BBC Selami Jantung Perlawanan Tibet: Kisah Biara Kirti dan Masa Depan Dalai Lama vs China

Dipublikasikan 3 Juli 2025 oleh admin
Sosial Politik

Yogyakarta, zekriansyah.com – Baru-baru ini, sebuah tim jurnalis BBC berhasil menembus salah satu wilayah paling sensitif dan terkunci di dunia: jantung perlawanan Tibet di Provinsi Sichuan, China. Kunjungan ini mengungkap gambaran nyata tentang kehidupan di bawah bayang-bayang pengawasan ketat pemerintah China, di tengah ketegangan yang memuncak terkait masa depan pemimpin spiritual Tibet, Dalai Lama.

BBC Selami Jantung Perlawanan Tibet: Kisah Biara Kirti dan Masa Depan Dalai Lama vs China

Ilustrasi: Suasana khidmat biara tua di tengah ketegangan politik Tibet yang membayangi masa depan spiritualnya.

Artikel ini akan membawa Anda menyelami langsung situasi pelik yang dihadapi masyarakat Tibet, mulai dari perjuangan mereka menjaga identitas budaya dan agama, hingga intrik di balik suksesi Dalai Lama yang kini memasuki babak krusial. Dengan membaca artikel ini, Anda akan memahami lebih dalam mengapa Tibet terus menjadi titik konflik dan bagaimana hak asasi manusia serta kebebasan beragama terancam di sana.

Biara Kirti: Simbol Perlawanan Abadi di Tibet

Di tengah lanskap pegunungan Sichuan yang memukau, tersembunyi sebuah biara yang menjadi episentrum perlawanan Tibet selama puluhan tahun: Biara Kirti. Nama biara ini mulai dikenal dunia pada akhir 2000-an, saat puluhan biksu dan warga Tibet melakukan aksi bakar diri sebagai bentuk protes terhadap kekuasaan China.

Hampir dua dekade berlalu, Biara Kirti masih menjadi duri dalam daging bagi Beijing. Keberadaan pos polisi di dalam pintu masuk utama dan kamera pengawas yang menjulang di setiap sudut kompleks, menunjukkan betapa pemerintah China khawatir akan pengaruh biara ini. Seorang biksu yang ditemui BBC, walau dengan risiko besar, sempat berbisik, “Hal-hal di sini tidak baik bagi kami. Mereka tidak memiliki hati yang baik; semua orang bisa melihatnya.” Ia bahkan sempat memperingatkan tim BBC: “Hati-hati, orang-orang mengawasi Anda.” Tak lama setelah itu, sejumlah pria tak dikenal yang membuntuti tim BBC mulai mendekat, dan biksu itu pun segera pergi.

Suara Biksu dan Realita Pengawasan Ketat China

Sejak menganeksasi wilayah Tibet pada tahun 1950, Partai Komunis China telah memerintah lebih dari enam juta warga Tibet. Beijing mengklaim telah banyak berinvestasi di wilayah tersebut, membangun jalan dan rel kereta api baru untuk meningkatkan pariwisata dan mengintegrasikan Tibet. Namun, bagi banyak warga Tibet yang melarikan diri, pembangunan ekonomi ini justru membawa lebih banyak pasukan dan pejabat, yang secara perlahan mengikis keyakinan dan kebebasan mereka.

Di Aba, atau Ngaba dalam bahasa Tibet, yang merupakan rumah bagi Biara Kirti, warga telah melakukan tindakan ekstrem untuk menentang pembatasan ini. Kota ini menjadi saksi bisu pemberontakan besar-besaran pada tahun 2008 yang menewaskan banyak warga Tibet. Di tahun-tahun berikutnya, lebih dari 150 aksi bakar diri terjadi di atau sekitar Aba, menuntut kembalinya Dalai Lama. Jalan utama di sana bahkan dijuluki “Jalur Martir”.

Pemerintah China kini semakin memperketat pengawasan, membuat informasi dari dalam Tibet hampir mustahil keluar. Informasi yang ada sebagian besar berasal dari mereka yang berhasil melarikan diri ke luar negeri atau pemerintah pengasingan di India.

Tim BBC bahkan harus menyelinap melewati pengawas mereka sebelum fajar untuk kembali ke biara dan menyaksikan doa pagi. Di sana, para biksu dengan topi kuning khas aliran Gelug berkumpul, melantunkan doa yang dalam. Salah seorang biksu berani berujar singkat, “Pemerintah China telah meracuni udara di Tibet. Ini bukan pemerintah yang baik. Kami orang Tibet kehilangan hak asasi manusia dasar. Pemerintah China terus menindas dan menganiaya kami.”

Masa Depan Dalai Lama dan Perebutan Otoritas

Masa depan Tibet kini menjadi lebih mendesak seiring dengan usia Dalai Lama yang ke-90 tahun ini. Ratusan pengikutnya berkumpul di Dharamshala, India, untuk menghormatinya. Beliau baru saja mengumumkan rencana suksesi yang telah lama dinanti, menegaskan kembali bahwa Dalai Lama berikutnya akan dipilih setelah kematiannya.

