunci dalam menciptakan lingkungan yang aman. Dengan demikian, semua pemangku kepentingan (stakeholder) bisa bekerja sama untuk menghindarkan pesantren dari tiga dosa besar pendidikan ini.
Selain itu, konferensi transformasi pesantren juga bertujuan mempertemukan pesantren yang memiliki satuan pendidikan untuk bersinergi dengan dunia usaha dan dunia industri (DUDI). Konsep link and match ini penting untuk memastikan lulusan pesantren memiliki keterampilan yang relevan dengan kebutuhan pasar kerja, sehingga mereka tidak hanya unggul dalam ilmu agama, tetapi juga siap menghadapi tantangan global. Ini adalah bagian dari upaya menjadikan “Pesantren Berkelas Menuju Indonesia Emas.”
Visi “Pesantren Berkelas Menuju Indonesia Emas”
Seruan cak imin: pesantren harus bebas dari 3 dosa besar pendidikan adalah bagian dari visi yang lebih besar: mewujudkan “Pesantren Berkelas Menuju Indonesia Emas.” Visi ini menggarisbawahi pentingnya menjaga tradisi luhur pesantren sambil mendorong inovasi dan kemandirian.
- Menjaga Tradisi: Pesantren harus tetap menjadi penjaga nilai-nilai agama, moral, dan kearifan lokal yang telah terbukti membentuk karakter bangsa.
- Mendorong Inovasi: Pesantren perlu beradaptasi dengan perkembangan zaman, mengintegrasikan teknologi, dan memperbarui metode pengajaran agar relevan dengan kebutuhan santri di era modern. Ini termasuk perbaikan sistem dan cara kerja pesantren yang selama ini dinilai sulit beradaptasi.
- Mencapai Kemandirian: Pesantren diharapkan mampu mandiri secara ekonomi dan operasional, tidak bergantung sepenuhnya pada pihak luar, serta menghasilkan santri yang juga mandiri dan berdaya saing.
Melalui ICTP, Cak Imin berharap akan dihasilkan dua usulan utama: pertama, perbaikan sistem dan cara kerja pesantren agar lebih adaptif; dan kedua, rekomendasi kepada pemerintah untuk perbaikan regulasi terkait pesantren, baik melalui revisi Undang-Undang Pendidikan maupun Undang-Undang Pesantren. Ini adalah langkah strategis untuk menciptakan kerangka hukum yang lebih kuat demi perlindungan dan pengembangan pesantren.
Penutup: Pesantren sebagai Benteng Moral Bangsa
Seruan Muhaimin Iskandar agar cak imin: pesantren harus bebas dari 3 dosa besar pendidikan merupakan sebuah alarm sekaligus panggilan untuk bertindak. Perundungan, kekerasan seksual, dan intoleransi adalah ancaman nyata yang dapat merusak fondasi pendidikan dan moral yang telah dibangun pesantren selama berabad-abad. Integritas dan keamanan pesantren adalah kunci untuk memastikan institusi ini terus menjadi benteng moral, pusat peradaban, dan tempat lahirnya generasi emas Indonesia.
Pernyataan Cak Imin, “Biarkan orang lain salah, tetapi pesantren tidak boleh salah,” adalah sebuah penegasan akan posisi istimewa pesantren sebagai lembaga pendidikan yang seharusnya menjadi teladan. Dengan komitmen kolektif dari seluruh pemangku kepentingan – mulai dari pengasuh, santri, orang tua, pemerintah, hingga masyarakat – kita dapat memastikan bahwa pesantren akan terus menjadi ruang aman, inklusif, dan inspiratif, tempat santri dapat tumbuh dan berkembang menjadi individu yang berakhlak mulia, berilmu, dan berkontribusi positif bagi kemajuan bangsa. Mari bersama-sama mendukung upaya ini demi terwujudnya masa depan pesantren yang lebih cerah dan gemilang.
Bagikan artikel ini kepada komunitas Anda untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya menjaga kemuliaan pesantren dari tiga dosa besar pendidikan. Diskusi dan tindakan nyata adalah langkah awal menuju perubahan.