Kabar mengejutkan datang dari Kejaksaan Agung (Kejagung) yang menetapkan saudagar minyak Mohammad Riza Chalid sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang di PT Pertamina. Yang menarik, Riza Chalid menyusul anaknya, Muhammad Kerry Andrianto Riza, yang sudah lebih dulu ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus yang sama.
Untuk informasi lebih lanjut mengenai Terungkap! Daftar Panjang Tersangka Kasus Korupsi Minyak Mentah Pertamina yang Rugikan Negara Triliunan Rupiah, kunjungi: Terungkap! Daftar Panjang Tersangka Kasus Korupsi Minyak Mentah Pertamina yang Rugikan Negara Triliunan Rupiah.
Mungkin Anda bertanya-tanya, bagaimana bisa ayah dan anak terlibat dalam satu kasus korupsi yang sama? Dan yang lebih penting, apakah peran mereka sama? Jawabannya, tidak. Meskipun sama-sama terjerat di kasus yang merugikan negara hingga triliunan rupiah ini, beda peran Riza Chalid anaknya kasus korupsi ini sangat signifikan. Mari kita selami lebih dalam agar kasus ini menjadi lebih terang benderang.
Mengenal Sosok di Balik Kasus: Mohammad Riza Chalid dan M. Kerry Adrianto Riza
Sebelum membahas peran spesifik mereka, ada baiknya kita mengenal singkat kedua tokoh ini. Mohammad Riza Chalid adalah nama yang tidak asing di dunia bisnis minyak Indonesia. Dijuluki “Raja Minyak” atau “The Gasoline Godfather”, ia dikenal memiliki jaringan bisnis yang luas, terutama lewat Petral (anak usaha Pertamina yang sudah dibubarkan). Riza Chalid juga pernah terseret dalam skandal “Papa Minta Saham” yang melibatkan mantan Ketua DPR RI Setya Novanto. Sementara itu, Muhammad Kerry Adrianto Riza adalah putra dari Riza Chalid, yang juga berkecimpung di dunia bisnis.
Keterlibatan mereka berdua dalam kasus korupsi Pertamina ini tentu menjadi sorotan publik. Namun, penting untuk memahami bahwa peran mereka tidaklah identik.
Peran M. Kerry Adrianto Riza: Keuntungan dari ‘Mark Up’ Pengiriman
Muhammad Kerry Adrianto Riza (MKAR) adalah pihak pertama dari keluarga ini yang ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejagung. Kerry berperan sebagai beneficial owner atau pemilik manfaat dari PT Navigator Khatulistiwa.
Apa perannya dalam kasus ini? Menurut penyidikan Kejagung, Kerry diduga mendapatkan keuntungan besar dari praktik mark up kontrak pengiriman (shipping) minyak impor. Bayangkan saja, untuk setiap pengiriman minyak impor, negara harus membayar biaya tambahan sebesar 13 hingga 15 persen dari nilai sebenarnya. Keuntungan ini diduga mengalir ke kantong Kerry.
Praktik ini dilakukan bersama dengan Direktur Utama PT Pertamina International Shipping saat itu, Yoki Firnandi (yang juga tersangka). Akibat perbuatan ini, komponen harga dasar untuk penetapan Harga Indeks Pasar (HIP) BBM menjadi lebih tinggi, yang pada akhirnya membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) melalui subsidi dan kompensasi BBM yang lebih besar. Pada tahap awal, kerugian negara yang diakibatkan praktik ini diperkirakan mencapai sekitar Rp 193,7 triliun.
Peran Mohammad Riza Chalid: Intervensi Kebijakan dan Sewa Terminal BBM
Beberapa bulan setelah anaknya, giliran Mohammad Riza Chalid (MRC) yang ditetapkan sebagai tersangka. Riza Chalid juga berperan sebagai beneficial owner dari PT Navigator Khatulistiwa dan PT Orbit Terminal Merak (OTM) atau PT Tangki Merak.
Peran Riza Chalid dalam kasus ini berbeda dengan anaknya. Ia diduga melakukan intervensi kebijakan tata kelola PT Pertamina. Bagaimana caranya? Riza Chalid bersama dengan beberapa mantan petinggi Pertamina, seperti Hanung Budya (mantan Direktur Pemasaran dan Niaga PT Pertamina) dan Alfian Nasution (mantan VP Supply dan Distribusi PT Pertamina), serta Gading Ramadhan Joedo (Komisaris PT Jenggala Maritim sekaligus Dirut PT Orbit Terminal Merak), diduga menyepakati kerja sama penyewaan terminal BBM tangki Merak.
Padahal, pada saat itu PT Pertamina belum memerlukan tambahan penyimpanan stok BBM. Lebih parah lagi, dalam kesepakatan ini, mereka diduga:
- Memasukkan rencana kerja sama penyewaan terminal BBM Merak yang tidak diperlukan.
- Menghilangkan skema kepemilikan aset terminal BBM Merak dalam kontrak kerja sama.
- Menetapkan harga kontrak yang sangat tinggi.
Perbuatan melawan hukum Riza Chalid dan kawan-kawan ini menyebabkan kerugian negara bertambah signifikan. Dari yang semula diperkirakan Rp 193,7 triliun, kini total kerugian negara dalam kasus korupsi tata kelola minyak mentah ini mencapai angka fantastis Rp 285 triliun.
Ringkasan Perbedaan Peran Ayah dan Anak
Agar lebih mudah memahami beda peran Riza Chalid anaknya kasus korupsi ini, mari kita lihat perbandingannya dalam tabel singkat:
Pihak Terlibat | Peran Utama dalam Kasus | Perusahaan Terkait (sebagai Beneficial Owner) | Dampak Kerugian Negara |
---|---|---|---|
M. Kerry Adrianto Riza | Mendapatkan keuntungan dari mark up kontrak pengiriman (shipping) minyak impor (13-15% fee) | PT Navigator Khatulistiwa | Kerugian awal sekitar Rp 193,7 triliun (bersama tersangka lain) |
Mohammad Riza Chalid | Intervensi kebijakan tata kelola Pertamina, menyepakati penyewaan terminal BBM Merak dengan harga tinggi dan menghilangkan skema kepemilikan aset, padahal belum dibutuhkan. | PT Navigator Khatulistiwa, PT Orbit Terminal Merak / PT Tangki Merak | Total kerugian meningkat menjadi Rp 285 triliun (setelah keterlibatannya) |
Dari tabel di atas, jelas terlihat bahwa Muhammad Kerry Adrianto Riza terlibat dalam aspek pengadaan dan pengiriman minyak melalui mark up harga, sementara Mohammad Riza Chalid lebih fokus pada intervensi kebijakan dan penyewaan aset terminal BBM Pertamina yang tidak diperlukan dengan harga tinggi.
Penutup
Kasus korupsi yang menjerat ayah dan anak ini menjadi pengingat pahit tentang pentingnya tata kelola perusahaan yang bersih dan transparan, terutama di sektor vital seperti energi. Kejagung terus berupaya menuntaskan kasus ini, termasuk memburu Riza Chalid yang diketahui berada di Singapura. Semoga penegakan hukum dapat berjalan adil dan uang negara yang dikorupsi bisa kembali demi kesejahteraan masyarakat.