Reaksi di kalangan warga Tibet di seluruh dunia bervariasi, antara kelegaan, keraguan, dan kecemasan. Namun, di tanah kelahiran Dalai Lama sendiri, tempat bahkan menyebut namanya pun dilarang, tidak ada reaksi yang terdengar. Ini sangat kontras dengan pernyataan Beijing yang lantang dan jelas: reinkarnasi Dalai Lama berikutnya akan lahir di China dan disetujui oleh Partai Komunis China. Tibet, sebaliknya, tetap membisu. “Begitulah adanya,” kata biksu itu kepada BBC. “Itulah kenyataannya.”

Kebijakan China: Erosi Budaya dan Kebebasan Beragama

Di bawah langit Himalaya, ada dua dunia yang bertabrakan: warisan dan keyakinan Tibet berhadapan dengan tuntutan persatuan dan kontrol dari Partai Komunis. China selalu mengklaim bahwa warga Tibet bebas mempraktikkan keyakinan mereka. Namun, keyakinan itu juga merupakan sumber identitas berabad-abad, yang menurut kelompok hak asasi manusia, perlahan-lahan terkikis oleh Beijing. Banyak warga Tibet yang ditahan karena menggelar protes damai, mempromosikan bahasa Tibet, atau bahkan memiliki potret Dalai Lama.

Banyak warga Tibet, termasuk beberapa biksu di Biara Kirti, khawatir dengan undang-undang baru yang mengatur pendidikan anak-anak Tibet. Kini, semua anak di bawah 18 tahun harus bersekolah di sekolah negeri China dan belajar Mandarin. Mereka tidak diizinkan mempelajari kitab suci Buddha di kelas biara sampai mereka berusia 18 tahun – dan mereka harus “mencintai negara dan agama serta mematuhi hukum dan peraturan nasional.” Ini adalah perubahan besar bagi komunitas di mana biksu sering direkrut sejak kecil, dan biara berfungsi ganda sebagai sekolah bagi sebagian besar anak laki-laki.

Seorang biksu berusia 60-an di Aba, dengan emosional menceritakan bahwa “Salah satu institusi Buddha di dekat sini dihancurkan oleh pemerintah beberapa bulan lalu. Itu adalah sekolah dakwah.”

Menurut cendekiawan ternama Robert Barnett, peraturan semacam ini dapat memiliki “efek mendalam” pada masa depan Buddhisme Tibet. “Kita bergerak menuju skenario di mana pemimpin China Xi Jinping memiliki kendali penuh – menuju era di mana sedikit informasi masuk ke Tibet, sedikit bahasa Tibet yang dibagikan,” kata Barnett. “Pendidikan hampir seluruhnya akan tentang festival China, kebajikan China, budaya tradisional China tingkat lanjut. Kita melihat manajemen total terhadap masukan intelektual.”

Dua Dunia di Bawah Langit Himalaya

Perjalanan menuju Aba menunjukkan investasi besar-besaran Beijing di wilayah terpencil ini. Ada jalur kereta api berkecepatan tinggi baru yang menghubungkan Sichuan dengan provinsi lain di dataran tinggi. Di Aba, toko-toko yang biasanya menjual jubah biksu dan dupa kini dihiasi dengan hotel, kafe, dan restoran baru untuk menarik wisatawan.

Turis-turis China datang dengan perlengkapan mendaki gunung mereka, terheran-heran melihat para penganut lokal bersujud di blok kayu di pintu masuk kuil Buddha. “Bagaimana mereka bisa menyelesaikan pekerjaan sepanjang hari?” tanya seorang turis. Yang lain dengan gembira memutar roda doa dan bertanya tentang mural berwarna-warni yang menggambarkan adegan dari kehidupan Buddha. Sebuah slogan partai yang tertulis di pinggir jalan dengan bangga menyatakan bahwa “orang-orang dari semua kelompok etnis bersatu erat seperti biji dalam buah delima.”

Namun, di balik semua itu, pengawasan yang meresap sangat sulit diabaikan. Check-in hotel memerlukan pengenalan wajah. Bahkan membeli bensin pun membutuhkan beberapa bentuk identifikasi yang ditunjukkan ke kamera definisi tinggi. China telah lama mengontrol informasi yang dapat diakses warganya, tetapi di daerah Tibet, cengkeramannya bahkan lebih ketat. Tibet, kata Barnett, “terkunci dari dunia luar.”


Situasi di Tibet, dengan kunjungan langka BBC ke jantung perlawanan dan ketegangan seputar suksesi Dalai Lama, menunjukkan betapa kompleksnya isu ini. Ini bukan sekadar konflik politik, tetapi juga perjuangan untuk mempertahankan identitas, budaya, dan kebebasan beragama yang telah berusia berabad-abad. Masa depan Tibet, dan siapa yang akan menjadi Dalai Lama berikutnya, akan menentukan arah perjuangan ini. Semoga artikel ini bisa memberikan gambaran yang lebih jelas tentang realitas yang jarang terungkap ini.