Bawaslu Setuju Putusan MK: Pemilu Serentak Rumit dan Membebani Penyelenggara Maupun Pemilih

Dipublikasikan 29 Juni 2025 oleh admin
Sosial Politik

Yogyakarta, zekriansyah.com – Pernahkah Anda merasa lelah atau bingung saat Pemilu? Bayangkan betapa rumitnya bagi para penyelenggara pemilu di lapangan. Nah, ada kabar terbaru dari Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI yang mungkin bisa menjawab kegelisahan ini. Bawaslu menyatakan setuju dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan pelaksanaan pemilu nasional dan daerah. Ini adalah langkah penting yang diharapkan membuat proses demokrasi kita jadi lebih baik, tidak lagi membebani banyak pihak, dan hasilnya lebih berkualitas. Yuk, simak penjelasan lengkapnya agar kita semua paham kenapa putusan ini begitu krusial!

Bawaslu Setuju Putusan MK: Pemilu Serentak Rumit dan Membebani Penyelenggara Maupun Pemilih

Ilustrasi: Petugas pemilu kewalahan menghadapi rumitnya tahapan pemilu serentak yang membebani semua pihak.

Mengapa Pemilu Serentak Dianggap Rumit dan Membebani?

Selama ini, Indonesia menggelar Pemilu secara serentak untuk memilih Presiden, anggota DPR, DPD, DPRD, serta kepala daerah. Praktik ini ternyata menimbulkan banyak tantangan. Anggota Bawaslu RI, Puadi, menjelaskan bahwa desain pemilu serentak yang ada saat ini terlalu padat dan rumit, tidak hanya bagi penyelenggara tapi juga bagi kita sebagai pemilih.

“Putusan MK No 135/PUU-XXII/2024 merupakan koreksi konstitusional yang sangat krusial terhadap desain pemilu serentak yang selama ini terlalu padat, rumit, dan membebani baik penyelenggara maupun pemilih,” kata Puadi kepada wartawan, Sabtu (28/6).

Kerumitan ini bukan hanya soal teknis penghitungan suara atau logistik, tapi juga tentang bagaimana masyarakat bisa mencerna informasi dan membuat pilihan yang tepat di tengah banyaknya calon dan jenis pemilihan dalam satu waktu.

Manfaat Pemisahan Pemilu Nasional dan Daerah Menurut Bawaslu

Dengan adanya putusan MK ini, Bawaslu melihat banyak potensi perbaikan. Pemisahan pemilu diharapkan membawa dampak positif yang signifikan, antara lain:

  • Meningkatkan Kualitas Partisipasi Publik: Pemilih punya lebih banyak waktu untuk memahami calon dan program-programnya, tanpa terburu-buru atau tertekan informasi yang berlebihan. Ini membuat pilihan kita lebih rasional dan matang.
  • Mengurangi Kelelahan Penyelenggara: Para petugas di lapangan, mulai dari KPPS hingga Bawaslu, tidak lagi harus bekerja ekstra keras dalam satu waktu yang padat. Beban kerja mereka akan lebih terdistribusi.
  • Pengawasan Lebih Fokus dan Efektif: Dengan pemilu yang terpisah, Bawaslu dan lembaga pengawas lainnya bisa lebih fokus dalam mengawasi setiap tahapan, sehingga potensi pelanggaran bisa diminimalisir.

“Langkah ini juga memberi ruang rasional bagi pemilih untuk mempertimbangkan pilihannya secara lebih matang, tanpa tekanan informasi dan waktu yang berlebihan dalam satu hari pemungutan suara,” tambah Puadi.

Detail Putusan Mahkamah Konstitusi (MK)

Mahkamah Konstitusi melalui putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 telah menetapkan bahwa pemilu nasional (untuk memilih Presiden, DPR, dan DPD) harus dipisahkan dari pemilu daerah (untuk memilih kepala daerah dan anggota DPRD). Jarak waktu antara kedua jenis pemilu ini diusulkan paling singkat 2 tahun atau paling lama 2 tahun 6 bulan sejak pelantikan anggota DPR/DPD atau Presiden/Wakil Presiden.

Putusan ini secara spesifik menyatakan bahwa Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 bertentangan dengan UUD 1945.

“Menyatakan Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015… bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang ke depan tidak dimaknai,” ujar Ketua MK Suhartoyo mengucapkan Amar Putusan, Kamis (26/6).

Dengan demikian, makna pasal tersebut diubah menjadi:

“Pemilihan dilaksanakan secara serentak di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota dan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota yang dilaksanakan dalam waktu paling singkat 2 (dua) tahun atau paling lama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan sejak pelantikan anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah atau sejak pelantikan Presiden/Wakil Presiden.”

Konsekuensi dan Masa Transisi Pemilu

Salah satu konsekuensi dari putusan ini adalah potensi perpanjangan masa jabatan kepala daerah dan anggota DPRD. Puadi mengakui bahwa ini adalah konsekuensi transisional yang tidak bisa dihindari. Namun, yang terpenting adalah memastikan bahwa proses transisi ini berjalan dengan transparan, sesuai konstitusi, dan tetap menjaga akuntabilitas kekuasaan.

“Jangan sampai masa perpanjangan menjadi celah bagi penyalahgunaan kewenangan. Dalam prinsip demokrasi elektoral, pemilu bukan hanya tentang kapan digelar, tetapi bagaimana menjamin bahwa hasilnya mencerminkan kedaulatan rakyat secara adil dan bermartabat,” tegas Puadi.

Pernyataan ini menekankan pentingnya integritas dan keadilan dalam setiap tahapan pemilu, terlepas dari jadwal pelaksanaannya.


Kesimpulan

Putusan Mahkamah Konstitusi yang memisahkan Pemilu nasional dan daerah mendapatkan dukungan penuh dari Bawaslu. Ini adalah langkah maju untuk menciptakan pemilu yang lebih berkualitas, tidak membebani penyelenggara, dan memberikan ruang bagi kita sebagai pemilih untuk menentukan pilihan secara lebih matang. Meskipun ada konsekuensi transisi seperti potensi perpanjangan masa jabatan, harapan besarnya adalah terciptanya proses demokrasi yang lebih adil, transparan, dan benar-benar mencerminkan kedaulatan rakyat. Mari kita dukung setiap upaya perbaikan demi masa depan demokrasi Indonesia yang lebih baik!