Bawaslu Ungkit Putusan MK 90: ‘Aneh, Syarat Gibran Cawapres Berubah Tiba-tiba’

Dipublikasikan 6 Juli 2025 oleh admin
Sosial Politik

Yogyakarta, zekriansyah.com – Belakangan ini, nama Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) kembali jadi sorotan. Pasalnya, Ketua Bawaslu Rahmat Bagja tiba-tiba mengungkit lagi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90/PUU-XXI/2023. Putusan ini sempat bikin heboh karena dianggap membuka jalan lebar bagi Gibran Rakabuming Raka untuk maju sebagai calon wakil presiden (cawapres) di Pemilu 2024 lalu.

Bawaslu Ungkit Putusan MK 90: 'Aneh, Syarat Gibran Cawapres Berubah Tiba-tiba'

Ilustrasi: Bawaslu soroti Putusan MK 90, menyoal perubahan syarat Gibran menjadi cawapres yang dinilai mendadak dan kontroversial.

Anda mungkin bertanya-tanya, kenapa putusan yang sudah berlalu ini diungkit lagi? Apa hubungannya dengan kondisi sekarang? Nah, artikel ini akan menjelaskan secara gamblang mengapa Bawaslu kembali membahas putusan kontroversial tersebut dan apa saja dampak yang pernah ditimbulkannya. Mari kita pahami bersama agar tidak bingung lagi.

Mengapa Bawaslu Ungkit Kembali Putusan MK 90?

Ketua Bawaslu Rahmat Bagja membahas kembali Putusan MK Nomor 90 saat dimintai tanggapan soal putusan MK terbaru, yakni Nomor 135/PUU-XXII/2024. Putusan terbaru ini mengatur pemisahan Pemilu nasional dan lokal. Pemilu nasional (DPR, DPD, Pilpres) akan digelar tahun 2029, sementara Pemilu daerah (DPRD, Pilkada) paling cepat 2 tahun setelah pelantikan anggota DPR/Presiden.

Menurut Bagja, proses Pemilu itu seharusnya bisa diprediksi alurnya, tidak aneh-aneh di tengah jalan. Ia menekankan pentingnya “predictable in process” dalam Pemilu. Dari sinilah ia kemudian menyentil Putusan MK 90.

“Kan aneh dengan dengan tiba-tiba putusan 90 ini model of tahapan, pada saat tahapan tiba-tiba MK memutus seperti ini terjadi perubahan tentang syarat calon,” kata Bagja dalam sebuah diskusi di DPR, Jumat (4/7).

Bagja merasa bahwa MK seharusnya “menahan diri” ketika masuk dalam ranah syarat calon. Ini adalah kritik yang cukup keras, mengingat putusan tersebut memang lahir di tengah tahapan Pemilu yang sedang berjalan.

Kontroversi di Balik Putusan MK Nomor 90

Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 adalah salah satu putusan paling kontroversial dalam sejarah Pemilu Indonesia. Bagaimana tidak, putusan ini mengubah syarat usia calon presiden dan wakil presiden yang tadinya minimal 40 tahun.

Berikut poin penting perubahan syarat tersebut:

  • Sebelum Putusan 90: Syarat usia minimal capres/cawapres adalah 40 tahun.
  • Setelah Putusan 90: Syarat usia diubah menjadi 35 tahun atau pernah/sedang menjabat sebagai kepala daerah (wali kota, bupati, gubernur).

Perubahan ini sontak menjadi perbincangan panas karena Gibran Rakabuming Raka, yang saat itu berusia 36 tahun dan menjabat sebagai Wali Kota Solo, langsung memenuhi syarat untuk maju sebagai cawapres mendampingi Prabowo Subianto. Padahal, jika tanpa putusan ini, usia Gibran tidak memenuhi syarat.

Dampak dan Reaksi Atas Putusan Kontroversial

Putusan MK 90 ini memicu kegaduhan publik yang luar biasa. Banyak pihak mengkritik putusan ini karena dianggap cacat etika dan prosedur. Bahkan, Ketua KPU saat itu, Hasyim Asy’ari, dan enam komisioner lainnya sempat dijatuhi sanksi peringatan keras terakhir oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) karena dinilai melanggar kode etik dalam proses pendaftaran capres-cawapres setelah putusan MK ini keluar.

Meski begitu, Bawaslu sendiri pada saat itu menegaskan bahwa secara hukum, pencalonan Gibran tidak cacat.

“Secara hukum tidak,” kata Ketua Bawaslu Rahmat Bagja pada Februari 2024 lalu.

Namun, di sisi lain, gugatan hukum juga sempat dilayangkan. Misalnya, PDI-P menggugat KPU ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta terkait keabsahan Gibran sebagai cawapres, dengan dalih KPU melanggar prosedur. Namun, gugatan ini pada akhirnya “tidak dapat diterima” oleh PTUN.

Bagaimana Sikap Lembaga Negara Saat Ini?

Terkait putusan MK terbaru tentang pemisahan Pemilu (bukan Putusan 90), Bawaslu menjelaskan posisinya hanya menjalankan aturan. Mereka menunggu bagaimana sikap pemerintah dan DPR, karena kedua lembaga itulah yang akan menentukan tindak lanjut putusan MK. Bawaslu tidak bisa serta merta menjalankan putusan MK tanpa adanya undang-undang yang mengaturnya.

Sementara itu, Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad menyatakan bahwa DPR masih mengkaji putusan MK yang memisahkan Pemilu nasional dan lokal. DPR belum memutuskan langkah konkret, dan Dasco menyebut ini bukan kali pertama DPR tidak langsung menindaklanjuti putusan MK, melainkan mencari formula yang pas.

Kejadian ini kembali mengingatkan kita bahwa dinamika hukum dan politik di Indonesia selalu menarik untuk dicermati, terutama yang berkaitan dengan Pemilu dan syarat-syaratnya.

Kesimpulan

Pengungkitan kembali Putusan MK Nomor 90 oleh Ketua Bawaslu Rahmat Bagja menunjukkan bahwa isu seputar syarat pencalonan dan intervensi yudikatif dalam tahapan Pemilu masih menjadi perhatian serius. Meskipun Putusan 90 telah memuluskan jalan Gibran menjadi cawapres dan Pemilu 2024 sudah selesai, kritik terhadap proses dan dampaknya tetap relevan untuk memastikan tahapan Pemilu ke depan berjalan lebih “predictable” dan terhindar dari kegaduhan serupa. Semoga dengan adanya sorotan ini, semua pihak bisa belajar untuk menjaga integritas dan stabilitas proses demokrasi kita.